Penalaran Hukum Putusan Perkara Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Ekonomi Syariah

FASYA-Rabu (28/07/2021) Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta kembali mengadakan Diskusi Dosen Bulanan edisi Juli 2021 dengan topik “Penalaran Hukum Putusan Perkara Perbuatan Melawan Hukum di Bidang Ekonomi Syariah”. Hadir sebagai pembicara adalah Abdullah Tri Wahyudi, S.Ag., S.H., M.H., C.M., dosen Fakultas Syariah yang merangkap profesi sebagai advokat.

Ekonomi syariah tergolong studi atau bidang keilmuan baru di Indonesia. Aturan hukum yang tercatat paling awal menyinggung transaksi ekonomi syariah adalah UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di dalamnya hanya menyinggung sedikit tentang perbankan syariah. Lalu, diikuti aturan baru dengan disahkannya UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang makin spesifik mengatur transaksi perbankan syariah.

Riuh rendah aktivitas ekonomi syariah di Indonesia dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat pada 1 November 1991. Breakthrough bank syariah tertua di Indonesia kala itu menginspirasi tumbuhnya lembaga keuangan berbasis syariah lain dan merambah ke bidang-bidang di luar perbankan, misalnya lembaga pasar modal, bisnis jasa, hingga pariwisata berbasis syariah.1

Namun, tampaknya kasus sengketa ekonomi syariah belum benar-benar menjadi konsumsi publik hingga diterbitkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, di mana penanganan sengketa ekonomi syariah resmi dilimpahkan kewenangannya kepada Pengadilan Agama. Sebagaimana diakui oleh praktisi hukum, kasus bidang ekonomi syariah merupakan ranah baru bagi para advokat di masa kini.2 Lantas, bagaimana institusi peradilan menangani kasus-kasus sengketa ekonomi syariah tampaknya menjadi ceruk studi baru untuk diteliti.

Mengambil studi kasus penggelapan dana senilai 2.7 miliar rupiah pada Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Syariah Khodijah di kecamatan Pedan, kabupaten Klaten, Abdullah Tri Wahyudi menjelaskan aspek penalaran hukum hakim-hakim yang menangani kasus sengketa dimaksud, baik di tingkat Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tinggi Agama (PTA), maupun di Mahkamah Agung (MA).

Gugatan pada tingkat PA dan PTA dinyatakan ‘ditolak’ sehingga perlu diajukan kembali gugatan di tingkat MA. Pihak MA menyatakan PA diperkenankan untuk mengadili, dengan argumen bahwa kasus dimaksud memang berkenaan dengan ekonomi syariah dan sebagaimana amanat UU Nomor 3 Tahun 2006 berhak/dapat ditangani oleh PA. Mengenai dapat tidaknya kasus dimaksud diadili di tingkat PA, PTA, hingga MA, Abdullah menyatakan terjadi berbedaan pada detail-detail (1) dasar pertimbangan hukum dan (2) penalaran hukum para hakim. Penjelasan selengkapnya dapat diunduh di tautan berikut ini: Presentasi Abdullah Tri Wahyudi.

Salah satu isu yang mengemuka dalam diskusi dosen kali ini adalah apa yang direspon secara antusias oleh bu Zaidah Nur Rosidah, S.H., M.H., yaitu perihal kompetensi keilmuan hakim yang menangani sengketa bidang ekonomi syariah. Abdullah menyatakan jika dalam struktur organisasi peradilan di Indonesia telah dijalankan skema sertifikasi hakim ekonomi syariah melalui Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2016, berikut pendidikan dan pelatihan (diklat) yang tercakup di dalamnya yang dilaksanakan oleh Pusdiklat Teknis MA.3 Harapan sekaligus muara akhir proses tersebut adalah meningkatnya public trust terhadap lembaga peradilan, secara khusus terhadap para hakim, yang menangani sengketa hukum ekonomi syariah di kemudian hari. (afd)

 

1. https://www.pa-bantaeng.go.id/blog/2021/01/02/ekonomi-syariah-sebagai-kasus-ranah-baru-bagi-advokat/
2. Ibid.
3. https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/tak-hanya-ikut-pelatihan-hakim-ekonomi-syariah-harus-disertifikasi

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV