Posisi Budaya dalam Proses Formulasi Hukum Islam

FASYA – Rabu (11/10/2018) Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Syariah IAIN Surakarta menggelar seminar nasional bertajuk “Epistemologi Budaya dalam Formulasi Hukum Islam”. Mengambil tempat di Gedung Graha IAIN Surakarta, acara ini dihadiri 400 lebih mahasiswa IAIN Surakarta dan beberapa mahasiswa lain di lingkungan Karesidenan Surakarta.

Hadir sebagai pembicara adalah Ahmad Hafidh, S.Ag., M.Ag., dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta dan Ngatawi Al-Zastrow, budayawan dari kalangan pesantren dan pernah menggawangi Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2004-2009.

Statemen kunci Ahmad Hafidh perihal relasi al-Qur’an dan budaya adalah bahwa, “Al-Quran dikomunikasikan oleh Allah kepada manusia dengan bahasa-manusia yang kultural. Adapun hukum islam itu bersifat atropologis.” Kebudayaan, menurutnya, adalah sarana untuk mengkonstruksikan, menjabarkan serta membangun Hukum Islam itu. Hukum, seperti juga Fiqh dan Tafsir, adalah pemahaman manusia yang antropologis. Ada ‘dinamika’ dan proses dinamis di sana.

Ngatawi Al-Zastrow yang budayawan sepakat dengan Ahmad Hafidh tentang budaya. Menurutnya, kebudayaan adalah bentuk-riil perspektif manusia dalam bentuk praktek hidup sehari-hari, yang membawa maslahah, baik mewujud dalam nilai-nilai tak tertulis yang selalu dilestarikan maupun tertulis dalam naskah. Muara akhir budaya, diakui atau tidak, adalah ikhtiar ilmiah yang sejatinya mendukung proses kreatif-ilmiah formulasi Hukum Islam di masa yang datang kemudia.

Batasan penting di mana budaya dianggap mendukung formulasi Hukum Islam adalah saat budaya dilihat dari sisi aksiologinya, tujuan akhirnya. Kedua sisi aksiologi Hukum Islam adalah kadilan dan kemaslahatan.

Posisi penting budaya dapat dirujukkan pada sumber-sumber tradisional yang menyepakati adanya dalil Qauliyyah (teks) dan Kauniyyah (konteks, alam) dalam memformulasikan hukum islam. Dengan begitu, perihal penafsiran yang berbeda satu sama lain sebenarnya bukan masalah benar atau salahnya tafsiran tersebut melainkan soal cocok tidaknya tafsiran tersebut dengan konteks yang mengitarinya saat suatu teks ditafsirkan.

Merespon pertanyaan yang diajukan tentang kiat menghadapi pengaruh budaya dari luar Indonesia, Al-Zastrow menyarankan kita semua untuk mempertimbangkan aspek-aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi tiap hal agar tidak asal serampangan menilai sesuatu. Menurutnya, dalil-dalil Ushul Fiqh semisal Istihsan atau Qiyas hadir dalam konteks ketiga aspek tersebut.

Penulis :
Rofikoh Awaliah, NIM 162111243, Prodi HES
Andika Catur, NIM 152111057, Prodi HES

Editor : Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum.

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV