Meretas Makna Antara Sunnah dan Hadis

Oleh: Indarka P.P

 

Identitas Buku
Judul Buku: Historisitas Sunnah Nabi: Dari Embrio Sampai Struktur Epistemologi
Penulis: Lutfi Rahmatullah Sulaiman, S.Th.I.,M.Hum.
Penerbit: Kencana, Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2020
Tebal: 120 halaman, 14 x 20,5 cm
ISBN: 978-623-218-599-9

Sebagai junjungan kita, Nabi Muhammad selalu hadir -paling tidak kita hadirkan -di tengah zaman yang melaju pesat. Masyarakat muslim mustahil mengelakkan fakta bahwa kehidupan islami hari ini berangkat dari diangkatnya Muhammad sebagai Rasulullah, 14 abad lalu. Di mana masa itu jelas berbeda dengan masa kiwari.
Upaya meneladaninya rasanya tidak bisa berhenti pada tahap pengamalan tindakan Nabi saja. Melainkan perlu juga menelisik khazanahnya dalam membawa risalah bagi umat Islam. Salah satu di antaranya adalah dengan ikhtiar menelusuri historisitas sunnah Rasulullah.

Dengan spirit akademis, Lutfi Rahmatullah Sulaiman mendedah konsep sunnah dalam karya mutakhirnya bertajuk “Historisitas Sunnah Nabi: Dari Embrio Sampai Struktur Epistemologi”. Lutfi berangkat dari kontroversi pemaknaan ihwal ‘sunnah’ dan ‘hadis’. Ada yang menganggap keduanya sama, tapi ada juga yang menganggap keduanya berbeda.

Pandangan demikian dapat diretas melalui sejarah perkembangan definisi sunnah menjadi hadis. Sunnah secara harfiah berarti jalan, perilaku, praktik, dan cara bertindak Rasulullah Saw. Mulanya, sunnah merupakan tradisi Arab yang bersifat informal, lantas dibakukan sehingga bersifat formal. Kelak pembakuan itulah yang jamak dikenal sebagai hadis.

Secara sederhana, sunnah adalah isi (substansi, kandungan) dari hadis. Sementara hadis tak lain adalah redaksional yang merekam segala yang berasal dari Nabi Muhammad Saw. Keduanya saling terikat dan terkait, berjalin kelindan, sampai-sampai, -sadar atau tidak, dipertukarkan.
Sunnah merangkum tiga pokok; perkataan, tindakan, dan persetujuan Rasulullah terhadap tindakan orang lain. Pelembagaan bangunan sunnah yang berkesinambungan dengan al-Qur’an merupakan ‘proyek’ besar dari Imam as-Syafi’i, yang juga masyhur sebagai ulama mazhab fiqh.

Sunnah berdiri sejajar dengan al-Qur’an dalam hal otoritas, karena perintah Rasulullah pasti adalah perintah Allah. As-Syafi’i bahkan menganggap sunnah sejenis wahyu dalam makna ‘pengilhaman ke dalam jiwa’, bukan wahyu dalam makna ‘inspirasi’ yang turun melalui malaikat Jibril.
Secara hierarki, sunnah menjadi sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an.
Sejurus dengan itu, maka sunnah memiliki tendensi tuntunan hidup umat Islam dari masa ke masa. Relevansi sunnah bagi situasi umat saat ini diperlukan supaya mampu menjawab masalah manusia yang kian beragam.

Maka dengan sangat visioner, al-Ghazali hadir bersama karyanya bertajuk al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, untuk membuka keran diskusi mengenai otentisitas hadis yang dianggap sudah final. Lebih lanjut, al-Ghazali juga menggagas metodologi penafsiran hadis supaya sunnah dapat berdialog dengan situasi zaman yang selalu berubah. Walhasil, sunnah dan hadis dapat merasuk dalam sendi-sendi kehidupan umat Islam (living sunnah).

Melalui buku ini, Lutfi telah mengawali upaya mencerahkan pemahaman konsepsi dasar antara ‘sunnah’ dan ‘hadis’, yang ‘setali tiga uang’ berarti meneladani Rasulullah, baik praksis maupun akademis.

Peresensi:
Indarka P.P, lahir di Wonogiri, Jawa Tengah. Alumnus Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Beberapa tulisan termuat di Jawa Pos, Solopos, Tribun Jateng, Harian Rakyat Sultra, Radar Cirebon, Medan Pos, Harian BMR Fox, dan lain-lain. Tinggal di di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah

*Resensi buku ini telah tayang di Maarif NU Jateng, edisi Jumat, 01 Januari 2021 (khairunnisa)

https://maarifnujateng.or.id/2021/01/meretas-makna-antara-sunnah-dan-hadis/?amp=1

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV