FASYA – (Kamis, 31/10/2024). Masih dalam suasana memperingati Hari Santri Nasional 2024, Fakultas Syariah UIN Surakarta menggelar Diskusi Publik Nasional bertema “Pesantren Sebagai Pusat Kajian Hukum Islam dalam Rangka Mewujudkan Keadilan dalam Tataran Nasional dan Internasional”. Acara ini berlangsung di Aula Fakultas Syariah pada Kamis, 31 Oktober 2024, pukul 13.00–16.00 WIB, diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) Fakultas Syariah UIN Surakarta bekerja sama dengan MUI Kota Surakarta.
Diskusi ini diawali dengan opening speech dari Dr. Sidik, S.Ag., M.Ag., Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, yang menekankan pentingnya pesantren sebagai pusat kajian hukum Islam yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan keadilan. Dalam opening speech Dr. Sidik menyampaikan apresiasi mendalam terhadap Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) atas dedikasi dan konsistensinya dalam menyelenggarakan berbagai forum ilmiah yang bernilai strategis sepanjang tahun ini. Beliau menilai bahwa inisiatif seperti ini tidak hanya memperkaya khazanah keilmuan di bidang hukum Islam, tetapi juga mengukuhkan peran Fakultas Syariah sebagai pusat rujukan akademis yang relevan dan responsif terhadap isu-isu hukum kontemporer.
Lebih jauh, Dr. Sidik menyampaikan harapannya untuk mentransformasi kajian fiqih ke dalam kerangka hukum positif yang dapat diakomodasi dalam regulasi negara secara universal. “Kami berkomitmen untuk menjadikan Fakultas Syariah sebagai wadah yang mampu menerjemahkan prinsip-prinsip fiqih ke dalam peraturan perundang-undangan nasional yang inklusif, sejalan dengan tuntutan keadilan yang universal, serta tetap berakar pada nilai-nilai luhur hukum Islam,” tegasnya.
Adapun Kaynote Speaker Seminar disampaikan oleh AM. Mustain Nasoha, S.H., M.H., M.A., selaku Direktur PUSKOHIS UIN Raden Mas Said Surakarta, mengenai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, khususnya terkait dengan kewajiban pengembangan nilai Islam rahmatan lil’alamin, beliau menyoroti Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 7 dari UU tersebut yang secara eksplisit menekankan peran strategis pesantren sebagai pusat pengkajian Islam yang tidak hanya terbatas pada ranah domestik, tetapi juga harus memberikan kontribusi signifikan dalam mewujudkan keadilan di tingkat nasional maupun internasional.
“Data terkini dari Kementerian Agama untuk semester ganjil 2023/2024, yang mengindikasikan adanya 39.551 pesantren di seluruh Indonesia dengan total populasi santri mencapai 4,9 juta jiwa, menjadi acuan penting bagi beliau dalam menegaskan potensi pesantren dalam mengembangkan hukum Islam yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sekaligus mendukung upaya pemerintah dalam memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Ungkap Mustain Nasoha
Dalam konteks pandangan tokoh-tokoh hukum Islam internasional, AM. Mustain Nasoha juga merujuk kepada perspektif Prof. Dr. Mohammad Hashim Kamali dari Malaysia yang menyoroti esensialitas peran pesantren dalam membentuk pemahaman hukum Islam yang menghormati prinsip keadilan. Sementara itu, pandangan dari pemikir hukum Islam Amerika Serikat seperti Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl dan Prof. Dr. Sherman Jackson menegaskan bahwa prinsip-prinsip hukum Islam yang dikaji di lingkungan pesantren memiliki potensi untuk memperkaya kerangka hukum internasional yang berfokus pada keadilan global.
Abdul Aziz Ahmad, S.H., Ketua MUI Kota Surakarta, menyoroti peran MUI dalam membina pesantren sebagai pusat kajian hukum Islam. Metode pembelajaran di pesantren, seperti Bandongan, Sorogan, dan Hafalan, berhubungan erat dengan pemahaman dan penerapan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kiai berwenang menentukan materi pembelajaran untuk memastikan pemahaman yang benar. KH. Abdul Aziz Ahmad mendorong santri untuk menjadi produsen ilmu dengan menulis kitab baru, yang diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu hukum Islam di pesantren. Dengan penerapan beragam metode pembelajaran ini, pesantren dapat berperan sebagai lembaga pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ajaran agama tetapi juga membentuk pemahaman yang kokoh terkait dengan hukum Islam. Melalui metode pembelajaran yang beragam ini, pesantren dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam membina dan mengembangkan pemahaman hukum Islam yang berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan rahmatan lil’alamin.
Dilanjutkan oleh Kyai Muhammad Muslih dari Pondok Pesantren Sidogiri, Jawa Timur, yang menekankan pentingnya tradisi ilmiah Islam untuk menjawab tantangan hukum modern. Kyai Muslih berpendapat bahwa hubungan yang dekat antara ulama (ahli agama) dan umara (pemimpin negara) merupakan kunci penting dalam pembangunan masyarakat yang beradab. Menurut beliau, apabila ulama dan umara saling bekerjasama dan berkolaborasi, maka peran pesantren dalam membangun masyarakat akan semakin terlihat dan terasa. Kolaborasi yang erat antara ulama dan umara dapat memperkuat aspek keagamaan dan sosial masyarakat. Ulama sebagai pemegang pengetahuan agama dapat memberikan panduan moral dan spiritual yang dibutuhkan oleh umat, sementara umara sebagai pemegang kekuasaan dapat mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang berlandaskan pada nilai-nilai agama dan keadilan. Dengan demikian, pesantren akan dapat berperan sebagai pusat pendidikan dan penelitian keagamaan yang memberikan arahan dan bimbingan kepada masyarakat, sekaligus menjadi tempat di mana kolaborasi antara ulama dan umara dapat terwujud secara nyata untuk kemajuan bersama.
Sementara itu, Ahmadi Fathurrahman, M.Hum., dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, membahas kontribusi pesantren dalam membangun keadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Pak Ahmadi memberikan pandangan bahwa pesantren perlu melakukan kaderisasi untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas. Beliau juga menganggap pesantren sebagai pusat orang-orang berintelektual, tempat di mana pemikiran dan pengetahuan diperkaya. Pak Ahmadi menekankan bahwa santri harus memiliki ketangguhan dan ketabahan, tidak boleh mudah menyerah di hadapan tantangan dan rintangan yang dihadapi dalam proses pendidikan dan pengembangan diri. Dengan pendekatan kaderisasi, pengembangan intelektual, dan penekanan pada ketangguhan santri, Pak Ahmadi meyakini bahwa pesantren akan mampu memberikan kontribusi yang signifikan tidak hanya di tingkat lokal atau regional, tetapi juga di tingkat nasional maupun internasional.
Dengan demikian, pesantren yang mengutamakan kaderisasi, pengembangan intelektual, dan ketangguhan santri akan memiliki potensi untuk memberikan kontribusi yang berdampak di tingkat nasional dan internasional, memperkuat peran pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pemikiran yang relevan dalam dinamika masyarakat global.
Dengan Zahrotul Mu’arifah sebagai moderator, acara ini berlangsung interaktif dan inspiratif, diikuti oleh 389 peserta secara offline dan online dari berbagai ormas, ahli hukum, dan advokat. Acara ini diharapkan dapat memperkuat posisi pesantren sebagai pusat kajian hukum Islam yang mendukung terciptanya keadilan yang berkelanjutan di berbagai ranah, baik nasional maupun internasional. (Gus Mustain/ smn)