Oleh:
Ahmad Muhamad Mustain Nasoha
(Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta)
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengumumkan keputusan penting setelah menerima gugatan dari Partai Buruh terkait keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang kontroversial. Dalam sidang yang berlangsung di Jakarta pada Kamis (31/10), MK secara resmi memutuskan untuk mencabut dan merevisi sebanyak 21 pasal dari UU Ciptaker tersebut. Keputusan yang signifikan ini diambil berkaitan dengan perkara Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang yang sah. Dalam langkah berani ini, seluruh hakim MK menerima tuntutan dari Partai Buruh yang meminta pencabutan UU Cipta Kerja atau yang sering disebut sebagai Omnibus Law. Dalam putusannya, MK mengabulkan pengujian konstitusional terhadap 21 norma yang diusulkan oleh Partai Buruh, sekaligus menolak satu pasal yang dimohonkan dan beberapa permohonan lain yang dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Di bawah ini adalah daftar 21 pasal yang telah mengalami perubahan signifikan sesuai dengan pokok permohonan yang telah dikabulkan oleh MK, yang menunjukkan upaya kuat dalam melindungi hak-hak pekerja dan memastikan keadilan dalam regulasi ketenagakerjaan:
1. Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 81 angka 4: Frasa “Pemerintah Pusat” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai “Menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja.”
2. Pasal 42 ayat 4: Ketentuan yang mengizinkan tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
3. Pasal 56 ayat 3: Jangka waktu pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa jangka waktu tidak melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan.
4. Pasal 57 ayat 1: Kewajiban perjanjian kerja waktu tertentu untuk dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan huruf Latin dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk membuat perjanjian secara tertulis dalam bahasa tersebut.
5. Pasal 64 ayat 2: Ketentuan “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai bahwa “Menteri yang menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya dalam perjanjian tertulis.”
6. Pasal 79 ayat 2 huruf b: Ketentuan “Istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.”
7. Pasal 79 ayat 5: Kata “dapat” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
8. Pasal 88 ayat 1: Ketentuan “Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang memenuhi kebutuhan hidup wajar bagi pekerja/buruh dan keluarganya.
9. Pasal 88 ayat 2: Ketentuan “Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan untuk mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai melibatkan dewan pengupahan daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan.
10. Pasal 88 ayat 3 huruf b: Frasa “struktur dan skala upah” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional.”
11. Pasal 88C: Ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.”
12. Pasal 88D ayat 2: Frasa “indeks tertentu” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
13. Pasal 88F: Frasa “dalam keadaan tertentu” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau kondisi luar biasa perekonomian.”
14. Pasal 90A: Ketentuan tentang penetapan upah di atas upah minimum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai “ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.”
15. Pasal 92 ayat 1: Kewajiban pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi.
16. Pasal 95 ayat 3: Ketentuan tentang hak pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai bahwa hak tersebut didahulukan atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen.
17. Pasal 98 ayat 1: Ketentuan tentang Dewan pengupahan yang dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai bahwa dewan pengupahan harus berpartisipasi secara aktif.
18. Pasal 151 ayat 3: Frasa “Wajib dilakukan perundingan bipartit” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk melaksanakan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.
19. Pasal 151 ayat 4: Frasa “Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai bahwa pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
20. Pasal 157A ayat 3: Frasa “dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan.”
21. Pasal 156 ayat 2: Frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, kecuali dimaknai ‘paling sedikit.’
hmad Muhamad Mustain Nasoha, yang menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam di Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta serta seorang dosen dengan keahlian di bidang Hukum Tata Negara, menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut dan merevisi 21 pasal dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Ia berpendapat bahwa keputusan ini menunjukkan komitmen MK terhadap prinsip-prinsip konstitusi dan perlindungan hak-hak pekerja, serta responsif terhadap aspirasi masyarakat yang menolak regulasi yang dianggap merugikan.
Dari perspektif teori hukum klasik, Mustain Nasoha merujuk pada pandangan Aristoteles mengenai keadilan sebagai tujuan tertinggi hukum. Ia menekankan bahwa hukum seharusnya berfungsi untuk mencapai keadilan dan kebaikan bersama, dan dalam konteks UU Ciptaker, revisi ini diharapkan dapat mengembalikan keadilan yang lebih baik bagi buruh dan masyarakat. Dengan mengaitkan pandangannya pada adagium hukum ‘Ubi jus, ibi remedium’ yang berarti di mana ada hak, di situ ada cara untuk memulihkannya, ia menekankan bahwa setiap perubahan dalam undang-undang harus sejalan dengan upaya untuk melindungi hak-hak individu, khususnya hak-hak pekerja yang sering kali terabaikan dalam kebijakan ekonomi.
Lebih lanjut, Mustain Nasoha menggarisbawahi pentingnya pengujian konstitusional yang dilakukan oleh MK, yang menunjukkan komitmen untuk memastikan bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan norma-norma konstitusi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Ia mengingatkan bahwa adagium ‘Nullum crimen, nulla poena sine lege’ atau ‘Tidak ada kejahatan, tidak ada hukuman tanpa undang-undang’ menggarisbawahi pentingnya kepastian hukum dan kejelasan dalam regulasi yang dibuat. Meskipun demikian, ia juga mencatat potensi kebingungan hukum yang dapat muncul akibat perubahan regulasi yang sering, yang berpotensi mengganggu stabilitas hukum dan kepastian bagi pelaku usaha.
Dalam analisisnya, Mustain Nasoha juga menunjukkan bagaimana pendekatan klasik Montesquieu, yang menekankan pembagian kekuasaan, dapat digunakan untuk menganalisis proses pengambilan keputusan yang mungkin menciptakan ketidakseimbangan dalam pembuatan undang-undang, di mana legislasi dapat terlalu sering berganti. Ia menekankan bahwa keputusan ini seharusnya tidak hanya mengakomodasi kepentingan buruh, tetapi juga melibatkan berbagai stakeholder, termasuk pelaku usaha dan masyarakat umum, dalam proses pembuatan undang-undang.
Selanjutnya, dalam diskusi mengenai keadilan dan perumusan hukum, Mustain Nasoha mengutip Roscoe Pound yang berpendapat bahwa hukum seharusnya berfungsi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial. Pernyataan ini sangat relevan dengan prinsip-prinsip keadilan yang ditegaskan oleh MK dalam keputusan terbaru mereka, yang mencerminkan komitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat. Ia juga merujuk pada pemikiran John Rawls yang menekankan bahwa keadilan harus menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan. Pandangan ini mendukung ide bahwa UU Ciptaker perlu direvisi untuk menciptakan keadilan bagi semua pihak, menunjukkan bahwa setiap kebijakan harus tidak hanya adil di atas kertas, tetapi juga dalam praktiknya.
Mustain Nasoha kemudian menyoroti pentingnya kepastian hukum dalam masyarakat yang berfungsi, dengan merujuk pada pemikiran H.L.A. Hart. Menurut Hart, hukum haruslah jelas dan tidak ambigu agar masyarakat dapat beroperasi dengan baik. Dalam konteks UU Ciptaker, hal ini menunjukkan perlunya ketentuan yang tegas dan mudah dipahami untuk semua pihak yang terlibat. Lebih jauh, ia mengingatkan akan pandangan Karl Llewellyn yang menekankan bahwa hukum adalah produk praktik sosial, sehingga penting untuk mempertimbangkan dinamika sosial dalam revisi UU Ciptaker agar perubahan hukum yang dilakukan efektif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Akhirnya, Mustain Nasoha menekankan pandangan Lon L. Fuller, yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang adalah hal yang sangat penting, agar masyarakat merasa terlibat dan memiliki suara dalam proses yang menentukan nasib mereka. Dengan menggabungkan pemikiran para tokoh hukum ini, Mustain Nasoha memberikan kerangka yang komprehensif untuk memahami pentingnya revisi UU Ciptaker dalam mencapai keadilan sosial yang sejati.
Dalam konteks tersebut, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha mengusulkan lima langkah strategis yang dapat dipandang sebagai langkah kongkrit untuk memperkuat prinsip-prinsip keadilan, yaitu:
1. Perlu adanya mekanisme Terstruktur dalam Pembuatan Undang-Undang artinya Keputusan MK harus menekankan perlunya kepastian hukum dan konsistensi dalam proses legislasi. Rekomendasi untuk memiliki mekanisme pembuatan undang-undang yang lebih terstruktur dapat membantu menghindari ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perubahan regulasi yang cepat. Ini sejalan dengan praktik di Jerman, di mana pendekatan yang lebih terencana diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap regulasi yang ada.
2. Forum Publik untuk Keterlibatan Stakeholders, artinya MK perlu juga menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam proses legislasi. Dalam konteks ini, pembentukan forum publik yang melibatkan berbagai stakeholders menjadi sangat relevan. Seperti yang terjadi di Swedia, keterlibatan masyarakat dalam pembahasan regulasi dapat meningkatkan transparansi dan legitimasi, serta memastikan bahwa suara masyarakat didengar, terutama yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak pekerja.
3. Evaluasi Berkala terhadap Kebijakan, artinya MK perlu menyatakan bahwa undang-undang harus selalu relevan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Rekomendasi untuk melakukan evaluasi berkala terhadap kebijakan yang dihasilkan merupakan langkah yang tepat untuk memastikan bahwa UU Ciptaker, setelah direvisi, dapat terus memenuhi harapan masyarakat. Contoh dari Kanada yang melakukan evaluasi tahunan terhadap undang-undang dapat menjadi acuan untuk memastikan efektivitas kebijakan.
4. Pendidikan dan Pemahaman Hukum di Kalangan Masyarakat, artinya bahwa mengingat keputusan MK yang berfokus pada hak-hak pekerja, peningkatan pendidikan hukum di kalangan masyarakat sangat penting. Program pendidikan hukum di Australia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka dapat membantu masyarakat memahami dampak hukum dari UU Ciptaker dan memperkuat posisi mereka dalam proses perundang-undangan.
5. Integrasi Prinsip-prinsip Keadilan dalam Legislasi, artinya bahwa keputusan MK menegaskan bahwa hukum harus sejalan dengan prinsip keadilan. Rekomendasi untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan dalam setiap proses legislasi sangat mendukung keputusan MK. Contoh dari Norwegia yang mengutamakan keadilan sosial dalam pembuatan kebijakan dapat menjadi inspirasi untuk memastikan bahwa revisi UU Ciptaker benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara menyeluruh.
Dengan mengaitkan rekomendasi ini dengan keputusan MK, terlihat jelas bahwa langkah-langkah strategis yang diusulkan oleh Mustain Nasoha tidak hanya relevan tetapi juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa proses pembuatan undang-undang di Indonesia dapat berjalan lebih baik, lebih adil, dan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sebagaimana diharapkan oleh Mahkamah Konstitusi.