Perempuan Solo Raya dalam Pusaran Terorisme

Oleh: Roudhotul Jannah*

Ruang tamu itu terlihat begitu sederhana. Tak ada hiasan yang terpasang di dindingnya, Hanya ada sejumlah kursi kayu yang ditata menempel ke dinding yang dicat warna krem. Warung makan yang berada di bagian sisi depan rumah sedang tutup, karena saat itu sedang bulan puasa. Dari lubang pintu, aku bisa melihat pengunjung supermarket yang terletak tepat di samping rumah itu, datang dan pergi.

Aku sempat kesulitan menemukan rumah ini. Google maps yang dikirim Pak Mardi (bukan nama sebenarnya) sang pemilik rumah melalui pesan WhatsApp ternyata kurang akurat. Penulisan alamat juga terbalik antara RT dan RW-nya. Cukup membuatku bingung hingga harus tersesat cukup lama sebelum akhirnya berhasil menemukan rumah yang sebenarnya terletak tepat di pinggir jalan raya ini.

Oleh pak Mardi aku dikenalkan kepada istrinya, Ani, juga bukan nama sebenarnya. Tak lama saling mengenal, obrolan tentang keterlibatan Mardi dalam jaringan terorisme pun terus mengalir.

Mardi yang saat ini berusia 50 Tahun, bergabung ke dalam kelompok yang bernama Azam Dakwah Center (ADC) yang dulu bermarkas di Ngruki, Sukoharjo. Menurut informasi dari Mardi, ADC berafilisiasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Ia ditangkap pada 2017 terkait kasus bom molotov di Solo Baru, Sukoharjo. Sebenarnya serangan bom molotov ini bisa dikatakan gagal. Sehingga tidak banyak orang yang tau.

Namun, belakangan polisi berhasil mengendus adanya keterkaitan antara kasus ini dari hasil pengembangan kasus teroris di Bekasi. Menurut polisi kelompok ini antara lain bertanggung-jawab atas pengeboman di Kawasan Sarinah pada Januari 2016 dan serangan bom molotov di Solo Baru Sukoharjo.

Menurut pengakuan Ani, dia tidak tau menau mengenai keterlibatan suaminya dalam bom molotov itu. Kemudian aku bertanya kepada Pak Mardi. Ia menjelaskan bahwa pada bom molotov itu berperan sebagai pengawas, yang bertugas untuk mengamankan dan memantau lokasi pengeboman.

Ani mengisahkan, keterlibatan suaminya dengan kelompok teroris ini bermula saat ia bergabung dengan sebuah kelompok pengajian. Awalnya Ani menyambut gembira perubahan positif yang dialami suaminya. Namun, belakangan baru ia tahu kalau ternyata sang suami bergabung dengan kelompok garis keras.

“Ya saya sih mendukung, Mbak, kalau suami itu rajin sholat dan pengajian. Dulu waktu muda suami saya tuh gangster, Mbak. Setelah menikah pun sholatnya masih bolong-bolong. Kalau saya ajak sholat pasti jawabannya iya nitip aja gitu. Dari yang seperti itu terus berubah drastis mau sholat dan ngaji saya seneng, Mbak. Cuma ya nggak tau kalau ternyata ngajinya di tempat yang salah,” terang Ani.

Suatu sore hari Pak Mardi pamit pergi ke masjid untuk menunaikan sholat ashar berjamaah. Namun ternyata sampai malam tiba bahkan hingga keesokan harinya dia tidak kunjung pulang. Ani pontang-panting mencari informasi tentang keberadaan suaminya. Berbagai tempat yang biasa disinggahi suaminya ia datangi. Tapi hasilnya nihil.

Hingga keesokan paginya, Ani memutuskan untuk mendatangi kantor kelurahan untuk melaporkan suaminya yang tidak kunjung pulang. Baru ketika itu Ani tahu jika suaminya ditangkap oleh Densus 88 Antiteror karena diduga terlibat aksi terorisme. Ani menyayangkan sikap Densus 88 yang tidak memberitahu pihak keluarga saat penangkapan,

“Saya udah bingung suami posisinya di mana, Mbak, kok ya tidak ada pemberitahuan ke rumah dan keluarga dulu kalau ada penangkapan gitu,” keluhnya.

Sepulangnya dari kelurahan, siangnya rumah Ani didatangi oleh petugas Densus 88. Mereka datang dengan didampingi petugas dari kelurahan untuk menggeledah seisi rumah Mardi. Saat penggeledahan, Ani meminta agar rumahnya tidak diobrak-abrik dan semua barang dirapikan kembali ke keadaan semula.

Dalam penggeledahan itu, petugas menyita dua alat bukti yaitu Al-Qur’an dan buku catatan Pak Mardi selama mengikuti pengajian.

“Saya nggak habis pikir lho, Mbak, masa’ alat buktinya Al-Qur’an. Iya Al-Qur’an yang biasa kita baca itu!” ucapnya masygul.

Setelah Mardi ditangkap, kini tanggung jawab atas bergulirnya ekonomi rumah tangga berpindah sepenuhnya ke pundak Ani. Ia yang semula hanya sebagai ibu rumah tangga biasa kini harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia bertindak sebagai bapak sekaligus ibu bagi ketiga anaknya.

Kegalauan Ani makin menjadi, karena anak sulungnya akan melangsungkan pernikahan pada bulan April 2018, padahal Mardi ditangkap pada Desember 2017 atau hanya beberapa bulan sebelum pernikahan itu berlangsung. Setelah melalui perundingan yang panjang antara kedua keluarga, akhirnya diputuskan untuk memajukan tanggal pernikahan menjadi Januari 2018.

Dari pihak keluarga laki-laki tidak mempermasalahkan meskipun calon mempelai perempuan adalah anak dari tersangka teroris. Karena Mardi sedang mendekam di penjara, posisinya sebagai wali akhirnya digantikan oleh adik laki-laki Ani.

Agar roda ekonomi keluarganya tetap berjalan dan membayar biaya sekolah anak-anaknya, Ani melakukan segala upaya. Berbagai cara dilakukannya, agar keluarganya bisa bertahan, mulai dari membuat keset, mengontrakkan sepetak rumah untuk dibuat ruko.

Terakhir, ia akhirnya kembali menekuni usaha yang pernah dirintisnya yakni membuka warung makan di depan rumahnya. Modal usaha warung makan ini ia dapatkan dari bantuan BNPT.

“Setelah Bapak bebas pada 2020, kemudian mendapatkan pembinaan dari BNPT dan dimodali sebesar Rp 5 juta untuk modal usaha,” ujar Ani.

Usaha ini dipilih, karena dia memang memiliki kemampuan dalam bidang memasak, akhirnya diputuskan untuk membuka warung makan. Sebelumnya, Ani juga sudah pernah membuka warung makan, tetapi saat Mardi ditangkap, muncul stigma negatif dari lingkungan sekitar.

Tak lama setelah Mardi ditangkap, tak sedikit anggota masyarakat yang menjauhi dan menghindari Ani dan keluarganya. Kondisi ini membuat Ani khawatir dagangannya tidak laku sehingga ia memutuskan untuk menutup warungnya.

Stigma dari masyarakat ini tak urung membuat tertekan Ani dan anak-anaknya. Sikap anaknya, terutama anak nomor dua berubah jadi pemurung.

“Anak saya itu yang nomor dua laki-laki, Mbak. Dia emang karakternya pendiam. Kayaknya sih dia tertekan sama stigma-stigma anak teroris. Dia nggak pernah cerita sih. Tapi saya hanya menyimpulkan dari sikapnya yang semakin tertutup,” tuturnya.

Diakui, saat awal Mardi ditangkap, stigma negatif dari masyarakat memang sangat kuat, tetapi seiring berjalannya waktu stigma itu perlahan terkikis. Ani sendiri mengaku tak terlalu memikirkan stigma ini, yang ada di pikirannya adalah bagaimana caranya bisa bertahan dengan suami di penjara.

“Saya sih dari awal nggak diambil pusing, Mbak, masalah stigma. Ya wajar aja, siapa sih yang nggak memandang negatif keluarga teroris? Sebab kalau saya terlalu memikirkan, nanti gimana anak-anak saya bisa makan? Saya juga gak boleh terlihat sedih di depan anak-anak. Pokoknya kudu tegar di depan anak-anak itu,” imbuhnya

Perlu waktu dan proses yang panjang hingga akhirnya Ani dan keluarganya bisa diterima kembali secara sosial dalam lingkungan masyarakat. Perlu proses negosiasi yang panjang bagi diri sendiri untuk dapat menyesuaikan kepada lingkungan sekitar yang sebelumnya tidak mau memahami dan cenderung menghakimi.
Setelah menutup warung makannya, Ani lantas beralih profesi dan bekerja membuat keset. Dari pekerjaan ini ia bisa mengantungi Rp 75 ribu sehari.

“Ya lumayan, Mbak, itu biasanya saya nargetin sehari harus dapat segini supaya dapat Rp. 75.000 perhari. Gimanapun caranya saya coba selesaikan, Mbak. Kalau belum selesai ya saya lembur sampai gak tidur. Demi anak-anak.” imbuhnya.

Beban Ani sedikit berkurang, karena tak lama kemudian ada yang berminat mengontrak ruko di samping rumahnya untuk dijadikan toko kelontong. Ini karena Ani mematok harga miring atau di bawah harga rata-rata meski lokasi tanahnya sangat strategis dan berada di pinggir jalan raya.

“Kan kemarin banyak orang-orang yang menjauhi kita, Mbak, makanya saya tawarkan harga rendah. Alhamdulillah-nya yang nyewa mau kita mintain uangnya di awal. Jadi sangat membantu,” ujar Ani tak bisa menyembunyikan rasa syukurnya.

Warung makan dan sewa tanah inilah yang hingga kini menjadi tempat bagi pasangan Mardi dan Ani menggantungkan ekonomi keluarganya. Selepas keluar dari tahanan, Mardi belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Statusnya sebagai eks napiter menyulitkan dia mendapatkan pekerjaan. Sehingga yang bisa dilakukannya adalah membantu istri mengelola warung makan.

Ani juga aktif berjualan online beberapa produk makanan, seperti cabe kriuk, kue, madu, hingga menerima beberapa pesanan makanan untuk berbagai acara. “Alhamdulillah, ujarnya, banyak yang suka sama masakan saya. Jadi selain ada warung makan juga orang-orang suka pesan buat acara.”

Kisah Ine, Istri Napiter di Karanganyar

Ine, demikian perempuan itu menyebutkan namanya saat tangannya menyalami tanganku. Ada ketegasan yang kutangkap dari suara lirihnya. Kerudung lebar berwarna hitam menutupi kepalanya.

Ine menerimaku di teras depan rumahnya yang asri. Aku sempat satu kali salah rumah sebelum akhirnya berhasil menemukan rumah mungil yang terletak di Kota Karanganyar itu. Angin sepoi dan gemericik kolam mampu mengurangi cuaca terik di siang itu.

Ine adalah istri Hamdan seorang mantan narapidana kasus terorisme (napiter). Ine mengisahkan, pada tahun 2016 Hamdan ditangkap oleh Densus 88. Ia dituduh membantu menyembunyikan salah satu pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo.

Padahal, sesungguhnya Hamdan tidak tau menau jika ternyata teman yang ia bantu adalah pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo. Saat itu Hamdan hanya diminta temannya untuk membantu sebuah urusan kerja.

Hamdan mengakui bahwa dulunya aktif mengikuti kajian secara online melalui handphone. Ia mengikuti kelompok Front Pembela Islam (FPI). Selain itu, ia aktif berteman dengan kelompok yang tergabung dalam organisasi yang memiliki visi misi serupa FPI. Ternyata, salah satu temannya itu adalah pelaku bom bunuh diri di Mapolresta Solo.

Tak lama setelah serangan bom bunuh diri di Mapolresta Solo terjadi, polisi langsung mendatangi rumah Hamdan dan menangkapnya. Meski Hamdan tidak tau jika sebenarnya waktu diminta tolong membantu untuk keberangkatan temannya ke Jakarta dalam rangka bersembunyi dari pengejaran Densus 88. Ia tetap ditahan, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara.

“Kami sekeluarga kaget, Mbak, kok bisa pak Hamdan ditangkap. Ternyata ketracking turut bantu menyembunyikan. Padahal waktu itu temannya bilang minta tolong supaya dibantu ke Jakarta masalah pekerjaan. Ya suami percaya aja dan kalau bisa bantu memang dibantu suami itu. Namanya sama teman sendiri. Suami juga gak tau tuh kalau ternyata temannya masuk ke dalam jaringan teroris,” terang Ine.

Selama Hamdan ditahan, tentu korban yang paling terdampak adalah istri dan anak-anak. Mau tidak mau, siap tidak siap Ine harus merangkap posisi menjadi ayah sekaligus ibu bagi keempat anaknya yang masih kecil. Bahkan, ketika Hamdan ditangkap pada tahun 2016, anak bungsunya masih berusia tujuh bulan. Sedangkan anak-anaknya yang lain berada dalam usia sekolah yang membutuhkan biaya.

Ine pun harus memutar otak dan banting setir agar bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Berbagai usaha pernah dijalaninya. Mulai dari jualan baju dan mukena, berdagang kue kering hingga kini berjualan coklat karakter. Selain berusaha sendiri, pihak keluarga sesekali juga memberikan bantuan.
Ine dan keluarganya juga pernah menerima bantuan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan sebuah yayasan yang aktif dalam upaya deradikalisasi.

“Mereka pernah datang guna memberi bantuan dana sosial sekitar dua sampai tiga kali saja. Kemudian ketika Bapak bebas, petuga BNPT datang lagi untuk memberi modal untuk usaha,” imbuh Ine.

Ine mengaku beruntung, karena tidak terlalu distigma. Stigma datang hanya dari satu-dua tetangganya, itupun hanya terjadi di awal penangkapan Hamdan. Lama-lama stigma itu hilang dan masyarakat capek sendiri.

Mayoritas tetangga sekitarnya justru bersimpati dan tidak menghakimi. Apalagi memberikan stigma negatif pada keluarganya. Ini karena pasangan ini cukup baik dalam bersosialisasi di masyarakat, Dari keluarga juga tidak ada sama sekali penghakiman atau kecaman.

“Dari teman-teman bermain dan sekolah anak pun tidak ada yang memberi stigma kepada mereka.”

Hal itu dikarenakan, baik dari pihak keluarga maupun masyarakat tahu bahwa Hamdan sebenarnya tidak terlibat secara langsung dalam jaringan teroris. Hamdan hanya dimanfaatkan oleh temannya sendiri untuk melindungi dan menyembunyikan teroris. Namun, dari persidangan Hamdan tetap dijerat pasal menyembunyikan teroris dan divonis hukuman 3 tahun.

Pusaran Terorisme di Solo

Perjumpaanku dengan Ani dan Mbak Ine berawal dari kunjunganku ke Sekretariat Yayasan Gema Salam, yaitu yayasan yang menaungi eks narapidana kasus terorisme (napiter) di kawasan Kota Solo dan sekitarnya atau yang lebih dikenal dengan istilah Solo Raya, pada satu malam di penghujung bulan Maret silam. Aku sowan ke sana untuk berkenalan dengan pak Mardi dan Hamdan.

Selama ini sudah banyak ulasan kisah eks napiter khususnya Jaringan Teroris Solo, tetapi masih sedikit yang menuturkan dari perspektif keluarga napiter khususnya istri eks napiter Jaringan Teroris Solo.

Berdasarkan informasi dari pengurus Yayasan Gema Salam, di Jawa Tengah terdapat sekitar 490 eks narapidana teroris. Sebanyak 376 berasal dari wilayah Solo Raya dan 290 di antaranya berasal dari Kota Solo. Sekitar 40 orang eks napiter aktif menjadi pengurus Yayasan Gema Salam.

Yayasan ini bertujuan untuk dan mendampingi eks napiter dalam upaya deradikalisasi serta merangkul eks napiter supaya dapat diterima kembali di masyarakat. Keluarga, khususnya perempuan istri napiter menjadi target utama dari yayasan ini, karena perempuan lah yang efektif berperan dalam mencegah penyebaran paham radikal dari keluarga. Ketika seseorang sudah telanjur kecemplung dalam jaringan, maka perempuan juga yang diharapkan bisa menjadi benteng terakhir yang memagari.

Solo khususnya Sukoharjo sudah lama dibidik oleh Densus 88, karena menjadi salah satu lokasi penyebaran paham radikal. Penyebaran paham ini dilakukan dalam sel-sel kecil yang kemudian melakukan aksinya sendiri secara terpisah.

Terakhir, tepatnya pada Rabu (9/3/2022) malam aparat Densus 88 menembak mati seorang dokter berinisial SU di Sukoharjo, Jawa Tengah. SU disebut tak hanya terlibat dalam kelompok ekstremis, tetapi ia memiliki peran penting di Jemaah Islamiyah (JI).

Jamaah Islamiyah adalah organisasi militan Islam yang sudah sejak lama dituduh berada di belakang serangkaian teror di Indonesia. Kelompok ini dibentuk di Malaysia oleh Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar pada akhir 1980-an dan kemudian berkembang menjadi sel-sel yang tersebar di sejumlah negara di Asia Tenggara.

Dikutip dari laman Center for International Security and Cooperation (CISAC) Stanford University, Jamaah Islamiyah merupakan pecahan organisasi Darul Islam (DI). Tokoh pendirinya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir diketahui memiliki latar belakang sebagai aktivis pergerakan Islam.

Pada masa Orde Baru, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir melarikan diri ke Malaysia. Di sana, mereka mulai membentuk kelompok Islam dan memfasilitasi perjalanan ke Afghanistan bagi muslim di Asia Tenggara yang ingin bergabung melawan Uni Soviet.

Hingga pertengahan 1990-an, banyak anggota JI yang dilatih di Afghanistan. Organisasi tersebut dilaporkan menerima sumber daya dan nasihat dari kelompok Al-Qaeda. Jamaah Islamiyah juga memiliki hubungan yang kuat dengan Front Pembebasan Islam Moro setelah Abdullah Sungkar berhasil mendirikan kamp pelatihan di Filipina. Setelah reformasi 1998, kelompok ini kembali ke Indonesia. Tidak lama setelah itu, Sungkar meninggal dunia.

JI bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.Pada awalnya, JI menggunakan cara damai dalam mencapai tujuan mereka. Tetapi pada pertengahan tahun 1990-an, mereka mulai mengambil jalan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Di Singapura, Malaysia dan Filipina, pemerintahnya secara aktif mengejar para anggota kelompok ini. Sikap berbeda diambil pemerintah Indonesia. Saat itu pemerintah menolak mengakui ancaman teroris Islam secara nasional.

Pemerintah juga dituding enggan berkampanye melawan ancaman ini di depan publik mayoritas Islam yang meragukan keberadaan Jamaah Islamiyah.
Sejumlah teror yang dikaitkan dengan JI antara lain adalah serangkaian pengeboman gereja di Indonesia yang menewaskan 18 orang pada Desember 2000. Kelompok ini juga bertanggung jawab terhadap serangkaian pengeboman di Manila yang menewaskan 22 orang.

Perempuan Penyemai Perdamaian

Kisah perempuan dalam pusaran terorisme bukan hanya tentang para istri eks napiter. Ada juga kisah perempuan yang aktif dalam mengkampanyekan toleransi dan menyemai perdamaian di Solo Raya.

Salah satunya adalah Ninin Karlina, ketua Peacegen Solo. Ia aktif mendapat undangan menjadi narasumber di berbagai acara tentang perdamaian dan dialog lintas agama serta diskusi di polres tentang perdamaian.

Selain sebagai agen perdamaian, ia merupakan seorang ibu dua anak dan ustadzah di pondok Imam Syuhodo Sukoharjo. Banyak tantangan yang harus dihadapinya dalam mengkampanyekan perdamaian.

“Agak susah dalam menempatkan diri menjadi beberapa sosok. Aku harus bisa memposisikan kapan aku menjadi agen perdamaian, kapan menjadi ustadzah, kapan menjadi istri, kapan menjadi ibu dan kapan menjadi anak.” ujarnya di penghujung Maret lalu.

Ninin yang kini didapuk menjadi Ketua PeaceGeneration aktif melakukan tindakan mitigasi bencana sosial (konflik) dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan tindakan pencegahan berkembangkan paham radikal. PeaceGeneration merupakan salah satu NGO yang memiliki metode penyampaian yang asyik. Mereka dapat membumikan nilai-nilai perdamaian dengan cara yang dapat diterima oleh anak muda.

Hidup dan besar di lingkungan pondok pesantren, Ninin juga sering mendapat stigma seperti perempuan kok keluar kota bahkan keluar pulau tanpa muhrim. Padahal dari suami sendiri sudah setuju dan tidak mempermasalahkan apalagi jika urusannya dengan kebaikan dan orang banyak.

Tidak sampai di situ saja, Ninin juga sering memperoleh cibiran dari orang-orang sebagai ‘manusia proyek’. Berkecimpungnya di dunia Non Government Organization (NGO) menjadikannya mendapat sebutan seperti itu. Beberapa orang memang memandang NGO hanya bekerja karena proyek. Namun, Ninin berusaha keras untuk tidak terlalu mendengarkan anggapan seperti itu karena akan menghambat usaha-usahanya dalam mengkampanyekan perdamaian dan toleransi.

Justru stigma-stigma yang timbul dijadikan sebagai pacuan bahwa apa yang dilakukan itu nyata dan konkrit. Sebenarnya Ninin begitu aktif dalam mengkampanyekan perdamaian diawali dari kegelisahannya terhadap kinerja pemerintah yang kurang dalam menjangkau masyarakat khususnya anak muda.

Pengalaman Ninik merupakan bukti nyata bahwa perempuan memiliki peran yang vital dalam isu perdamaian dan menyebarkan toleransi. Namun, hambatan-hambatan yang dialami perempuan memang kompleks dan cenderung lebih rumit dibandingkan laki-laki sebab konstruksi masyarakat yang masih mendiskreditkan bahwa perempuan yang baik adalah ia yang berada di rumah saja dan melayani suami. Padahal ada hadits yang berbunyi bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat. (Roudhotul Jannah/SINPUH)

‘Artikel ini didukung atas kerjasama Konde.co dan The Asian Muslim Network (AMAN) Indonesia dalam program Peace Innovation Academy 2022.’

*Mahasiswa magister program studi Interdisiplinary Islamic Studies konsentrasi Islam dan Kajian Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Instagram: @jannahholic. HP: 083865806800

Tulisan ini pernah dimuat di suarakrajan.com pada 25/04/2022

Bisa di buka melalui link https://www.suarakrajan.com/2022/04/perempuan-solo-raya-dalam-pusaran.html

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV