Dispensasi Nikah Tinggi di Era Pandemi: Solusi atau Tragedi?

FASYA-Selasa (21/09/2021) Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Dispensasi Nikah Tinggi di Era Pandemi: Solusi atau Tragedi?” dan menghadirkan 2 narasumber yang kompeten di bidangnya.

Narasumber pertama, ibu Siti Kasiyati, S.Ag., M.Ag., dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, merangkap sebagai advokat dan aktivis ‘Aisyiyah di tingkat Jawa Tengah dan Nasional. Narasumber kedua, Dr. Bastiar, S.H.I., M.A., dosen sekaligus kepala Program Studi (Prodi) Hukum Keluarga Islam (HKI) IAIN Lhokseumawe dan pernah menjabat sebagai Wakil Rektor 3 di kampus yang sama pada tahun 2010-2016 (STAIN Lhokseumawe) dan 2016-2019 (IAIN Lhokseumawe).

Tarik Ulur Batas Bawah Usia Nikah
Kedewasaan tidak selalu sejalan dengan kematangan usia seseorang. Namun, dalam satu parameter umum dinyatakan bahwa semakin tinggi usia seseorang semakin ia layak disebut dewasa. Dalam konteks pernikahan, kedewasaan seseorang nyatanya dipengaruhi banyak faktor. Dengan demikian, batas bawah menikah tidak selalu berada di angka tertentu (sebut saja usia 14, 19, 20, atau 25 tahun), namun turut melibatkan hal-hal lain, salah satunya faktor psikis kedua mempelai.

Untuk mengatakan usia yang terlalu muda menjadi sebab tingginya perceraian mungkin benar secara statistik. Namun, pernikahan dini seseorang tidak selalu membuatnya berada dalam kesengsaraan yang dikhawatirkan banyak kalangan. Di sinilah muncul gap atau jurang pemisah yang menjadi ruang perdebatan bagi para pakar di bidang hukum dan pembinaan keluarga.

Sebagai advokat sekaligus aktivis yang banyak berinteraksi dengan penyintas konflik kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian, ibu Siti Kasiyati menyesalkan kurang maksimalnya hal-hal di seputar keluarga, baik sebelum maupun setelah pernikahan terjadi. Misalnya pengelolaan keuangan, pengelolaan beban kerja keluarga, dan utamanya adalah mengelola mental dalam mengelola rumah tangga. Karenanya bu Kasiyati menyarankan usia 21 tahun sebagai fair age bagi seseorang untuk menikah (bukan 19 tahun sebagaimana diatur undang-undang).

Posisi fair age usia 21 tahun merupakan usia transisi pasca sekolah menegah atas dan sedang menjalani fase kuliah atau dunia kerja awal (jika bekerja). Dalam sebuah dokumen tentang perkembangan manusia, riset State Adolescent Health Resource Center (SAHRC) bersama University of Minnesota menyatakan bahwa secara umum usia 18-24 tahun, yang dikategorikan sebagai late adolescence atau young adulthood, didominasi proses adaptasi dan penyesuaian seseorang dengan kehidupan barunya. Misalnya, anak lelaki masih akan menyaksikan perkembangan fisiknya hingga usia 21 tahun, atau proses negosiasi ulang dengan orang tua, serta proses mengenali identitas diri. Nah, usia 21 tahun dianggap sebagai fair age karena posisinya berada di tengah fase young adulthood sehingga dianggap ‘lebih baik’ dibanding masa awal young adulthood. Tentu saja ‘saran’ bu Kasiyati bersifat personal dan berbasis pengalaman.

Sementara pak Bastiar, dengan kultur struktur kekeluargaan khas Aceh, beliau mengajukan opsi ‘antitesis’ bahwa usia menikah tidak harus minimal usia 19 tahun. Alasannya, kedewasaan seseorang tidak ditentukan usianya. Namun, hal ini tidak berarti nikah bisa dilaksanakan ‘sesuka hati’. Pak Bastiar menjelaskan bahwa di luar soal batasan usia menikah, ada hal-hal penting yang perlu dipenuhi dan diusahakan oleh kedua mempelai dan keluarga.

Alih-alih kita menyepakati batas usia menikah, alangkah baiknya memikirkan hal-hal personal yang perlu dilalui dan dipenuhi sebelum melangkahkan kaki ke jenjang pernikahan. Menurut pak Bastiar, apa yang menjadi poin-poin pendidikan keluarga ala Islam adalah dipenuhi pendidikan keluarga dan manajemen pernikahan yang baik agar tercapai harapan sakinah yang paripurna.

Apa yang dikemukakan bu Kasiyati dan pak Bastiar tergolong sebagai isu penting dalam kasus dispensasi nikah yang meninggi selama pandemi. Maka, mengenai apakah disebut ‘solusi atau tragedi’ dalam konteks meningkatnya dispensasi nikah, itu bukan soal yang perlu dijawab. Yang pasti, hal tersebut merupakan gap yang padanya layak dilakukan riset lebih lanjut. Harapannya, tesis-tesis baru yang dilahirkan akan menjadi sumbangsih nyata bagi kemajuan dan keparipurnaan pengelolaan hukum keluarga Islam di Indonesia. (afd)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV