Manusia “Peminum Kata”

Manusia “Peminum Kata”
Judul Buku    : Ngombe
Penulis           : Eko Sri Purwaningsih,dkk.
Penyunting    : Udji Kayang Aditya Supriyanto
Penerbit         : Bilik Literasi
Tebal Buku    : 164 halaman
Cetakan I       : November 2017
ISBN               : 978-602-6645-21-0

Pada 13-14 Mei 2017 lalu, para pembelajar dari Bilik Literasi melaksanakan sinau menulis di Omah Petruk dekat lereng Gunung Merapi. Mereka sekumpulan manusia “peminum kata” dari berbagai daerah dan universitas yang berkeinginan menulis masalah minuman di era modern. Kini minuman itu rupanya sudah tersaji dan telah diterbitkan menjadi buku berjudul Ngombe (2017).
Mendengar kata Ngombe, kita mafhum akan ungkapan lokal “urip mung mampir ngombe.” Ungkapan yang berasal dari kebudayaan Jawa ini, telah membumi di seluruh penjuru negeri. Ungkapan yang penuh filosofi tersebut mengajak untuk memikirkan kembali hakikat minuman secara teologis (agama). Selain itu ungkapan tersebut juga memang layak untuk masyarakat Indonesia lantaran negeri ini didominasi wilayah perairan. Hal itu sekaligus pula menghadirkan godaan untuk senantiasa merasa “kehausan” akan berbagai atribut minuman yang ada di negeri ini.

Hal tersebut mendorong para pembelajar untuk menyoroti berbagai minuman yang tersedia dan digemari masyarakat Indonesia. Dengan berkumpul dan bercerita, mereka memilih berbagai minuman yang telah hadir di penjuru negeri untuk diulas. Berbagai minuman seperti minuman kemasan, sirup, teh, kopi bahkan miras, direfleksikan guna menggali lebih dalam substansi kehidupan masyarakat Indonesia.
Kita misalnya bisa menemukan tulisan Eka Riowati, alumnus mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah IAIN Surakarta yang mencermati air kemasan lewat goresannya berjudul AKUa. Eka mencoba membaca secara kritis realitas komodifikasi air tawar. Ia bercerita, dulu kala, orang-orang gemar merebus sendiri air tawar dari sumur untuk dikonsumsi. Selain untuk dikonsumsi keluarga, air tawar pun senantiasa hadir di depan rumah disajikan cuma-cuma dalam sebuah kendi untuk pengelana.
Di zaman ini, para pengelana sudah sulit mendapatkan air minum gratis langsung dari kendi. Mereka mesti mampir ke warung untuk membeli air tawar atau dalam bahasa pasar disebut air mineral. Eka menandaskan dengan sinis,”mampir ngombe tidak akan dikenal kembali sebagai pengibaratan bersemangat filosofis tinggi.” Mampir ngombe ya kudu mbayar! (hlm. 15).
Sementara M. Taufik Kustiawan, mahasiswa Hukum Pidana Islam IAIN Surakarta memilih mengulas masalah budaya mengonsumsi sirup di bulan suci Ramadan. Sirup yang hadir melalui berbagai iklan di televisi tampil sebagai godaan yang mesti dikonsumsi masyarakat yang sedang menjalankan puasa. Bulan Ramadan yang semestinya menjadi bulan penuh ujian, menjaga hawa nafsu dan melatih kesederhanaan, malah dilimpahi berbagai minuman penyegar dahaga. Berlimpahnya berbagai minuman tersebut menjadi tanda bahwa bulan berkah dan kesederhanaan itu telah beralih menjadi bulan konsumsi bagi umat muslim (hlm. 72).
Demikianlah minuman dimaknai dalam sejumlah esai buku “Ngombe” (2017) ini. Buku yang menghadirkan oplosan berbagai jenis minuman: tawar, manis, pahit dan keras ini, lebih jauh hendak meyakinkan kita bahwa minum bukan sebatas membasahi tenggorokan. Ia juga menggoda nalar dan pikiran, serta merefleksikan kehidupan masyarakat di tengah perubahan. Selamat “ngombe” dan mengkritisi. (Taufik)

img-20180220-wa0004 img-20180220-wa0003

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV