Menikah Dini atau Menikah Muda?

Oleh: Rumiatun

(Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam, Santri PESMA Munawir Sjadzali Fakultas Syariah IAIN Surakarta, E-mail: [email protected])

Istilah pernikahan dini atau pernikahan muda sebenarnya tidak dikenal dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI). Istilah yang lebih popular adalah pernikahan di bawah umur, yaitu pernikahan pada usia di mana seseorang belum mencapai usia dewasa (Koro, 2012: 72). Umumnya pernikahan ini dilakukan oleh pemuda pemudi yang belum mencapai taraf ideal untuk melangsungkan pernikahan. Bisa dikatakan mereka belum mapan secara emosional, finansial, serta belum siap secara fisik dan psikis.

Adapun dalam istilah internasional pernikahan dini dikenal dengan child marriage atau early marriage. Maksudnya pernikahan yang terjadi pada anak di bawah umur 18 tahun. Pembatasan dalam angka 18 ini sesuai dengan batas usia perlindungan anak yang ditetapkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak Internasional (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1989 (Justice for Iran, 2013: 13).

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernikahan dini adalah perkawinan yang dilakukan sesuai dengan syarat dan rukunnya, namun  satu di antara kedua mempelainya belum baligh dan secara psikis belum siap menjalankan tanggungjawab kerumahtanggaan (Imron, 2013: 256).

Pernikahan dini masih menjadi persoalan dan bahan perdebatan. Wilayah kajiannya mencakup berbagai aspek serta melibatkan banyak pihak, seperti lembaga-lembaga keagamaan, lembaga-lembaga pemerintahan (eksekutif dan legislatif), dan media-media massa (online, cetak, dan televisi).

Berkaitan dengan ini, umat Islam terpolarisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memperbolehkan dan kelompok yang melarang pernikahan dini. Hasil Muktamar Nahdhatul Ulama ke-32 di Makassar misalnya, memperbolehkan perkawinan di bawah umur, khususnya dalam kasus “kawin gantung” jika ada nilai kebaikan bagi kedua pasangan. Ini didasarkan pada hadis yang mengisahkan Aisyah yang dinikahi Nabi Muhammad SAW ketika berumur 6 tahun, meskipun baru hidup bersama ketika mencapai umur 9 tahun.

Sedangkan Majelis Tarjih Muhammadiyah menilai bahwa pernikahan Nabi SAW dengan Aisyah r.a. tidak dapat dijadikan dasar argumentasi diperbolehkannya pernikahan di bawah umur. Hadis yang menyatakan bahwa Aisyah menikah pada usia 6 tahun dinilai janggal dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Majelis Tarjih Muhammadiyah cenderung sepakat dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Kelompok yang memperbolehkan pernikahan dini mendasarkan pada beberapa hal. Pertama, alasan teologis, yaitu mengacu pada al-Qur’an, hadis, dan ijma’. Dalam Q.S at-Thalaq [65] ayat 4 misalnya, berbicara masalah ‘iddah bagi perempuan yang sudah monopause dan perempuan yang belum haid. Secara tidak langsung ayat tersebut memberikan gambaran bahwa perkawinan dapat dilakukan pada usia belia, karena ‘iddah hanya dapat diberlakukan kepada perempuan yang telah kawin lalu bercerai.

Dukungan kebolehan perkawinan dini juga didasarkan pada hadis yang mengisahkan perkawinan Aisyah r.a. dengan Rasulullah SAW. Menguatkan hal itu juga adanya kesepakatan para ulama, dengan syarat yang menjadi wali adalah ayahnya sendiri atau kakek dari pihak ayah.

Kedua, alasan moral. Pernikahan dini dipandang dapat meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan remaja. Dengan pernikahan dini, perilaku seks bebas dan kehamilan di luar perkawinan dapat dikurangai.

Ketiga, alasan kesehatan. Misalnya, kanker payudara dan kanker rahim sedikit terjadi pada perempuan yang sudah mengalami kehamilan dan persalinan di usia muda. Selain itu, resiko gangguan kehamilan dan kematian janin relatif lebih besar jika usia ibu bertambah.

Keempat, alasan ideologis yang menegaskan bahwa perkawinan anak usia dini dapat meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini akan mengalami peningkatan populasi yang lebih besar dari umat lainnya.

Penolakan terhadap pernikahan dini dipahami sebagai cara untuk mengurangi jumlah umat muslim.  Di samping itu, penolakan pernikahan dini digunakan untuk menanamkan keraguan di hati umat Islam terhadap sunnah Rasulullah SAW, sebagai pribadi yang ma’shum (terhindar dari kesalahan).

Kelima, faktor pendidikan merupakan faktor yang sangat berpengaruh. Ini karena melalui pendidikan, pernikahan dini dapat terhambat. Namun, karena faktor ekonomi, banyak siswa yang putus sekolah dan akhirnya dinikahkan dini oleh orang tuanya.

Antara Ijazah dan Ijabsah

Lantas, bagaimana dengan mahasiswa yang menikah saat kuliah? Apakah termasuk pernikahan dini atau pernikahan muda? Dari sisi usia, mahasiswa memang sudah tergolong berumur dewasa. Karenanya, kalau ada yang menikah di saat kuliah itu hal yang wajar.

Dengan kata lain, pernikahan mahasiswa sudah di atas batas minimal dibolehkannya perkawinan menurut undang-undang (19:16 tahun). Hal ini tentu tidak termasuk nikah dini, melain nikah di usia muda.

Dari pada pusing memikirkan ijazah (studi), lebih baik ijabsah (menikah). Barangkali begitu alasan beberapa mahasiswa yang memilih menikah muda saat kuliah. Dengan kata lain, beberapa mahasiswa lebih memilih menikah lebih dahulu, baru setelah itu memikirkan kelanjutan studinya.

Namun begitu, ada  juga yang lebih memilih berjuang mencapai cita-cita hingga sukses dan membahagiakan orang tua lebih dahulu ketimbang menikah muda saat kuliah.

Jika disuruh memilih, antara ijabsah alias menikah muda saat kuliah, atau ijazah alias memperjuangkan cita-cita lebih dahulu, jawaban setiap mahasiswa tentu berbeda-beda. Apapun pilihannya, semuanya membutuhkan kesungguhan, disertai jiwa yang penuh tanggung jawab. (SH)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV