Dilema Perempuan: Karir, Rumah Tangga, atau Keduanya?

Oleh: Dewi Rachmawati

(Santri Pesantren Mahasiswa Munawir Sjadzali, Fakultas Syariah IAIN Surakarta – [email protected])

 

Perempuan sungguh mahluk tidak beruntung, dipandang lemah tidak saja oleh sebagian laki-laki namun juga oleh sebagian perempuan. Yang dipandang lemah tidak dipungkiri merasa tertantang menolak anggapan keliru tersebut dengan membuktikan diri mampu mencapai pencapaian tertinggi laki-laki. Mereka tentu saja menyukai pencapaian Menteri Sri Mulyani, salah satu perempuan paling berprestasi di Indonesia. Akhir tahun 2018 didaulat sebagai Finance Minister of The Year East Asia Pacific (tingkat regional) dan bahkan di awal 2108 didaulat pula sebagai Best Minister in The World (tingkat dunia), suatu capaian langka seorang perempuan. Siapa tidak ingin?

Sejatinya, tanpa perlu membuktikan diri melalui pencapaian tinggi, perempuan memiliki peran penting bagi terwujudnya kehidupan keluarga yang sejahtera. Perempuan yang berumah tangga memiliki peran dalam mendidik anak-anaknya atau memberi rasa hangat bagi adik dan kakaknya jika ia seorang anak perempuan. Namun, interaksi di rumah yang terbatas membuat seorang perempuan gelisah. Dorongan dari dalam diri untuk beraktivitas di luar rumah, apakah karena faktor bosan, tertantang ingin membuktikan diri, tertarik ajakan teman, dan bahkan membantu menopang ekonomi keluarga, jelas tidak terelakkan.

Tentu saja Islam tidak melarang perempuan bekerja. Tidak ada dalil yang melarang, melainkan hanya dalil bahwa kewajiban nafkah itu menjadi tanggungan suami. QS 2:233 sudah menjelaskan dengan tuntas apa yang menjadi kewajiban istri dan suami. Pada prinsipnya, perempuan boleh bekerja selama yang menjadi kewajibannya, menyusui anak-anaknya selama (kalau bisa hingga genap) 2 tahun, tuntas terlaksana. Sementara pada QS 4:34 makin ditegaskan apa saja yang perlu dilakukan masing-masing sebagai kewajiban dalam rumah tangga. Jadi, menurut QS 4:34, dibenarkan ketika perempuan memilih tidak bekerja dan bertanggungjawab atas rumah tangganya saat suami sedang tidak di rumah (bekerja).

Bagaimana dengan perempuan yang belum bersuami? Umumnya, jika mereka telah bekerja dan kebetulah lokasinya jauh dari keluarga, ada perasaan bebas melakukan semua hal yang disukai tanpa perlu risau ‘diomeli’ orang tua. Namun begitu, selama menjaga diri dan hati-hati (secara umum, baik sebagai perawan, Muslimah, maupun anak orang tua) serta taat pada aturan kerja, rasa-rasanya orang tua tidak perlu mengkhawatirkan perempuan muda yang sedang meniti karir ini.

KESAN TERHADAP PEREMPUAN BEKERJA

Meski memiliki peran penting di rumah tangga, tidak ada alasan melarang perempuan untuk bekerja dan meniti karir di luar rumah. Narasi ketakutan ‘rumah tangga bermasalah’ yang menyebar di tengah masyarakat jelas tidak beralasan dan berlebihan. Ini berlaku tidak hanya perempuan yang sudah menikah, terhadap yang belum menikah pun sama saja. Narasi ketakukan ‘hamil di luar nikah’ terus dipelihara hingga kini. Sungguh prasangka yang kurang baik dipelihara.

Hemat kami, ada sisi positif sekaligus negatif dari perempuan yang bekerja. Sisi positifnya, (1) perempuan menjadi lebih mandiri, (2) tidak tergantung pada orang lain, terutama orang tua, (3) terlihat lebih dewasa, (4) memiliki pola pikir lebih maju, (5) mengenal lebih baik dunia atau hal-hal di sekitarnya, (6) bersosialisasi secara memadai dengan orang lain, (7) memiliki lebih banyak pengalaman, dan (8) tercukupinya kebutuhan ekonomi. Sementara sisi negatifnya, baik bagi yang sudah menikah maupun perawan, (1) berpotensi meninggalkan kewajibannya, sebagai istri maupun anak, (2) dan (2) berpotensi dan dikhawatirkan terjadi pergaulan bebas dan perselingkuhan, karena memiliki lebih banyak interaksi dengan orang lain.

Meski menimbulkan kekhawatiran yang boleh jadi berakibat fatal (hamil di luar nikah dan perselingkuhan), sisi positif yang melimpah justru menjadi tameng dan pengetahuan bagaimana mencegah terjadinya hal-hal negatif jika perempuan bekerja. Bukankah pisau dapat digunakan untuk memasak sekaligus membunuh? Setiap hal pasti mengandung sisi positif sekaligus negatifnya. Tidak perlu berlebihan menarasikan ketakutan hanya dari sisi negatifnya dengan melupakan sisi-sisi positifnya. Bolehlah bekerja, dengan tidak melupakan kewajiban rumah tangga. Mari berkarya, menjalani hidup dengan cara mulia. Wallahu a’lam. (afd)

 

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV