Fakultas Syariah Kaji IT dan Disrupsi Pengelolaan Zakat di Era Industri 4.0

FASYA- Persoalan Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (Ziswaf) dalam tataran fikih sudah “selesai” dibahas para fuqaha’. Demikian juga soal regulasinya, sudah dikaji para legislator. Tinggal kini bagaimana implementasinya dalam realitas.

Pada tahap ini, persoalan manajemen dan sains (teknologi) menjadi penting didiskusikan guna memaksimalkan potensi Ziswaf. Di sinilah letak pentingnya kegiatan ini.

Demikian Lutfi Rahmatullah, S.Th.I., M.Hum selaku moderator mengawali sesi diskusi kegiatan Workshop IT dan Pengembangan Ziswaf di Era Industri 4.0. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Fakultas Syariah pada Jum’at, 3/5/2019 ini bertempat di ruang rapat Fasya Lt. 3.

Dihadiri pimpinan di lingkungan Fakultas Syariah, dalam sambutannya Dr. M. Usman, S.Ag., M.Ag selaku Dekan menyambut positif kegiatan ini. Menurutnya, kegiatan ini dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk menggali pengetahuan langsung dari pengalaman para praktisi Ziswaf.

Kegiatan yang diikuti sekitar 80 lebih mahasiswa itu menghadirkan Drs. H. Abdul Muid, M.M. (Wakil Ketua Bagian Perencanaan Keuangan dan Pelaporan Baznas Karanganyar) dan Ardhianto Murcahya, S.Psi (Kepala Kantor Laznas Darut Tauhid Peduli Karanganyar).

Peserta menyimak paparan Abdul Muid, Baznas Karanganyar.

Manajemen Ziswaf

Abdul Muid menekankan topik terkait manajemen Ziswaf. Khususnya berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Baznas Karanganyar, yang tercatat sebagai salah satu Baznas terbaik di Jawa Tengah.

Menurut Abdul Muid, dari waktu ke waktu, dana ZIS yang berhasil dikumpulkan oleh Baznas Karanganyar terus meningkat. Pada tahun 2018 Baznas Karanganyar berhasil mengumpulkan dana ZIS sebesar sekitar Rp. 15 Milyar.

Keberhasilan ini bisa dicapai antara lain, lanjutnya, berkat adanya kepercayaan masyarakat kepada ‘amil (pengelola).

Kepercayaan pada ‘amil menurut beliau harus senantiasa dibangun. Hal itu antara lain dapat dilakukan dengan mengenalkan eksistensi Baznas kepada masyarakat.

“Dulu, masyarakat sering tidak bisa bedakan antara Baznas dengan Basarnas. Lalu kita sosialisasikan keberadaan Baznas. Misalnya lewat plang kalimat thoyyibah di jalan kota. Kita juga lakukan tanya jawab zakat di koran. Lama kelamaan masyarakat juga tahu,” jelasnya.

Baznas juga menurut beliau pernah membeli dua mobil ambulan untuk layanan jenazah dan orang sakit. Bahkan mobil tersebut boleh dimanfaatkan oleh masyarakat non muslim. Dengan begitu eksistensi Baznas semakin dikenal publik.

Kepercayaan kepada ‘amil, terang Muid, juga dilakukan lewat program-program yang bermanfaat. Di antaranya adalah program terkait kecerdasan yang berupa beasiswa, dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi.

Program lainnya adalah terkait kesehatan. Dalam hal ini Baznas melakukan kegiatan khitan massal dan poliklinik. Sementara di bidang dakwah, Baznas antara lain memiliki program pembangunan masjid, TPQ, dan guru TPQ.

Di bidang kepedulian, lanjut Muid, Baznas memiliki program terkait bantuan bencana. Sementara di bidang ekonomi, Baznas memiliki program seperti santunan bagi pedagang kecil kota.

Disrupsi Ziswaf

Pembicara kedua, Ardhianto Murcahya, menekankan materi terkait teknologi dan pengembangan Ziswaf. Menurut Ardhi, dalam konteks Ziswaf, era industri 4.0 ditandai dengan pergeseran layanan yang lebih cepat, mudah, dan murah.

“Biasanya kalau mau bayar zakat, masyarakat datang ke amil zakat di sekretariat Ziswaf atau masjid. Sekarang, mereka cukup log in ke laman tertentu yang terpercaya,” terangnya.

Ini karena menurutnya, sekarang muzakki ingin lebih cepat, tepat waktu, dan tepat sasaran dalam menunaikan Ziswaf nya. Dan perkembangan IT mendukung hal itu.

Ia mencontohkan, di DT peduli misalnya terdapat aplikasi layanan zakat seperti Zains. Melalui aplikasi tersebut petugas (‘amil) cuma dibekali HP, lalu proses input dan notifikasi.

Di DT peduli, Ziswaf juga bisa dilayani melalui layanan whatsapp jemput zakat, transfer, dll. Layanan zakat bisa juga melalui portal donasi online semisal pedulinegeri.com atau dpudt.core.

Platform pedulinegeri.com dan dpudt.core.

Keberadaan teknologi tersebut, lanjutnya, telah menghadirkan pergeseran (disrupsi) dalam praktik Ziswaf.

“Biasanya, jika hendak membantu sesama lewat amil zakat, masyarakat diminta foto data dan kelengkapan lainnya. Saat ini, bahkan siapapun bisa bertindak sebagai ‘amil. Salah satunya bisa lewat platform kitabisa.com,” ulasnya.

“Bahkan, berkat teknologi, praktik kotak infak di masjid kini mulai bergeser menggunakan tempelan barcode. Tinggal buka HP lalu scan barcode. Donasi lebih cepat dan lebih efektif,” tambahnya.

Diskusi

Pada sesi tanya jawab, sejumlah peserta mengajukan pertanyaan dengan antusias dan kreatif.

Dani, misalnya menanyakan, bagaimana cara meyakinkan masyarakat petani yang paham agama namun belum maksimal menunaikan Ziswaf? Ia juga bertanya, apa yang seharusnya dilakukan mahasiswa agar perkembangan teknologi tidak sampai mengikis peran sarjana Mazawa kelak dalam pengelolaan Ziswaf?

Sementara Kuni, peserta lainnya, menanyakan bagaimana status pengumpulan zakat melalui tokoh agama pada masyarakat tradisional?

Penanya lainnya, Nurul Ahmad,  menanyakan bagaimana solusi proteksi bagi muzakki dari praktik layanan Ziswaf online yang bisa jadi disalahgunakan alias modus penipuan? Senada dengan itu, Nurhayati menanyakan bagaimana cara menghindari ancaman hacker, yang bisa jadi memindahkan data dana Ziswaf ke rekening lain?

Menjawab beberapa pertanyaan tersebut, Abdul Muid menjelaskan bahwa pada masyarakat tradisional perlu disosialisasikan persoalan ziswaf secara lebih massif.

“Sosialisasikan antara lain lewat kultum dan khtubah. Namun harus dikemas dengan lebih menarik. Misalnya lewat kisah dan cerita. Selain itu perlu juga mengaktifkan sosialisasi lewat pengurus RT,” jawabnya.

“Menunaikan Ziswaf lewat tokoh agama dari sisi hukum bisa saja kena sanksi pidana. Terutama bagi ‘amil yang tidak punya legalitas. Sebetulnya boleh saja disetorkan melalui tokoh agama, tapi lebih utama melalui ‘amil resmi,” terangnya lebih lanjut.

Sementara Ardhi menegaskan, di tengah perkembangan IT, sarjana Mazawa bisa berperan sebagai ‘amil yang profesional. Karena ke depan, ‘amil harus memiliki sertifikat profesi. Dengan kata lain, keberadaannya diperhitungkan.

Namun dengan kemajuan teknologi, menurutnya, fungsi ‘amil lebih berperan sebagai verifikator data dan tidak terlalu ke lapangan. Selain itu, secara teologis, lanjutnya, anda tidak perlu kawatir karena profesi ‘amil  tidak bakal ada “habisnya”.

Terkait modus teknologi, ia menyatakan, muzakki perlu hati-hati.

“Saat menggalang donasi disarankan melalui platform yang sudah memiliki dasar hukum. Dan biasanya setiap platform memiliki sistem verifikasi data, sehingga memberikan perlindungan kepada muzakki dari modus negatif,” pungkasnya. [SH]

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV