FASYA-Senin, (28/10/2024) – Dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional, Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKKOHIS) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, bersama Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU Jawa Tengah, menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Pesantren sebagai Wadah Pendidikan Karakter: Upaya Pencegahan Bullying melalui Pendekatan Syariah dan Hukum Nasional”. Acara yang diadakan di Aula Fakultas Syariah UIN RMS ini menghadirkan sejumlah pemateri dari kalangan akademisi, tokoh pesantren, dan praktisi hukum, dengan tujuan untuk memperkuat peran pesantren dalam membentuk karakter generasi muda yang bebas dari kekerasan sosial. Acara ini dihadiri 384 peserta baik Offline maupun Online.
Sambutan awal disampaikan oleh Direktur PUSKOHIS, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H., M.A., Dalam sambutannya, Direktur PUSKOHIS Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta dan ahli dalam hukum Islam dan syariah, memberikan pandangan mendalam terkait posisi pesantren sebagai wadah yang efektif dalam pendidikan karakter serta upaya preventif terhadap bullying. Ia mengaitkan konsep pendidikan pesantren dengan teori keadilan hukum dan pendekatan fiqh (jurisprudensi Islam), yang relevan dalam membentuk regulasi dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan santri.
Menurut Mustain, pesantren memegang peran penting sebagai miniatur sistem hukum yang adil dan egaliter, di mana nilai-nilai syariah diinternalisasikan dalam praktik sehari-hari. Mengutip teori hukum dari Roscoe Pound, bahwa hukum bukan hanya perangkat aturan tetapi juga instrumen rekayasa sosial (law as social engineering), Mustain menekankan bahwa pesantren bisa memaksimalkan pendekatan hukum syariah sebagai instrumen untuk membangun budaya hidup damai dan harmonis. “Dalam konteks pesantren, hukum harus bekerja sebagai alat yang mampu menginternalisasi moral dan akhlak, menjauhkan santri dari perilaku menyimpang seperti bullying,” jelasnya.
Dekan Fakultas Syariah, Dr. Muh Nasiruddin, S.Ag, M.A., M.Ag., yang juga hadir memberikan opening speech, secara resmi membuka seminar. Dalam paparannya, ia menyoroti bagaimana pesantren memiliki peran strategis dalam membangun generasi berkarakter yang kuat, baik secara moral maupun hukum. Dekan Fakultas Syariah ini mengungkapkan pentingnya membangun sinergi antara lembaga hukum Islam dan lembaga pendidikan nasional untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif. Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya seminar yang bertujuan untuk membahas pencegahan kekerasan dan perlindungan anak di lingkungan pesantren.
Ia menekankan bahwa Fakultas Syariah akan terus bekerja sama dengan Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) dalam upaya bersama memperkuat advokasi dan penerapan hukum yang mendukung kesejahteraan santri. Nasiruddin juga mengucapkan terima kasih kepada Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) Fakultas Syariah, yang telah aktif mengadakan berbagai agenda strategis demi kemajuan ilmu syariah dan kontribusi nyata bagi UIN Raden Mas Said Surakarta. Ia berharap kerja sama ini dapat menghasilkan lebih banyak kebijakan yang berdampak positif dalam menjaga keamanan dan kenyamanan bagi para santri di pesantren.
Pendekatan Maqasid al-Shariah dalam Perlindungan Santri
Sebagai keynote speaker, Fathurrahman Husen, M.Si., Ketua Bidang Pengabdian PUSKOHIS Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, menekankan pentingnya pesantren sebagai tempat yang tidak hanya berfungsi untuk pendidikan agama tetapi juga sebagai wahana utama dalam membentuk karakter santri yang kuat dan berakhlak. Dalam paparannya, ia mengaitkan peran pesantren dengan konsep maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah), yang menitikberatkan pada perlindungan jiwa dan kehormatan manusia (hifz al-nafs wa al-‘ird).
Menurutnya, pendekatan maqasid dalam lingkungan pesantren mendorong upaya perlindungan terhadap integritas dan martabat setiap individu. “Pesantren harus berfungsi sebagai tempat yang menjamin keamanan dan penghormatan bagi setiap santri. Tujuan hukum Islam adalah melindungi martabat manusia, dan ini mencakup perlindungan dari perilaku-perilaku yang merendahkan, seperti bullying,” tegas Fathurrahman.
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa penerapan maqasid akan membangun sistem yang menyeimbangkan antara penanaman nilai-nilai Islam dengan pencegahan terhadap perilaku kekerasan. Regulasi internal yang berlandaskan syariah di pesantren, menurutnya, harus sejalan dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU Perlindungan Anak dan hukum nasional yang mengutamakan kesejahteraan dan keselamatan anak. Ia menyampaikan bahwa, “Dengan regulasi yang mencerminkan kedisiplinan dan penghormatan, pesantren bukan hanya mendidik tetapi juga melindungi. Pengaturan ini membuat pesantren sebagai miniatur masyarakat yang adil, tertib, dan harmonis.”
Menutup pemaparannya, Fathurrahman menekankan bahwa sinergi antara hukum syariah dan hukum nasional akan menjadi landasan penting bagi pesantren dalam memerangi segala bentuk kekerasan, termasuk bullying. Seminar ini, menurutnya, diharapkan mampu memberikan arah kebijakan dan inspirasi bagi seluruh pesantren di Indonesia untuk semakin memperkuat perannya dalam membina generasi santri yang berakhlak mulia, aman, dan saling menghormati.Sebagai pembicara pertama, Atatin Malihah, S.Ag., M.H., yang menjabat sebagai Ketua LPBH NU PWNU Jawa Tengah, menekankan aspek hukum dalam pencegahan bullying. Ia menguraikan berbagai landasan hukum nasional yang melindungi siswa dari kekerasan di lingkungan pendidikan, serta upaya preventif yang dapat diambil pesantren dalam menyusun regulasi internal yang mendukung lingkungan belajar aman. “Peraturan nasional terkait perlindungan anak dan ketentuan dalam UU Perlindungan Anak perlu diinternalisasi dalam lingkungan pesantren,” ungkapnya, seraya menegaskan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan harus mampu mengintegrasikan pendekatan hukum dalam mencegah terjadinya bullying.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH) PWNU Jawa Tengah, menjelaskan secara rinci mengenai aspek hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang secara jelas mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Atatin menyoroti Pasal 1 angka 15a UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kekerasan adalah tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik, psikis, seksual, atau bentuk penelantaran pada anak, termasuk ancaman, paksaan, atau tindakan yang menghilangkan kebebasan anak secara ilegal. Menurutnya, tindakan kekerasan ini dapat berupa apa saja yang mengganggu kenyamanan dan keamanan anak di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren. Ia kemudian menjelaskan bahwa siapa pun yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 80 (1) jo. Pasal 76c UU No. 35 Tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda sebesar Rp72 juta. Pasal 76c melarang segala bentuk kekerasan, baik berupa tindakan langsung maupun tidak langsung, terhadap anak. Jika kekerasan tersebut menyebabkan luka berat, pelaku dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 80 (2). Selain UU Perlindungan Anak, Atatin juga merujuk Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penghinaan atau pencemaran nama baik, yang sering kali muncul dalam kasus perundungan. Pasal ini relevan dalam konteks pesantren, di mana tindakan atau ujaran yang merendahkan martabat santri dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, yang juga memiliki konsekuensi pidana. Sebagai penutup, Atatin menekankan pentingnya regulasi internal pesantren yang sejalan dengan UU Perlindungan Anak dan KUHP. Ia mendorong pengasuh pesantren untuk memperkuat pengawasan dan memberikan sosialisasi mengenai pentingnya lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan, agar setiap santri dapat berkembang tanpa tekanan fisik maupun psikis.
KH. Syahrul Afrizal Sitorus, Lc., M.H., Pengasuh Pondok Pesantren Darul Quran dari Medan, membahas perspektif syariah dalam menangani perilaku bullying. Ia menyoroti bahwa dalam ajaran Islam, setiap bentuk tindakan yang merugikan orang lain secara fisik maupun psikologis dilarang keras. “Al-Quran dan Hadis mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kehormatan dan martabat sesama manusia,” katanya. KH. Syahrul menjelaskan bahwa penerapan nilai-nilai Islami seperti menghormati sesama dan melarang perbuatan zalim dapat menjadi solusi efektif dalam menghapus budaya bullying di pesantren.
Sebagai pembicara terakhir, Seno Aris Sasmita, M.H., Dosen Fakultas Syariah UIN RMS, memaparkan peran pendidikan karakter di pesantren sebagai upaya pencegahan jangka panjang terhadap perilaku bullying. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam membentuk karakter santri melalui pendidikan nilai, seperti menghargai perbedaan, empati, dan toleransi. “Pesantren memiliki peran besar dalam menanamkan karakter kuat pada santri. Pembentukan ini bukan hanya tugas akademis tetapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka,” jelasnya.
Seminar yang dihadiri oleh mahasiswa, santri, dan praktisi hukum ini berlangsung dengan penuh antusiasme. Para peserta aktif berdiskusi, menanyakan berbagai cara praktis yang dapat diimplementasikan dalam menangkal bullying di lingkungan pendidikan Islam.
Seminar ini diharapkan mampu mendorong institusi pesantren di Indonesia untuk lebih aktif dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang aman dan kondusif, sekaligus memperkuat posisi pesantren sebagai garda terdepan dalam pendidikan karakter yang islami dan berlandaskan hukum nasional. (Gus Mustain)