Perempuan yang Cemburu Pada Buku

Perempuan yang Cemburu Pada Buku

Indarka Putra Pratama*

(Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam)

 

Adam meletakkan tas dan dua kardus di ruang tamu. Lawatannya itu menyisakan kepuasan, karena berhasil memborong dua kardus buku dari Negeri Jiran. Pula dengan bertambahnya kolega di Kota Johor, terlebih banyak orang Indonesia yang singgah di sana.

Adam melemaskan badan di atas kasur. Sendirian menghela napas, seraya memandang lampu kuning dengan mata berkaca. Sesekali mengkerutkan kening dan menutup sebagian matanya. Bibirnya nyengir. Kedua tangan memegang kepala. Penyakit yang dideritanya bisa kambuh sewaktu-waktu.

Setelah sakit itu dirasa reda. Adam membongkar dua kardus buku. Diurai satu per satu berdasar ukuran ketebalan. Dijejerkan di rak bersama ratusan buku yang lain. Kebahagiaan Adam memancar. Sederhana, melihat buku yang menggunung.

Adam tinggal seorang diri. Sejak SMA, ibunya meninggal lantaran sakit. Kemudian disusul ayahnya setahun kemudian. Tawaran untuk hidup bersama paman-pamannya tak diambil. Atau rayuan agar bersedia ditemani tantenya di rumah itu. Juga ditolaknya.

Adam tidak bersaudara, dia anak tunggal. Keputusan hidup sendiri dipilihnya karena suatu hal. Ketenangan. Kesendirian bukan berarti kekosongan hakiki. Bagi Adam, dirinya akan lahir kembali dari kenestapaan hidup ketika ditemani oleh kesendirian.

Adam amat radikal mengekspresikan kecintaannya terhadap buku. Dia hobi membaca apapun: koran, buku, majalah, hingga kertas pembungkus nasi padang. Adam membacanya dengan penuh kesanggupan dan rasa yang amat dalam.

Uniknya, jika ditanya benda apa yang paling berharga. Dia tak menyebutkan buku. Sebab baginya, buku bukanlah benda. Buku adalah nafas yang menghidupinya setiap selesai membaca. Hidup bersama buku, seperti hidup bersama penulisnya.

***

Suatu malam Adam terjaga hingga pukul dua belas. Dia terduduk di meja khusus bacanya. Seharian berhasil menyelesaikan empat buku tebal. Ditemani kopi yang berkali-kali dituang dari termos kecil khusus.

Gawainya sejak kemarin masih tersimpan di ransel. Belum menjamahnya kembali. Dia bergegas mengambil karena hendak melihat foto kenangan di Kota Johor. Gawai itu diteror banyak pesan. Serli yang paling banyak melayangkan pesan tak karuan. Tercatat 376 pesan belum dibaca dari kontak kekasihnya itu.

Belum juga pesannya dibuka. Masuklah panggilan dari Serli.

“Halo, Serli.”

“Dam, kemana saja? Ditelepon tidak diangkat, di-WA tidak dibalas. Apa kamu kira aku tak kepikiran?”

“Maaf, Ser. Aku belum sempat pegang HP. Sepulang dari Johor, aku habiskan waktu untuk istirahat, dan untuk membaca buku tentunya,” Adam menenangkan.

“Dam, Aku ini pacarmu. Sudah sepantasnya apapun kegiatanmu perlu kamu kabarkan ke aku. Apa tidak pernah memikirkan bagaimana aku sampai tak enak makan gara-gara kamu? Mikirlah, Dam.”

“Sudahlah, Ser. Aku malas berdebat. Kenapa kita tidak pernah luput dari adu mulut barang sehari saja?”

“Kamu memang malas berdebat tapi rajin berpikir. Tapi pikiranmu hanya untuk setumpuk buku itu. Sedangkan aku yang jelas bernyawa, tak pernah kamu anggap serius.” Serli meninggikan nadanya.

Wajah Adam nampak berbeda. Rautnya pasi penuh emosi. Malam hening itu berganti sumpek berkeringat berganjal amarah. Adam menggerutu dalam hati. Sembari menenangkan jiwa kelaki-lakiannya yang telah diludahi perempuan.

***

Terbangun Adam dari malam panjang yang dramatis. Kopi yang diseduh menemami pandangannya ke arah sawah di belakang rumah. Sejak kecil Adam menikmatinya. Beruntung, hamparan hijau itu tidak dilirik korporasi pembangun pabrik.

Adam melanjutkan petualangan intelektualnya dengan menyiapkan delapan buku di meja. Lembaran itu dilumat habis dengan bubuhan pena kecil sebagai catatan. Adam terhenti hanya ketika Azan mencuat dari corong masjid. Dia rehat sejenak untuk salat dan menyeruput kopi yang tak lagi hangat. Dia terus membaca, hingga dihentikan oleh ketukan yang berasal dari balik pintu kayu rumahnya.

Adam memalingkan muka dari buku yang tengah dipegang. Dialihkan pandangannya ke arah pintu yang terhalang rak buku. Dia letakkan buku itu. Berdiri, berjalan pelan. Pintu itu kembali diketuk berbunyi khas pukulan tangan terkepal.

“Permisi Mas.”

“Siapa di luar?”, tanya Adam dari dalam rumah.

“Antar makanan, Mas.”

Dibukalah pintu itu. Ternyata seorang kurir makanan. Diserahkan sebungkus nasi goreng kepada Adam. Meski heran, Adam tetap menerimanya. Padahal dia tidak pesan makanan apapun.

“Mohon maaf, ini dari siapa ya Pak?”

“Ini yang memesan atas nama Serli, Mas. Alamat antarnya ke sini, atas nama Adam. Bukankah benar?”

“Iya saya Adam, Pak. Terima kasih. Totalnya berapa ya?”

“Oh, sudah dibayar oleh pemesan. Saya lanjut dulu ya, Mas,” pungkas sang kurir.

Adam tentu sudah paham, bahwa yang memesankan makanan itu Serli. Padahal Serli berada di kota lain. Namun sebelum makan, Adam membuka gawainya kembali.

Benar saja. Berpuluh-puluh pesan menghujani ponsel cerdas miliknya. Posisi teratas tentu ada nama Serli. Kali ini Adam memutuskan untuk mengawali perbincangan via telepon.

“Halo Serli?”, Adam memulainya.

“Ada apa, Dam? Sudah selesai buku-bukumu? Apa sudah bosan menggauli tumpukan kertas itu?”, Serli dengan gaya satire-nya.

“Sudahlah. Terima kasih makanannya ya.”

“Kalau tidak kupesankan, apa kamu juga tak makan, Dam?”

“Makan, Ser. Baru juga jam 7.”

“Ya sudah, cepat kamu makan. Keburu dingin nasi gorengnya.”

Adam dan Serli terpisah di dua kota. Terakhir bertemu saat Serli melayat ayah Adam. Mereka bukan seperti sejoli kebanyakan. Bersua, makan bersama, gemar menelepon, dan bercengkrama walau sebatas online.

Serli menganggap Adam yang tak lazim. Kecintaan Adam terhadap buku barangkali melebihi cintanya terhadap Serli. Ini yang seringkali dieluhkan. Dua puluh empat jam, boleh jadi separuh waktu Adam habis karena buku. Sedangkan Serli hanya kebagian sisa-sisa menit sebelum tidur. Itupun jika tidak kelupaan.

Adam bukan hanya acuh kepada Serli, tapi juga dengan kesehatannya. Pola tidur berantakan, makan yang acap kali telat, dan konsumsi kopi berlebihan. Itulah kebiasaan Adam selama mengisi kesendiriannya. Kasurnya yang empuk lebih jarang ditiduri dibandingkan kursi kayu di ruang bacanya. Walhasil, Adam seringkali merasakan sakit kepala. Tapi dia enggan mengunjungi dokter untuk sekadar konsultasi.

***

Sudah tiga hari Adam benar-benar tak bisa dihubungi. Ini pertama kalinya Adam acuh selama itu. Sebelumnya tidak pernah lebih dari dua hari.

Serli meradang juga gamang. Tidak ada satu pun keluarga yang tahu kenapa Adam tidak bisa dihubungi. Menyebalkan. Setiap malam Serli tidur tidak nyenyak. Kepalanya kini terisi dua hal: cemas, dan marah.

Setelah genap empat hari tak kunjung ada kabar, Serli memutuskan untuk mengunjungi rumah Adam. Empat jam dilalui dalam perjalanan Bus AKAP. Di kursi, Serli membayangkan muka Adam yang berubah menjadi lipatan kertas. Dia memprediksi Adam sedang tidur beralas buku, berselimut buku, dan sedang memeluk buku.

Tibalah di terminal akhir. Tukang ojek pangkalan yang mengantarkanya tepat di depan rumah.

“Adam, buka pintunya!” Serli mengeluarkan nada tinggi di awal pertemuannya.

“Dam, Adam. Keluar kamu! Adam!”

Ketidaksabaran Serli memaksanya untuk mendorong pintu sekuat tenaga, agar segera bertemu Adam. Setidaknya dia bisa segera menghempaskan tamparan ke pipi Adam.

Dobrakan yang ketiga berhasil membuka pintu kayu itu. Pemandangan memuakkan yang dilihat Serli adalah banyaknya buku. Bahkan seperti menjadi penyangga rumah Adam. Ini berbeda dengan beberapa tahun lalu. Bisa dikatakan, ini bertambah tiga tujuh kali lipat.

Berjalanlah Serli seraya memanggil Adam. Namun tetap tak ada jawaban. Sampai tibalah dia di balik rak besar di ruang baca Adam. Serli terkejut dan menganga. Berlari dan bersimpuh sejajar dengan Adam.

“Adamm…. Bangun, Dam!”

“Adam, bangun kamu, Dam. Jangan gila kamu!” Serli teriak sekencang-kencangnya seraya menghentak-hentakkan tubuh Adam yang kaku di bawah meja.

Wajahnya bengkak, pucat tak bewarna. Matanya masih terbuka satu, dan mulutnya tak tertutup sempurna. Kedua tangannya mencengkeram angin.

Tangisan Serli membanjiri jasad Adam. Perencanaan kemarahan yang digagas sejak kemarin, runtuh sebab meletusnya cemas dalam lautan kesedihan.

Di samping jasad kekasihnya. Serli menemukan secarik kertas bertuliskan “Aku ingin hidup dan mati bersama buku.” Tangis dan jeritan Serli menjadi-jadi. Namanya tidak tertulis di lembar manapun. Bahkan tak pernah tahu. Sebenarnya di hati Adam, apakah ada secuil namanya. Serli meremas kertas itu sambil terisak-isak memeluk Adam, si kutu buku, kekasihnya.

*Indarka Putra Pratama, lahir di Wonogiri (Jawa Tengah) 2 Oktober 1997, sedang menempuh pendidikan S1 Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, IAIN Surakarta. Bergiat di Forum Sahabat Lintas Iman Solo (Salis). Aktif menulis di beberapa media daring maupun cetak. Beberapa tulisan termuat di Solopos, Tribun Jateng, Medan Pos, Harakatuna.com, Geotimes.co.id, Takselesai.com, dan Apajake.id. Saat ini menjadi ketua Generasi Baru Indonesia Jawa Tengah, sebuah komunitas mahasiswa penerima beasiswa Bank Indonesia.

*Artikel ini telah dimuat di MEDAN POS (edisi Minggu, 7 Juni 2020). (dw)

 

 

 

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV