Upaya Pencarian si Juru Dongeng

Indarka Putra Pratama *

 Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI)

 

Bukankah kita sering mendengar tentang cinta segi tiga? Lalu berkesimpulan bahwa hadirnya seseorang ke dalam hubungan sejoli akan menganggu romantisnya cinta. Sudah barang pasti: di akhir, di tengah, atau bahkan di awal kisah hubungan itu, harus ada tumbal berupa hati yang patah dan kecewa menahan luka.

Kali ini, Sapardi menulis dongeng segi tiga. Meskipun agak kurang tepat jika dikatakan cerita atau cinta segi tiga, nyatanya dongeng ini telah tersebar luas dalam buku bertajuk Segi Tiga. Bagi yang sudah membaca trilogi novel Hujan Bulan Juni (pertama, 2015), Pingkan Melipat Jarak (2017), dan Yang Fana Adalah Waktu (2018). Tak akan merasa asing ketika mendengar nama tokoh yang hadir di buku Segi Tiga. Andai belum membacanya, juga sama sekali tak membuat cerita buku ini terkesan aneh. Pembaca bisa mengawalinya dari mana pun.

Sepertinya Sapardi menghendaki agar para tokoh mencarinya. Suryo-lah pencari pertama sekaligus membuka keran kisah ini. Suryo menyebutnya Juru Dongeng. Pihak yang bebas menulis cerita menawan yang kerap menyisakan senandung kenangan bagi pembaca. Suryo bersikeras mencari Juru Dongeng hingga mempertemukannya dengan Noriko. Noriko pun tak ragu mengatakan keinginan yang sama: mencari Juru Dongeng.

Pertemuan mereka di alam fana membuat Suryo dianggap seperti Majenun. Meski akhirnya mereka bertemu, benar-benar bertemu, di alam nyata dan empiris berkat bantuan Hanindyo dan Gendis. Gendis keponakan Suryo, sementara Hanindyo teman Suryo. Jadi, memang sepantasnya mereka berdua membantu Suryo, si Majenun.

Wajah khas Noriko lantas membuat Suryo menaruh rasa tak biasa. Suryo yakin, seyakin-yakinnya kalau dia jatuh cinta pada gadis Jepang itu. Sementara Noriko sebenarnya sedang berada di posisi “antara”. Antara masa lalunya, yaitu Katsuo, dengan masa sekarangnya, yaitu Suryo. Keduanya terkagum kepada Juru Dongeng. Tentang apa pun yang sifatnya nirlogis, ambigu, abstrak, tetapi nyata dan memang sedang terjadi.

Noriko bisa ke Indonesia berkat bantuan Pingkan. Ketertarikannya terhadap budaya Jawa melandasi Noriko datang ke Solo. Sekaligus menemani Ibunda Pingkan, Hartini, yang tinggal di rumah seorang diri. Selebihnya adalah urusan Juru Dongeng. Hingga berjumpa Suryo dan berakibat adanya cerita ini. Atau bertemu Gendis, atau Hanindyo.

Noriko menceritakan hal-hal yang tengah di rasakannya. Tentang Katsuo, tentang ayah dan ibunya, tentang Suryo, dan paling dahsyat tentang cinta pertama. nDis, percayakah kau pada indahnya cinta pertama? Pertanyaan yang selalu terlisan dari mulut Noriko dan terdengar oleh telinga Gendis. Pertanyaan berubah menjadi pernyataan karena memang tak memerlukan jawaban.

Atas segala kuasa Juru Dongeng, lagi-lagi mereka kesemuanya menjadi wayang atau peraga. Otoritas sepenuhnya di bawah kendali Juru Dongeng. Bermulanya dari kisah antara Noriko dan Hanindyo. Keduanya saling mengucap perasaan di bibir Pantai Okinawa.

Tidak adakah dongeng yang selesai, Tuan? Sapardi memakai kalimat itu sebagai kalimat terakhir buku ini. Buku yang lebih tepat diberi judul segi enam: Suryo, Noriko, Gendis, Hanindyo, Tia, Wayan. Kadar kerumitan cinta remaja yang cukup tinggi. Mereka terlalu mudah menuduh diri sendiri “jatuh cinta”, pun terlampau mudah mengalihkan cinta itu dari satu orang ke orang lain.

*Identitas Buku :

Judul Buku      : Segi Tiga

Penulis             : Sapardi Djoko Damono

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Cetakan           : Pertama, Maret 2020

Tebal               : 320 halaman

ISBN               : 978-602-06-3924-6

Sampul            :

*Resensi buku ini telah dimuat di Koran Jawa Pos Edisi Ahad, 28 Juni 2020 (dw)

 

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV