Deny Marita Wijayanti
(Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta)
Pembahasan soal keadilan dalam Hukum Keluarga Islam selalu menarik. Pasalnya, meski hak dan kedudukan masing-masing anggota keluarga telah tergambar jelas di dalam Islam, namun dalam praktiknya masih banyak terjadi diskriminasi hak, khususnya terhadap kaum perempuan.
Ini yang mendorong para praktisi gender untuk terus menyuarakannya dengan lantang. Menuntut keadilan bukan sesuatu yang buruk bagi seorang perempuan. Hal tersebut malah mempertegas bahwa perempuan memang memiliki hak dan kewajiban yang seimbang.
Di dalam Islam, keadilan hak perempuan dan laki-laki sudah dijelaskan dalam sejumlah nas al-Quran. Ada tiga kelompok nas yang membahas keadilan gender. Pertama, nas yang menunjukkan dan membangun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kedua, nas yang mengangkat setatus perempuan untuk sejajar dengan laki-laki. Ketiga, nas yang mengurangi hak mutlak laki-laki.
Secara umum, keadilan bermakna menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Keadilan juga dapat bermakna penempatan sesuatu yang sebelumnya tidak mendapat tempat atau akses sosial.
Dalam fikih klasik, pernikahan didefinisikan sebagai akad antara seorang laki-laki dan perempuan di mana laki-laki memiliki hak kesenangan seksual sepenuhnya terhadap perempuan. Definisi demikian tampak menekankan bahwa seolah nikah hanya untuk kepentingan laki-laki semata, bukan untuk laki-laki dan perempuan secara seimbang.
Namun pada abad ke-20 Abu Zahrah dalam kitab al-Ahwal as-Syakhshiyah mendefinsikan pernikahan sebagai akad di mana laki-laki dan perempuan sama-sama halal untuk memiliki relasi, hubungan, dan saling menikmati. Definisi demikian mencerminkan adanya relasi kesalingan dalam pekawinan.
Tampak bahwa pada dasarnya Islam sudah memiliki prespektif keadilan terkait hak perempuan dalam keluarga. Namun demikian belum banyak pengkaji yang konsisten menggali tema-tema hukum keluarga yang mencerminkan kerahmatan, kemaslahatan dan keadilan sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Zahrah. Pada umumnya para pengkaji isu kelurga masih berpegang teguh pada konsepsi fikih klasik.
Cukup banyak permasalahan keadilan dalam keluarga di era kentemporer yang perlu mendapat perhatian. Perspektif mubadalah (kesalingan) perlu terus digalakkan agar suami dan istri memiliki kedudukan yang sama dan saling memberi kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan dan kebahagiaan itu bukan hanya untuk salah satu pihak namun bagi kedua belah pihak.
Kajian terkait keadilan dalam keluarga ini menyadarkan tentang pentingnya kesetaraan gender. Selain itu paparan para narasumber juga menyadarkan bahwa kesetaraan gender bukanlah sebatas omongan. Namun ia perlu terus digaungkan agar tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
Demikian setidaknya catatan ringkas zoominar tentang Keadilan dalam Hukum Keluarga Islam yang dilaksanakan oleh Pascasarjana IAIN Salatiga pada Rabu, 09 Maret 2022 lalu. Zoominar ini dilaksanakan seiring peresmian Center for Education, Peace, and Social Justice (CEPaSo) dengan menghadirkan pemateri Prof. Khoiruddin Nasution, MA dan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. (SH)