Software Waris: Progresivitas atau Stagnasi Hukum Waris Islam?

Oleh: Sidik

(Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta)

Sejak awal 1990-an hingga saat ini, keberadaan software waris Islam dengan segala variannya terus berkembang di Indonesia.

Tidak hanya berbasis komputer, aplikasi waris kini juga berbasis android. Di antara aplikasi waris yang beredar itu adalah: IRTH Program Waris Islami, At-Tashil, Faroid Program waris Islami, Aplikasi Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam, Faroidh Pengitungan Waris, dan masih banyak lagi.

Lantas apa makna keberadaannya dalam konteks kajian hukum waris Islam di Indonesia? Apakah keberadaannya menandakan progresivitas hukum waris Islam atau stagnasi?

Terlepas dari plus minus masing-masing software, secara praktis, keberadaannya menandakan progresivitas media penghitungan waris Islam dari manual ke digital.

Kemudahan teknis operasionalisasi dan akurasi kebenaran penghitungan menjadi nilai lebih sekaligus menandakan progresivitas software waris.

Sementara secara teoritis, keberadaan software waris potensial membawa masyarakat pada kecenderungan tekstualisme hukum waris Islam.

Ini terjadi karena software waris merupakan pengejawantahan fikih waris konvensional ke dalam bentuk digital. Selain itu, software waris lebih kental nuansa pragmatisnya untuk tujuan kemudahan penghitungan, ketimbang teoritiknya.

Akibatnya, bagi pengguna yang awam konsepsi waris Islam, ia mungkin dapat mengoperasikan software waris namun tidak disertai kemampuan memahami logika dan filosofi di balik hasil penghitungannya.

Ia misalnya tidak bisa menjelaskan mengapa bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan atau mengapa anak laki-laki dapat menghalangi hak waris cucu dari anak laki-laki.

Sementara bagi pengguna yang memahami konsepsi waris Islam, penggunaan software waris berpotensi menggiringnya untuk membatasi diri melakukan transformasi dan kontekstualisasi hukum waris Islam. Ini karena software waris menyajikan hasil penghitungan secara matematis sejalan dengan ketentuan fikih waris konvensional (fikih klasik).

Transformasi Hukum Waris

Kecenderungan demikian tentu kontra produktif dengan semangat transformasi hukum waris Islam yang berkembang dari waktu ke waktu di Indonesia.

Sebagaimana terekam dalam sejarah, pasca politik peminggiran hukum Islam oleh kolonial, termasuk praktik hukum waris, upaya-upaya mengaktualisasikan kembali praktik hukum waris Islam di Indonesia terus dilakukan.

Hazairin (1906-1975) penggagas “Islam Mazhab Nasional” misalnya menawarkan konsep kewarisan bilateral karena dipandang lebih sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia dibanding kewarisan fikih konvensional yang bercorak patrilinial.

Melalui konsep kewarisan bilateral, Hazairin antara lain meniadakan konsep ‘ashabah dan zul-arham serta menawarkan konsep ahli waris pengganti (Anshori, 2005).

Berikutnya upaya transformasi hukum waris Islam juga dilakukan oleh Munawir Sjadzali (1925-2004). Ia menawarkan konsep kewarisan Islam kontekstual yang menempatkan hak waris perempuan setara laki-laki (Fu’ad, 2005).

Setelah keduanya, transformasi hukum kewarisan Islam di Indonesia dilakukan melalui upaya-upaya legislasi. Pada tahun 1991, lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI). Persoalan waris diatur pada Buku Kedua KHI, mulai pasal 171 sampai pasal 214.

Melalui KHI, ketentuan hukum waris Islam mengakomodasi nilai-nilai adat dan sosial budaya di Indonesia. Wal hasil, terdapat sejumlah ketentuan waris dalam KHI yang mengalami transformasi dari ketentuan fikih konvensional.

Beberapa di antaranya pembagian secara damai (pasal 183), ahli waris pengganti (pasal 173), wasiat wajibah (pasal 209), gono-gini/harta bersama (pasal 96, 97, 190), kewarisan kolektif (pasal 189), dan lain-lain.

Namun, keberadaan KHI bersama seperangkat pergeserannya itu, oleh sebagian kalangan, tidak sepenuhnya dipandang telah mengakomodir kondisi yang berkembang. Sehingga, pada era reformasi, muncul upaya-upaya untuk memperbaruinya.

Gagasan-gagasan pembaruan itu antara lain disuarakan oleh tim pengarusutamaan gender pada tahun 2004 melalui usulan draft hukum tandingan (Counter Legal Draft) KHI. Gagasan yang diajukan cenderung liberal.

Misalnya, pembagian waris setara antara perempuan dan laki-laki (1:1), beda agama bukan penghalang waris, dan anak luar kawin berhak waris selama ayah biologisnya bisa dibuktikan. Akibatnya, muncul pro-kontra, sehingga gagasan ini dibatalkan oleh Menteri Agama (Huzaemah, 2004; Wahid, 2014).

Pasca upaya-upaya tersebut, gagasan transformasi hukum waris Islam relatif berhenti. Sebaliknya, tren digitalisasi hukum waris Islam dan sosialisasinya terus berkembang sejalan perkembangan teknologi.

Menimbang Software Waris

Jika tren software waris ini, meminjam kategori Liek Wilardjo (2010), dimaknai ala “ideologiwan perencanaan” yang semata berorientasi digitalisasi secara pragmatis tanpa peduli dampak negatifnya pada transformasi kewarisan Islam, maka keberadaan software waris ini merupakan stagnasi bagi kajian hukum waris Islam.

Jika keberadaannya dimaknai ala “anti kebudayaan” yang menolak teknologi untuk mempertahankan  tradisi (Wilardjo: 2010), maka ini juga stagnasi, karena keberadaan teknologi waris dianggap mengganggu konstruksi kewarisan Islam (tradisi).

Jika keberadaannya dimaknai ala “futurologiwan kritis” yang menerima teknologi dengan mengkritisi plus minusnya, disertai penerimaan ala “transendentalis” yang menerima teknologi dengan mempertahankan dimensi spiritualitasnya (Wilardjo, 2010), maka software waris tersebut dapat bernilai progresif bagi kajian hukum waris Islam.

Melalui dua pemaknaan terakhir (“futurologiwan kritis” dan “transendentalis”), teknologi waris tidak cuma ditangkap aspek pragmatisnya saja tetapi juga dicermati dampak negatifnya terhadap transformasi hukum waris Islam .

Dengan begitu, agar keberadaan software waris bernilai progresif bagi transformasi hukum waris Islam, maka pemanfaatannya harus disertai edukasi filosofi dan konsepsi kewarisan Islam. Melalui hal ini, pengguna software waris selain memahami teknologi waris juga memahami logika dan filosofi di balik penghitungannya.

Pemahaman ini diharapkan mendorong pengguna software waris untuk bersikap kritis terhadap hasil penghitungan waris berbasis teknologi.

Hal ini pada urutan berikutnya bisa menjadi modal penting agar keberadaan software waris lebih bernilai progresif bagi transformasi hukum waris Islam dan bukan sebaliknya keberadaannya menjadi faktor stagnasi. Wallahu a’lam.

Notes: Artikel ini telah dimuat juga dalam buletin “Al-Munawwir” Pesma Munawir Sjadzali Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Februari 2019.

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV