Bedah Buku Hukuman Mati Dalam Tinjauan Hukum Tata Negara

FASYA-Jumat, (01/12/2023) Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta adakan seminar konstitusi dan hukum tata negara bersamaan dengan bedah buku karya Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H, M.H.,M.A.

Acara Seminar Konstitusi Dan Hukum Tata Negara: Bedah Buku Hukuman Mati Dalam Tinjauan Hukum Tata Negara tersebut dilaksanakan secara luring dan daring dengan menggunakan media Zoom Meeting dengan pokok pembahasan yaitu “Hukuman mati yang ditinjau dari hukum tata negara” dan diikuti oleh 185 peserta.

Acara yang dihadiri perwakilan dosen, mahasiswa, perhimpunan aktifis dan para pakar hukum diawali dengan sambutan dari saudara Ahmad Makruf, selaku Ketua panitia dan Keynote Speaker oleh Dr. H. Masrukhin, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah. Dr. H. Masrukhin, S.H., M.H. dalam paparannya ini menyampaikan bahwasanya sistem hukum di Indonesia dan kitab undang-undang kita masih menganut atau memakai hukuman mati sebagai hukuman terberat yang ada dalam tatanan hukum di Indonesia, yang mana negara-negara barat sudah menghilangkan hal tersebut atas nama demokrasi dan HAM. Sistem pidana menurut KUHP yang lama mengatakan, sistem hukuman yang berlaku di Indonesia itu mapen kuden yang mana memiliki arti: ‘mati penjara kurungan denda.’ Beliau menghimbau kepada mahasiswa yang hadir bahwa sistem itu harus disebutkan dengan urut karena sistem merupakan satu kesatuan yang memiliki tatanan yang jelas serta mengandung makna dan tidak boleh diubah.

Pada acara inti Seminar Konstitusi Dan Hukum Tata Negara: Bedah Buku Hukuman Mati Dalam Tinjauan Hukum Tata Negara dipimpin oleh Rahmat Triputra Riyadi selaku moderator dan pengurus PUSKOHIS. Setelah moderator membacakan CV dari pembicara, acara dibuka oleh Direktur PUSKOHIS Ahmad Muhammad Mustain Nasoha S.H.,M.H.,M.Ag. selaku pembicara pertama serta penulis buku “Hukuman Mati dalam Hukum Tata Negara.” Beliau mengutip kalimat dalam buku “the theory of law and stated“ hukum tidak boleh meninggalkaan aspek sosial, oleh karenanya beliau menghaturkan bahwa dalam perjalananya menyempurnakan pemahaman hukumnya beliau juga mengambil ilmu sosial untuk jenjang pendidikannya, karena sebagaimanapun hukum melangkah hukum tidak akan dapat dipisahkan dengan aspek sosial oleh sebab itu hukum tidak akan bisa berlawanan dari hal-hal yang bertentangan dengan kondisi sosial yang ada di masyarakat.

Dalam pembicaraan ini beliau memaparkan kesetujuanya mengenai hukuman mati karena hal ini telah selaras dengan apa yang terkandung dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang ada lantas berlaku sedari dahulu. Mustain juga memaparkan dalam bukunya bahwa menurut hukum Islam, hukuman mati juga tercantum didalam salah satu hukuman yang ada, hal ini telah dipaparkan oleh ulama seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, hingga Imam Syafi’i.

Dalam buku ini sangat lengkap karena bukan hanya mengandung data-data sekunder dalam penulisan buku ini juga memliki data primer sendiri yang diperoleh penulis. Selain menganalisis hukum, buku ini juga memiliki banyak teori hukum. Mustain berharap teori-teori yang ada dalam buku karyanya bisa digunankan untuk semua program studi yang ada di dalam fakultas hukum. Pada pokok inti pembahasan buku Hukuman Mati Dalam hukum Tata Negara Mustain memaparkan pula data-data berapa jumlah narapidana mati pada tahun buku itu dibuat serta menjelaskan mengenai sistem hukuman mati yang ada dan telah berjalan di Indonesia yang amat sangat alot dalam penerapanya penjatuhan serta eksekusinya pun sangat berbelit.

Selain itu, Mustain juga memaparkan hukuman mati yang diterapkan pemerintahan tidak lebih manusiawi hukuman mati yang ada dalam Islam. Alasannya, dalam proses penghukuman mati yang ada di Indonesia, ketika pelatuk ditembakkan dan peluru mengenai sasaran masih ada proses sakaratul maut atau kejang-kejang terhadap terpidana mati, berbeda halnya dengan hukuman penggal di Islam, ketika kepala telah terpisah dari badan saat dipenggal tidak ada proses kejang atau sakaratul maut yang menyiksa terpidana tersebut.

Mustain Nasoha mengakhiri paparannya dengan menjabarkan novelti yang terkandung di dalam bukunya. “Saya menolak hukuman mati di Indonesia beserta dengan sistemnya, karena menurutnya hukuman mati itu diberikan dengan cara dipenggal berdasarkan pada penelitian yang ada pada disertasi di luar negeri. Pembunuhan menggunakan cara penggal lebih manusiawi karena tidak ada proses kejang-kejang atau sakaratul maut disana yang mana menyiksa nyawa manusia,” tutupnya.

Memasuki sesi pemaparan materi kedua yaitu dari Zuhri Saifudin, S.H., M.H., seorang praktisi, penulis dan pendiri Law Firm Pedang Keadilan & Partners. Dalam sesi tersebut, beliau menyampaikan beberapa hal terkait Buku Hukuman Mati dalam Tinjauan Hukum Tata Negara. Menurut beliau, buku tersebut sudah sangat lengkap karena memuat perbandingan teori madzhab dan teori-teori lainnya sehingga menjadikan buku ini kaya akan konstruksi hukuman mati.
Hukuman mati berkaitan dengan konsep HAM. Dalam HAM terdapat hak hidup yang melekat yang diberikan Tuhan kepada manusia. Negara tidak punya hak untuk mencabut hak hidup tersebut. Namun, semuanya tetap dikembalikan kepada bagaimana hukum positivisme kita mengaturnya.

Dalam KUHP baru, terdapat masa uji coba sepuluh tahun bagi para terdakwa hukuman mati sebagai pertimbangan hukumannya tetap dilaksanakan atau tidak. Bila nantinya dinyatakan berkelakuan baik, maka hukuman mati dapat dibatalkan. Hal ini merupakan titik tengah yang dapat diupayakan dalam menyikapi perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak atas hak hidup manusia, apakah tuhan atau negara.

Selanjutnya, dalam sesi tanya jawab, Rahmat Triputra Riyadi selaku moderator membuka satu pertanyaan mengenai pengaruh intervensi negara lain terhadap hukuman mati di Indonesia. Zuhri Saifudin menanggapi pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwasannya memang ada campur tangan oknum luar yang tidak bisa disebutkan negara atau mereknya. Hal itu memang menjadi salah satu kendala yang mempersulit penerapan hukuman mati yang lebih khusus atau lex specialis agar hukum di Indonesia lebih tegas.

Pertanyaan kedua disampaikan oleh mahasiswi semester 1 prodi HKI bernama Dewi, yang mempertanyakan mengapa harus ada jangka waktu (masa percobaan) dalam hukuman mati. Zuhri Saifudin kemudian menjelaskan bahwa masa percobaan ini merupakan sebuah titik temu antara dua pihak, yakni antara pihak yang pro terhadap HAM dan pro terhadap hukuman mati.

Pertanyaan terakhir disampaikan oleh Muhammad Ismail, mahasiswa prodi HKI semester 1 yang pada pokoknya bertanya mengenai cara mengurus jenazah terdakwa hukuman mati yang dipenggal kepalanya. AM Mustain Nasoha memberikan masukan bahwa jenazah tersbeut kepalanya wajib disatukan dengan tubuh dan dikubur menggunakan peti mati untuk menghindari aib atau tidak dihormati.

Ketiga pertanyaan sudah dijawab, dan sebagai closing statement moderator memberi pesan: ‘Geen sraf zonder schuld’ bahwa ‘tidak ada hukum tanpa kesalahan.’ Oleh karenanya harus terus belajar dan kita sebagai mahasiswa hukum harus tetap mematuhi hukum yang berlaku karena kita merupakan pasak bagi negara ini agar hukum tetap tegak lurus dan meminimalisir kesalahan yang ada

(Rahmat Triputra Riyadi/Ed.afz/SINPUH)

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV