Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Oleh Mansur Efendi

(Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta)

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia menunjukkan kemajuan yang patut disyukuri dan diapresiasi. Perkembangan tersebut tidak hanya dijumpai pada tataran wacana yang bersifat teoritik-normatif, namun sudah sampai pada tataran yang lebih praktis-aplikatif.

Pada tataran wacana, kita menjumpai banyak pemikiran ekonomi syariah yang dikembangkan oleh para ahli. Kini kita merasakan betapa ekonomi syariah tidak hanya menjadi ‘menara gading’ melainkan sudah lebih membumi dan lebih aplikatif. Pemikiran fiqh muamalah misalnya, sudah mulai dikembangkan secara praktis sesuai dengan persoalan aktual kontemporer.

Bahkan pemikiran fiqh muamalah yang dikembangkan oleh para ulama, telah diadaptasi sedemikian rupa dalam bentuk fatwa. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) telah menjadi ‘panduan praktis’ bagi publik dalam bermuamalah sesuai syariah.

Kemajuan pemikiran ekonomi syariah juga nampak pada ikhtiar untuk mencari relevansinya dengan ekonomi modern. Kini kita menjumpai banyak buku yang mengulas tentang relasi antara ekonomi modern dengan ekonomi syariah. Gagasan para pemikir ekonomi Islam dituangkan dalam konteks yang lebih modernis. Misalnya adalah Abu Yusuf yang menggagas tentang pajak dan tanggung jawab pemerintah terhadap ekonomi.

Selain itu juga gagasan Ibn Taimiyyah yang berbicara tentang kebijakan fiskal, terutama mengenai sumber penerimaan dan alokasi belanja keuangan negara. Kondisi ini makin menegaskan bahwa ekonomi syariah tidak hanya identik dengan bank syariah, melainkan juga mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik sampai dengan ekonomi pembangunan.

Sedangkan pada tataran praktis, perkembangan lembaga keuangan publik syariah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pada sektor perbankan misalnya, hingga Oktober 2018, jumlah Bank Umum Syariah sudah mencapai 14 buah dengan total aset sebesar 304,292 miliar rupiah.

Sedangkan Bank Umum Konvensional yang membuka Unit Usaha Syariah sebanyak 20 buah, dengan total aset 149,957 miliar rupiah, dan jumlah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah mencapai 168 buah dengan jumlah kantor sebanyak 450 buah.

Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga November 2018, jumlah reksadana syariah sebesar 220 atau sekitar 10,61% dari total reksadana. Jumlah ini cukup tinggi bila dibandingkan tahun 2010 yang hanya sebesar 7.84%. Perkembangan Efek Syariah juga sangat menggembirakan, hingga November 2018, terdapat 407 Efek Syariah dari berbagai sektor. Jumlah sukuk syariah juga mengalami peningkatan, hingga November 2018 sudah mencapai 108 sukuk syari’ah.

Perkembangan saham syariah juga mengalami kenaikan. Hingga November 2018, Kapitalisasi Pasar Bursa Efek Indonesia di Jakarta Islamic Index mencapai 2.065.369,10, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2010 sebesar 1.134.632,00.

Perkembangan lembaga keuangan syariah juga ditunjukkan dengan tingginya jumlah BMT (Baitul Maal Wat Tamwil) yang saat ini diperkirakan mencapai 4500 buah. BMT sendiri merupakan lembaga keuangan syariah yang memberikan layanan pembiayaan syariah pada usaha mikro bagi anggotanya. Keberadaan BMT menjadi strategis, terutama untuk menjangkau wilayah perdesaan (sektor pertanian dan sektor informal).

Perkembangan ekonomi syariah juga nampak dengan berdirinya Bank Wakaf Mikro, yang berfungsi memberikan layanan penyediaan akses pembiayaan bagi masyarakat yang belum terhubung dengan lembaga keuangan formal khususnya di lingkungan pondok pesantren. Hingga Desember 2018, OJK mencatat sebanyak 41 Bank Wakaf Mikro telah berdiri di Indonesia.

Pengelolaan zakat dan wakaf juga mengalami kemajuan. Upaya penguatan pengelolaan zakat terus dilakukan pemerintah, misalnya dengan diterbitkannya UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Tujuan diterbitkannya Undang-undang tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

Berkaitan dengan pengelolaan wakaf, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Undang-undang tersebut melahirkan paradigma baru tentang pengelolaan wakaf di Indonesia, terutama pengelolaan wakaf uang. Hal ini merubah paradigma publik bahwa obyek harta wakaf tidak hanya tanah, namun juga meliputi barang-barang bergerak, seperti uang dan surat berharga lainnya.

Kemajuan-kemajuan tersebut, tidak bisa dilepaskan dari geliat perkembangan filantropi Islam di Indonesia. Menurut analisis Hilman Latief, munculnya filantropi Islam di Indonesia merupakan fenomena kepedulian masyarakat muslim kelas menengah ke atas terhadap persoalan kemanusiaan.

Perkembangan ekonomi syariah pada satu sisi melahirkan kegembiraan atas optimisme masa depan ekonomi syariah sebagai ‘sistem ekonomi alternatif’. Namun di sisi lain menghadirkan tantangan baru untuk peningkatan kualitas.

Perkembangan ekonomi syariah tidak boleh hanya bertumpu pada sektor keuangan, namun perlu penguatan pada sektor riil. Portofolio produk perbankan syariah yang mendorong terciptanya sektor riil, seperti pembiayaan mudharabah dan musyarakah perlu ditingkatkan kembali.

Secara kelembagaan, institusi keuangan publik syariah nampaknya juga perlu dikelola untuk melahirkan sinergisitas dan harmonisasi. Dengan demikian, perkembangan ekonomi syariah akan dapat dinikmati oleh kalangan luas terutama dhuafa.

Note: Artikel ini telah dimuat juga dalam majalah “Media Mamalat” edisi 10, BMT Muamalat Karanganyar.

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV