Angkat Suara Soal RUU Perampasan Aset, Begini Pandangan Akademis Direktur PUSKOHIS Fakultas Syariah UIN Surakarta

Oleh:
Ahmad Muhamad Mustain Nasoha

Ahmad Muhamad Mustain Nasoha sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta sekaligus Dosen dengan keahlian Ilmu Hukum berpendapat bahwa Rancangan undang-undang (RUU) Perampasan Aset dibentuk berakar pada permasalahan struktural dalam sistem hukum Indonesia terkait penanggulangan kejahatan luar biasa, terutama tindak pidana korupsi. Tingginya kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik korupsi merupakan ancaman terhadap tata kelola negara yang adil dan berintegritas. Berdasarkan data empiris, pada tahun 2022, kerugian yang diderita negara akibat korupsi mencapai Rp 48,786 triliun, sedangkan efektivitas pemulihan aset melalui instrumen pidana uang pengganti hanya berkisar 7,83 persen dari total kerugian. Situasi ini menunjukkan adanya kelemahan dalam mekanisme pemulihan aset, di mana aset yang diperoleh dari hasil kejahatan sering kali tidak dapat dirampas secara optimal karena hambatan regulasi dan keterbatasan perangkat hukum yang ada.

Secara teori, dalam pendekatan hukum pidana yang berlandaskan pada prinsip deterrence (pencegahan), aspek pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof) menjadi penting guna mengatasi celah hukum (legal loophole) yang sering dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menghindari penyitaan aset. Dalam konteks korupsi, sering kali para tersangka meninggal dunia, melarikan diri, atau mengelak dari proses hukum, yang mengakibatkan kebuntuan dalam upaya perampasan aset. Kekosongan hukum ini menciptakan apa yang disebut legal lacuna, di mana kejahatan tetap berlangsung tanpa konsekuensi yang setara, sehingga merusak asas keadilan dan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam konteks hukum pidana.

RUU ini pun dirancang untuk menyelaraskan sistem hukum nasional dengan standar internasional yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption atau UNCAC) tahun 2003, yang mendorong penerapan perampasan aset berbasis Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Artinya, penyitaan aset tidak harus melalui putusan pidana dalam kasus tertentu, sehingga memberikan fleksibilitas hukum untuk memulihkan aset negara tanpa bergantung pada pengadilan pidana konvensional. Dalam perspektif hukum syariah, prinsip ini sejalan dengan maqashid al-shariah yang mengedepankan perlindungan harta (hifz al-mal) sebagai salah satu tujuan utama yang harus dijaga demi kemaslahatan publik (maslahah ‘ammah).

Selain itu, urgensi lahirnya RUU ini juga berakar pada ekspektasi publik akan terciptanya keadilan distributif (distributive justice) dan transparansi yang lebih baik dalam sistem penegakan hukum. Dalam teori hukum, RUU Perampasan Aset juga merupakan upaya menguatkan hukum administratif pidana (administrative penal law) yang secara prinsip memungkinkan pemerintah untuk melakukan penyitaan terhadap aset yang dihasilkan dari kejahatan tanpa harus menunggu proses pidana yang panjang dan berbelit. Secara konseptual, perampasan aset ini tidak hanya memperkuat fungsi represif hukum pidana, tetapi juga memiliki nilai preventif yang kuat dalam mencegah pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau melarikan aset mereka.

Di sisi lain, indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index) yang menurun dari 38 menjadi 34 pada tahun lalu menunjukkan semakin tingginya urgensi penerapan regulasi yang lebih efektif. Hal ini menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai langkah strategis yang tidak hanya memperkuat supremasi hukum (rule of law) tetapi juga membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang lebih responsif dan efektif. Dengan adanya perangkat hukum yang lebih kuat dan tegas untuk menyita serta mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi kepada negara, RUU ini diharapkan dapat berfungsi sebagai solusi legal yang mendukung tegaknya keadilan sosial, memperkuat keadilan distributif, dan memenuhi kebutuhan publik akan keadilan yang berimbang dan berbasis pada nilai-nilai hukum positif serta syariah.

Beberapa negara telah menerapkan undang-undang perampasan aset dengan tujuan memperkuat sistem pemberantasan korupsi dan kejahatan terorganisir, serta menunjukkan hasil yang signifikan. Berikut adalah beberapa contoh negara beserta hasil yang dicapai melalui penerapan undang-undang perampasan aset:
1. Amerika Serikat: Amerika Serikat menerapkan Civil Asset Forfeiture, sebuah mekanisme perampasan aset berbasis non-pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture). Berdasarkan data dari Institute for Justice, sejak 2000 hingga 2019, negara bagian di AS berhasil mengumpulkan sekitar USD 68,8 miliar dari perampasan aset yang berasal dari aktivitas ilegal, termasuk perdagangan narkotika dan pencucian uang. Dalam kasus besar seperti United States v. $500,000 in U.S. Currency, aset-aset yang terkait dengan tindak kejahatan berhasil dirampas tanpa harus mengaitkan langsung tersangka dengan tindak pidana, yang membuat proses pemulihan aset menjadi lebih efisien.

2. Inggris: Inggris menerapkan Proceeds of Crime Act (POCA) sejak 2002, yang mengizinkan perampasan aset dari hasil tindak kejahatan. POCA memiliki mekanisme Civil Recovery Orders yang memungkinkan pihak berwenang untuk menyita aset tanpa adanya proses pidana yang memakan waktu. Sejak diberlakukannya, Inggris telah berhasil mengumpulkan miliaran pound dari aset yang terkait kejahatan. Pada 2020 saja, menurut laporan dari National Crime Agency (NCA), Inggris berhasil merampas sekitar £208 juta dari aset kejahatan, termasuk dari tindak korupsi dan penipuan besar.

3. Australia: Undang-undang Proceeds of Crime Act 2002 di Australia mengatur tentang perampasan aset hasil kejahatan, termasuk pembekuan aset sebelum sidang. Berdasarkan laporan dari Australian Criminal Intelligence Commission (ACIC), sejak diberlakukannya, undang-undang ini telah membantu menyita aset senilai lebih dari AUD 1,4 miliar dari kegiatan kriminal, termasuk narkotika dan perdagangan manusia. Pada 2021, Australia juga berhasil memulihkan sekitar AUD 300 juta dalam upaya membendung pencucian uang dan penghindaran pajak.

4. Italia: Italia, yang memiliki sejarah panjang dalam memberantas mafia dan kejahatan terorganisir, menerapkan undang-undang perampasan aset terhadap hasil kejahatan mafia sejak 1982. Melalui Anti-Mafia Code, Italia berhasil melakukan perampasan aset terhadap organisasi kejahatan yang dilakukan bahkan sebelum proses pidana diselesaikan. Menurut laporan dari Direzione Investigativa Antimafia (DIA), Italia berhasil menyita aset senilai sekitar €12 miliar dari kelompok mafia selama satu dekade terakhir, yang kemudian dialokasikan untuk kepentingan sosial seperti fasilitas publik dan pengembangan ekonomi.

5. Irlandia: Irlandia menerapkan Criminal Assets Bureau Act pada 1996, yang memberi wewenang kepada Biro Aset Kriminal (CAB) untuk menyita aset-aset yang diidentifikasi sebagai hasil dari aktivitas ilegal. Sistem ini telah terbukti efektif dalam memerangi kejahatan terorganisir, termasuk penyelundupan narkotika. Pada 2020, Irlandia berhasil menyita lebih dari €65 juta dalam bentuk properti dan uang tunai yang diduga terkait dengan jaringan kejahatan, yang turut memperkuat pendapatan negara sekaligus memukul jaringan kejahatan terorganisir.

6. Kolombia: Kolombia menerapkan mekanisme Extinción de Dominio (penghapusan kepemilikan) yang memungkinkan perampasan aset hasil kejahatan tanpa memerlukan hukuman pidana. Kebijakan ini terutama digunakan dalam upaya memerangi kartel narkoba dan kejahatan terorganisir. Sejak diterapkan, Kolombia berhasil menyita ribuan properti dan aset dari jaringan narkotika yang beroperasi secara internasional. Hasil dari perampasan ini digunakan untuk mendanai proyek-proyek sosial dan membantu rehabilitasi korban kejahatan.

Implementasi undang-undang perampasan aset di negara-negara ini menunjukkan bahwa regulasi yang kuat dan fleksibel, termasuk Non-Conviction Based Forfeiture, dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan, dan mempercepat pemulihan kerugian negara. Hal ini juga menunjukkan bahwa perampasan aset dapat berdampak pada pemberantasan kejahatan, termasuk kejahatan terorganisir, korupsi, dan pencucian uang, sehingga meningkatkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan membantu negara dalam mengembalikan harta negara yang hilang akibat kejahatan.

Kata Ahmad Muhamad Mustain Nasoha yang juga Ahli Hukum di Kantor Kuasa Hukum Pedang keadilan ini memberi saran dan rekomendasi ilmiah terkait rancangan undang-undang perampasan aset, dengan mengedepankan gagasan-gagasan inovatif dan terfokus pada peningkatan efektivitas serta efisiensi dalam pemberantasan kejahatan finansial dan korupsi:

1. Pengembangan Kerangka Hukum yang Fleksibel dengan Pendekatan Multidisipliner:
Rekomendasi ini menekankan pentingnya mengintegrasikan aspek hukum pidana, hukum administrasi, dan hukum perdata dalam kerangka perampasan aset, yang tidak terbatas pada pelaku individu, tetapi juga melibatkan entitas korporasi yang terlibat secara tidak langsung dalam kejahatan. Dengan mengadopsi pendekatan multidisipliner, regulasi ini dapat memperluas cakupan penindakan sehingga memungkinkan penyitaan aset terkait tindak kejahatan yang lebih luas dan menjerat aktor-aktor di lingkup korporasi. Novelty dalam saran ini terletak pada fleksibilitas dan jangkauan hukum yang komprehensif.

2. Implementasi Teknologi Digital untuk Deteksi dan Pelacakan Aset:
Teknologi seperti blockchain dan kecerdasan buatan (AI) dapat diadopsi dalam mendukung pelacakan dan deteksi aset yang diduga hasil kejahatan. Dalam skenario ini, sistem berbasis AI dapat digunakan untuk memantau transaksi yang mencurigakan secara otomatis, sementara blockchain memungkinkan transparansi dalam pelacakan aset sehingga lebih mudah untuk memastikan alur pergerakan aset yang kompleks. Rekomendasi ini mengandung unsur kebaruan dengan integrasi teknologi canggih untuk memperkuat kemampuan investigasi dan forensik keuangan.

3. Pengaturan Pengelolaan Aset yang Ramah Sosial dan Berkelanjutan:
Dalam konteks keberlanjutan, rekomendasi ini mendorong pembentukan lembaga khusus yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset yang disita, dengan fokus pada penggunaan aset tersebut untuk tujuan-tujuan yang mendukung pemberdayaan masyarakat dan kepentingan sosial. Sebagai contoh, properti yang disita dari kejahatan dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas publik atau disumbangkan kepada organisasi sosial. Novelty di sini adalah penerapan prinsip sustainable development dalam pengelolaan aset, yang memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas.

4. Penguatan Skema Perampasan Berbasis Bukti Tanpa Putusan Pidana (Non-Conviction Based Forfeiture):
Mengadopsi Non-Conviction Based Forfeiture (NCBF) yang efektif dan konsisten, seperti di beberapa negara maju, akan memungkinkan penyitaan aset meski tanpa putusan pidana. Namun, untuk melindungi hak asasi, dibutuhkan pembentukan mekanisme pengadilan khusus atau prosedur hukum yang transparan agar tersangka atau pemilik aset dapat memberikan pembelaan dan membuktikan legalitas aset tersebut. Rekomendasi ini memiliki novelty dalam konteks Indonesia dengan menawarkan keseimbangan antara kepentingan publik dan perlindungan hak asasi.

5. Kolaborasi Internasional untuk Penguatan Pemulihan Aset Transnasional:
Dalam era globalisasi, kejahatan keuangan sering kali melibatkan pergerakan aset lintas negara, yang memerlukan koordinasi internasional dalam perampasan aset. Rekomendasi ini menyarankan pemerintah Indonesia untuk memperluas perjanjian kerja sama hukum dengan negara-negara strategis, terutama dalam lingkup asset recovery dan mutual legal assistance (MLA). Novelty dari rekomendasi ini adalah pentingnya pengembangan mekanisme lintas batas negara yang memungkinkan akses ke aset yang berada di luar yurisdiksi domestik, yang belum banyak diterapkan di Indonesia.

6. Evaluasi Dampak Sosial terhadap Keluarga Pelaku dalam Proses Perampasan Aset:
Selain fokus pada perampasan aset pelaku, disarankan agar undang-undang ini memperhatikan dampak sosial terhadap keluarga pelaku yang tidak terlibat dalam kejahatan. Rekomendasi ini menyarankan bahwa perampasan aset tidak boleh merugikan anggota keluarga yang tidak terkait, sehingga perlu ada mekanisme kompensasi atau pengecualian khusus bagi aset-aset yang terbukti tidak terkait dengan kejahatan. Kebaruan dalam saran ini terletak pada pendekatan yang lebih humanis dan berbasis hak asasi manusia dalam pelaksanaan perampasan aset.

7. Peningkatan Literasi Hukum dan Sosialisasi kepada Masyarakat:
Saran ini menekankan pentingnya sosialisasi tentang hak dan kewajiban masyarakat terkait regulasi perampasan aset. Selain itu, literasi hukum mengenai penggunaan hasil perampasan untuk kesejahteraan publik juga perlu ditingkatkan. Kebaruan dari rekomendasi ini adalah menciptakan keterlibatan aktif masyarakat dalam mendukung pemberantasan kejahatan melalui pemahaman tentang manfaat dan tujuan perampasan aset yang dilakukan oleh negara.

Melalui implementasi saran-saran ini, RUU Perampasan Aset diharapkan tidak hanya menjadi instrumen yang efektif dalam penegakan hukum, tetapi juga berdampak positif pada penguatan ekonomi dan keadilan sosial di Indonesia.

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV