Bola Panas Otonomi Daerah dan Dinasti Politik

FASYA-Rabu (10/11/2021) Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta mengadakan diskusi dosen dengan tema “Dinasti Politik dalam Pusaran Korupsi di Era Otonomi Daerah” dan menghadirkan bapak Fery Dona, S.H., M.Hum., sebagai narasumbernya. Ada 3 kata kunci penting yang perlu dipahami dalam tema ini, yakni otonomi daerah, ‘raja-raja’ kecil, dan dinasti politik.

Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah resmi diberlakukan sejak 1 Januari 2001 di era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid. Undang-Undang tersebut disahkan oleh presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai respon atas gaya pemerintahan Orde Baru yang sentralistik di bawah kepemimpinan presiden Soeharto.

Dengan maksud mengelola negara berbasis kedaerahan yang lebih relevan dan dinamis, kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 justru menciptakan dilema baru, yaitu munculnya ‘raja-raja’ kecil yang menguasai pemerintahan daerah dan berpotensi menciptakan dinasti politik yang tak berkesudahan masa kekuasannya.

Bola Panas Dinasti Politik
Efek samping otonomi daerah, menurut Fery Dona, adalah adanya tumpang tindih antara pemerintahan pusat dan pemerintah daerah dalam soal kewenangan, kepentingan, dan tanggungjawabnya. Meski begitu, karena berposisi lebih tinggi, pemerintah pusat masih memilliki wewenang terhadap pemerintahan daerah dalam hal dengan penyusunan anggaran dan pengawasan pelaksanaannya.

Sebagai gambaran kompleksnya kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dapat dilihat pada pelaksanaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) saat pandemi Covid-19 melanda. Di saat pemerintah pusat bermaksud menerapkan PPKM secara nasional, ada saja daerah yang enggan menerapkan protokol PPKM.

Salah satu alasan mereka menolak adalah karena perbedaan kondisi geografis lokasi di mana pusat pemerintahan berada (dalam hal ini Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta) dengan daerah-daerah. Sebagai pusat pemerintahan dan bisnis, kuantitas persebaran manusia di DKI Jakarta jauh berbeda dengan daerah-daerah lain, begitu pula struktur sosial masyarakatnya. Artinya, aturan sentralistik semacam PPKM belum bisa dirasakan relevansinya di daerah-daerah, sehingga menimbulkan tumpang tindih yang nyata.

Apa yang menjadikan otonomi daerah berpotensi memunculkan raja-raja kecil di daerah dan dinasti politik, menurut Fery Dona, karena adanya frasa ‘aspirasi masyarakat’ yang tertera pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Implementasi atas frasa ‘aspirasi masyarakat’ bisa mengarah kepada politik uang untuk kepentingan jangka pendek, alih-alih demi pendidikan politik yang transparan dan fair bagi publik. Karena ‘merasa telah membeli’, barangakali hal ini menjadi penyebab ‘bertindak seenaknya’ dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Menurut Fery Dona, selain kepentingan masyarakat luas, korban dari raja-raja kecil serta dinasti politik adalah kader partai yang telah setia dan berkontribusi besar partai. Kader-kader terbaik dan potensial tersingkir oleh figur-figur yang “..memiliki pertalian darah atau keluarga, dengan elit atau incumbent.”

Maka, kemunculan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang No 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sempat mengatur larangan politik dinasti yang meresahkan tersebut. Pasal 7 huruf r beserta penjelasannya memberikan penegasan bahwa calon kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan dengan petahana, baik tidak memiliki hubungan darah dan lainnya.

Ada 2 alasan penting Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 hadir. Pertama, petahana yang mempunyai akses terhadap kebijakan dan akses terhadap alokasi anggaran dianggap berbahaya, karena dapat memberikan keuntungan pribadi untuk memenangi pemilihan kepala daerah atau memenangkan kelompok-kelompok mereka. Kedua, adanya kemauan yang kuat dari pemerintah untuk memutus mata rantai dinasti politik, tindakan koruptif, dan tindakan penyalahgunaan wewenang oleh oknum-oknum di dunia perpolitikan tanah air.

Namun, tanpa diduga aturan tersebut menemui perlawanan. Ketentuan pasal 7 huruf r akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menguji UU Pilkada 2015 terhadap UUD 1945. Putusan tersebut menyatakan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, karena dinilai melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

Sebegitu menyedihkannya keadaan perpolitikan di Indonesia sampai-sampai ia menjadi sesuatu yang dihindari, kecuali untuk kepentingan kekuasaan dan kekayaan instan melalui tindakan koruptif. Usaha-usaha untuk merespon efek samping otonomi daerah telah dilakukan, namun ia sirna dan berakhir menjadi harapan semu. (afd)

 

Link materi bisa diunduh di sini:

Dinasti Politik Dalam Pusaran Korupsi Di Era Otonomi Daerah

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV