Tantangan Keluarga Menghadapi Disrupsi Orientasi Kehidupan Remaja Generasi-Z

FASYA-Salah satu tim Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Program Studi (Prodi) Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta mengadakan diskusi pada Sabtu 16/04/2022, pukul 08.00-12.30 WIB dengan tema “Tantangan Keluarga Menghadapi Disrupsi Orientasi Kehidupan Remaja Generasi-Z”. Tim pelaksana PkM berbasis Prodi HKI ini terdiri atas Sulhani Hermawan, M.Ag., Seno Aris Sasmito, M.H., Drs. Muhdi, M.Ag., dan Ahmadi Fathurrohman Dardiri, M.Hum.

Kegiatan yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA) kec. Mojosongo (kab. Boyolali) ini menghadirkan narasumber Agus Tri Susilo, S.Pd., M.Pd., seorang praktisi di bidang Bimbingan dan Konseling (BK), founder Omah Konseling, dan dosen tetap bidang BK pada Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Adapun moderator diskusi ini adalah alumni Prodi HKI tahun 2021 yang saat ini sedang menempuh studi magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saudari Cindera Permata, S.H.

Kegiatan ini mengundang peserta berjumlah 40 orang dari kalangan praktisi penyuluh keagamaan serta ustadz-ustadzah yang berdomisili di kawasan kecamatan Mojosongo, kabupaten Boyolali, propinsi Jawa Tengah.

Disrupsi Orientasi Kehidupan Gen-Z

Memahami Gen-Z, kelompok manusia yang lahir antara tahun 1997-2012 (juga Post Gen-Z yang lahir pada tahun 2013 hingga sekarang) jelas bukan persoalan mudah, utamanya bagi generasi-generasi yang berada di atasnya. Baik generasi Milenial (lahir 1981-1996), Gen-X (lahir 1965-1980), dan apalagi generasi Baby Boomer (lahir 1946-1964), kesemuanya tampak kewalahan memahami sikap hidup dan orientasi kehidupan Gen-Z.

Di saat ketiga generasi yang lebih senior dari Gen-Z berpikir tentang stabilitas pekerjaan dan pemasukan tetap bulanan, Gen-Z justru berpikir tentang keseruan menjalani pekerjaan dan menampilkan sikap ‘anti-kemapanan’, misalnya menyukai berpindah-pindah kantor hingga hobi berganti pekerjaan.
Mereka menyukai dunia kreatif, tertarik dengan ide-ide inovatif, cenderung apatis, dan hingga tataran tertentu enggan terlibat dalam kegiatan sosial yang tidak sesuai dengan standar mereka (on their own terms and conditions). Intinya, terhadap kecenderungan Gen-Z yang unik dibutuhkan sikap legowo bagi generasi di atasnya untuk memahami mereka, semata-mata demi kebaikan mereka.

Tantangan Orang Tua Gen-Z

Menurut Agus Tri Susilo, salah satu strategi yang dapat dilakukan orang tua dalam menghadapi tantangan mendidik Gen-Z adalah melalui strategi ‘coping’. Kata coping berasal dari frasa ‘to cope with’ yang berarti “…usaha untuk mengontrol, mengurangi, atau belajar untuk menoleransi ancaman yang menimbulkan stres.” Strategi ini, meski cenderung merespon sikap dan perilaku Gen-Z secara pasif, dianggap cukup efektif untuk kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak-anak Gen-Z.

Kata kunci ‘belajar menoleransi’ merupakan frasa alternatif dari ‘membangun komunikasi’ yang seimbang. Ini artinya, hal-hal yang sedianya dilihat sebagai taken for granted di pihak orang tua perlu ditimbang kembali. Misalnya tentang ‘kesuksesan belajar’ yang diukur dengan nilai bagus di bangku sekolah.

Bagi Gen-Z kesuksesan belajar tidak bisa diukur dengan sesuatu yang sifatnya kuantitatif. Banyak ditemukan siswa-siswi yang rapor sekolahnya jelek namun berprestasi di bidang non-akademik (olahraga, gaming, maupun kepemimpinan personal di lingkaran-pertemanan Gen-Z).

Ketika Gen-Z ‘dianggap’ kecanduan bermain gawai, entah itu gaming atau berinteraksi melalui media sosial online, sehingga mereka lupa waktu, berkurang drastis porsi olahraganya, menimbulkan penyakit mata, dan memburuknya saluran pencernaan, mereka tak bisa disalahkan karena keadaan-keadaan tersebut.

Pertama, mereka tergolong anak-anak dan remaja usia di bawah 20 tahun. Tentu saja kedewasaan adalah isu penting bagi mereka, dan mereka belum bisa dikategorikan dewasa. Maka, tanggungjawab mutlak dibebankan kepada orang tua. Kedua, kemauan dan kemampuan orang tua dalam memahami dunia di sekeliling Gen-Z turut dipertanyakan. Karena alasan-alasan yang bersifat generational gap (kesenjangan antar generasi), orang tua seringkali memilih pasrah pada keadaan dan mengutuk tindakan keseharian Gen-Z dibanding meluangkan waktu beberapa jam dalam satu minggu untuk mempelajari karakter dunia Gen-Z.

Solusi ala Bu Tejo: Yang Penting Solutip!

Nah, dalam rangka menjembatani kesenjangan antar generasi di atas, menurut Agus Tri Susilo, diperlukan 3 prinsip sikap yang dapat menjembatani kedua generasi beda selera dan logika tersebut. Pertama, penyediaan lingkungan yang tepat. Solusi ini dapat diawali dengan kemauan orang tua bertanya apa yang menjadi kebutuhan Gen-Z. Dengan begitu, selain anak-anak Gen-Z diberi peran, mereka juga lebih nyaman dengan keadaan yang mereka pilih. Di sisi lain, orang tua diuntungkan karena ‘sudah mengetahui’ sebagian kecil karakter anak-anak Gen-Z mereka.

Kedua, prinsip fleksibilitas. Gambaran kehidupan yang penuh penderitaan dan kurang berwarna dari generasi Milenial, Gen-X, dan Baby Boomer tampaknya harus dihapus total. Keseimbangan dan fleksibilitas antara pekerjaan, kehidupan sehari-hari, dan waktu bersenang-senang mutlak diperlukan dalam rumusan jadwal anak-anak Gen-Z. Lalu, apakah dengan tuntutan semacam ini kerja keras diabaikan? Tidak sama sekali. Perlu diingat, Gen-Z adalah generasi yang sanggup multitasking (mengerjakan beberapa hal sekaligus dalam satu waktu). Jadi, jangan terlalu khawatir!

Ketiga, eksistensi dan aktualisasi. Gen-Z menyukai keterlibatan, namun bukan semata-mata untuk dimanfaatkan. Keterlibatan mereka bersifat riil dalam bentuk peran nyata yang mengandung tanggungjawab yang disodorkan kepada mereka. Di sisi lain, adanya pelibatan dan keterlibatan yang ditumbuhkan di diri mereka mendorong tercapainya nilai-nilai aktualisasi dalam dirinya, baik untuk urusan-urusan personal maupun urusan sosial yang melibatkan visi misi bersama (kelompok masyarakat di sekitarnya).

Sebagai penutup dan dengan maksud merangkum solusi-solusi yang ditawarkan, maka (1) untuk hal-hal yang baik, jadikan hal itu sebagai kebutuhan yang terhubung dengan anak-anak Gen-Z. Misalnya mengurus rumah, tanaman, atau toko kelontong milik keluarga.

Sebaliknya, (2) untuk hal-hal yang bersifat non-primer atau hal-hal yang dirasa akan menimbulkan bahaya bagi mereka, perlu ditanamkan bahwa hal tersebut bersifat ‘tambahan’ saja. Artinya, ada atau tidak adanya hal tersebut tidak mengganggu ritme kehidupan mereka. Sekian. (afd/SINPUH)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV