Ta’aruf, Tren atau Kebutuhan?

Oleh: Sariyani

(Santri PESMA Munawir Sjadzali Fakultas Syariah IAIN Surakarta, [email protected])

 

Dewasa ini banyak media yang mengekspos ta’aruf, khususnya yang terjadi di kalangan public figure. Dampaknya,  banyak anak-anak muda yang kemudian menirunya. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan, apakah ta’aruf yang terjadi saat ini benar-benar kebutuhan ataukah sekedar tren belaka?

Munculnya Fenomena Ta’aruf

Banyak cara yang ditempuh remaja saat ini dalam melakukan pendekatan terhadap lawan jenis. Beberapa di antara mereka saat ini memilih pacaran sebagai jalan perkenalan. Bentuknya pun juga bermacam-macam, misalnya berkirim pesan lewat whatshapp, facebook, instragam, telepon, dan medsos lainnya.

Bagi mereka pacaran biasa dianggap sebagai tahap perkenalan atau pun media perwujudan rasa. Tetapi tidak sedikit yang salah dalam berpacaran. Saat pacaran, pasangan cenderung menampilkan sisi-sisi yang positif. Sementara sisi negatifnya seringkali ditutupi.

Bahkan beberapa public figure menampilkan gaya pacaran yang vulgar dan menjadi sorotan publik. Sebut saja seperti yang ditunjukkan oleh Awekarin. Ia secara vulgar mengekspos tingkahnya bersama sang pacar. Ini tentu saja merupakan contoh yang tidak patut untuk diikuti. Hal ini menyulut pemberitaan dan sempat menjadi trending topic.

Setelah pemberitaan tersebut mulai surut, kini muncul fenomena yang booming yaitu ta’aruf. Jika dilihat dari segi bahasa, ta’aruf memiliki arti pengenalan. Sementara pacaran juga diartikan pengenalan. Keduanya memiliki makna yang sama dari sisi kebahasaan. Apakah keduanya memiliki kesamaan juga dari segi esensinya, tergantung siapa yang memaknai kata tersebut.

Ta’aruf dikenalkan oleh sejumlah aktivis. Selain itu, media online yang menawarkan jasa ta’aruf juga banyak bermunculan. Dampaknya, mulai dari kalangan orang biasa, kalangan pegawai, hingga kalangan public figure memilih praktik ta’aruf.

Ta’aruf kini menjadi jalan pilihan beberapa artis. Tidak hanya ta’aruf yang mulai dilirik, kini tren “hijrah” gaya busana, pergaulan, hingga memilih jalan mendapatkan jodoh sudah mengisi kehidupan mereka.

Beberapa public figure yang memilih menikah melalui ta’aruf tidak semuanya berjalan mulus. Misalnya saja Taqy Malik dan Salmafina yang berta’aruf kurang lebih hanya satu sampai dua bulan, namun berakhir dengan usia pernikahan yang hanya  seumur jagung.

Hal tersebut terjadi dikarenakan beberapa faktor. Ketidakcocokan yang tidak bisa dipersatukan menjadi di antara pemicunya. Ini karena selama ta’aruf pasangan tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain. Tetapi tidak sedikit juga public figure yang menemukan pasangan melalui ta’aruf dan mampu bertahan sampai sekarang.

Ta’aruf bertujuan sangat mulia yaitu sebagai jalan bagi orang yang ingin segera menikah dengan cara sesuai syari’ah. Jika dibandingkan dengan pacaran, sebenarnya ta’aruf terlihat lebih Islami, lebih berwibawa, dan kehormatan kedua pasangan lebih terjaga. Ini karena ta’aruf identik dengan proses perkenalan menuju pernikahan.

Pro-Kontra Ta’aruf

Fenomena ta’aruf yang kini menjamur, ditanggapi secara beragam oleh masyarakat. Sebagian kalangan berpandangan positif. Mereka memandang bahwa ta’aruf merupakan kebutuhan dan jalan untuk mendapatkan jodoh. Sebagian berpandangan bahwa ta’aruf hanya tren saja. Ini karena banyak public figure yang mempraktikkannya dan kemudian diikuti oleh masyarakat awam.

Bagi yang pro ta’aruf,  mereka memandangnya bisa menghindari pergaulan yang melanggar syari’at. Bahkan ketika umur sudah masuk dalam usia pernikahan, ta’aruf menjadi jalan satu-satunya untuk mendapatkan jodoh.

Kalangan yang pro ta’aruf mengakui bahwa ta’aruf yang dijalani adalah melalui guru ngaji. Proses itu diawali dengan menulis proposal, tukar menukar proposal, proses ta’aruf, perenungan, proses lanjutan, jawaban, khitbah, dan nikah. Secara keseluruhan, proses tersebut berlangsung cepat dalam hitungan beberapa bulan.

Kalangan yang pro ta’aruf juga menegaskan bahwa ia bukan tren. Bagi mereka, jika ta’aruf merupakan sebuah tren maka ta’aruf pasti tidak memiliki standar substansi fikih dan agama. Sementara mengenai banyaknya media yang menyediakan jasa ta’aruf, bagi kalangan pro, hal itu dimaksudkan untuk mempermudah dan menyesuaikan praktik ta’aruf dengan perkembangan zaman.

Bagi kalangan yang kontra, mereka memandang bahwa ta’aruf adalah tren saja. Ini terjadi karena pemberitaan terkait ta’aruf di kalangan public figure terekspos ke tengah masyarakat. Hal itu kemudian mendorong sejumlah remaja untuk berbondong-bondong melakukan proses ta’aruf.

Sementara pendapat yang netral berpandangan bahwa ta’aruf adalah kebutuhan yang menjadi tren. Ini karena cara berfikir masyarakat yang sudah mulai bergeser. Paradigma tentang pacaran dan ta’aruf sudah mulai terbangun. Sehingga ta’aruf diyakini sebagai kebutuhan yang menjadi tren. Terlepas dari tren atau bukan, fenomena ta’aruf dapat dimaknai agar pemuda Indonesia, khususnya muslim dan muslimah, terhindar dari tren pacaran yang vulgar. (SH)

 

 

 

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV