Bulbit: Ngelmu Kasampurnan, sebagai Jalan Kesuksesan

Aris Widodo

(Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta)

Jika kita pernah mendengar istilah “Mabit” (Malam Bina Iman dan Taqwa), maka bulan Ramadhan bisa juga disebut “Bulbit” (Bulan Bina Iman dan Taqwa). Mengapa iman dan taqwa perlu dibina’ (dibangun)? Karena keduanya merupakan jalan kesuksesan.

Gusti Allah secara garis-besar memberikan “anatomi” tentang manusia: kafir, munafiq, muslim, mu’min, dan muttaqin.

Dan meskipun kita sudah menjadi “muslim”, terkadang sebetulnya masih menjadi, dalam tanda kutip, “kafir”. Yaitu dengan memperturutkan hawa-nafsu (Afara’ayta man ittakhaza ilahahu hawahu). Sehingga, pendengaran-batin, penglihatan-batin, dan qalbunya masih tertutup/kufr: covered (Wa khatama ‘ala sam’ihi wa qalbihi, wa ja’ala ‘ala basharihi ghisyawah).

Jika memperturutkan hawa (keinginan) nafsu bisa menjadi penyebab tertutupnya penglihatan-batin, pendengaran-batin, dan qalbu kita, maka untuk membuka “penutup” (ghisyawah, ghita’, hijab) tersebut, kita diajarkan untuk berpuasa. Yakni berupa menahan nafsu: makan-minum, dan “bergaul”.

Kalau ini dilakukan, maka “penutup” batin lapis pertama (al-shadr) mulai terbuka (fath, maftuh, kasyf): wa kasyafna ‘anka ghitha’aka, fa basharuka al-yauma hadid. Inilah puasa “syareat” (syari’ah).

Jika nanti bisa meningkat, puasa kita tidak hanya tidak menuruti nafsu makan-minum dan “bergaul” saja, namun juga tidak menuruti nafsu “mata, telinga, dan panca indera” lainnya.

Inilah puasa “tarekat” (thariqah). Jika ini dilakukan, maka “penutup” yang menutupi batin lapis kedua (al-qalb: wa lakin ta’ma al-qulub al-laty fi ash-shudhur) mulai terbuka.

Kalau meningkat lagi, puasa tidak hanya tidak makan-minum, “bergaul”, dan menjaga pandangan mata-telinga serta panca-indera, tapi menjaga pikiran-benak-hati dari hal-hal negatif.

Inilah puasa “hakekat” (al-haqiqah). Jika ini dilakukan, maka “penutup” batin lapis ketiga (fu’ad) mulai terbuka (ma kazaba al-fu’adu ma ra’a).

Kalo masih bisa meningkat lagi, kita tidak hanya berpuasa dengan tidak menuruti nafsu yg disebutkan di atas, tapi bahkan menjaga hati-pikiran-benak dari hal-hal positif, selain Allah (al-aghyar: al-akhzu bi al-haqa’iq).

Inilah puasa “makrifat” (al-ma’rifah). Jika ini dilakukan, maka “penutup” batin lapis keempat (al-lubb) mulai terbuka. Pada tahap ini, semua fenomena, dalam semua keadaan, mengingatkan pada Tuhan. (la ayat li ‘uli al-albab: allazina yazkuruna allaha qiyama wa qu’uda wa ‘ala junubihim).

Setelah “penutup” yang menutupi batin, sesuai dengan levelnya di atas, terbuka, maka Tuhan akan menganugerahkan “barakah”. Lagi-lagi sesuai tingkatan yang dicapainya. (walaw anna ahla al-qura amanu wat-taqaw la-fatahna ‘alaihim barakat min as-sama’i wa al-ardhi).

Itulah mengapa, bulan Ramadhan sebetulnya merupakan gerbang menuju kebeningan hidup (tashawuf), dengan ngelmu kasampurnan, berupa tidak memperturutkan hawa (keinginan) nafsu, sebagai jalan kesuksesan (al-falah, muflihun), menuju keberkahan hidup.

Mudah-mudahan Ramadhan kali ini, bukan hanya repetisi (pengulangan) tanpa arti.

Khusus untuk diriku, mohon do’anya, aku bisa mendapatkan “kebeningan mata-batin” (Shofwatul Aini). Maturnuwun. Selamat berpuasa kawans.

 

Catatan:

Untuk mendalami lebih lanjut pembahasan di atas, dipersilakan membaca kitab:

Al-Farq baina ash-Shudur wa al-Qalb wa al-Lubb.

Sirr al-Asrar wa Mazhhar al-Anwar.

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV