Wiji Thukul: Khutbah Hari Raya, dari Orang Desa, untuk Orang Desa

Oleh: Aris Widodo

Berikut adalah outlines khutbah sederhana, untuk hari raya. Karena khitbah, eh khutbah ini oleh orang desa, dan juga untuk orang desa, maka materinya coba disinkronkan dengan audiens-nya, yaitu (sebagian) para petani sebagai “mukhatab”-nya.

Mengingat penulisnya orang desa “nanggung”, saran dan masukan konstruktif diharapkan dari sidang pembaca.

Wiji Thukul

Hari Raya Idul Fitri, pada dasarnya adalah merayakan “wiji thukul” (tumbuhnya bibit) kebaikan dalam diri manusia. Mengapa demikian? Karena bulan Ramadan merupakan bulan penanaman-persemaian bibit tersebut.

Dalam proses menanam pada umumnya, kita ketahui ada tahap, di antaranya, “membersihkan” dan mengolah lahan, kemudian memasukkan bibit ke “lobang” di lahan yang telah tersedia tersebut, dan selanjutnya “mengubur” bibit itu dengan timbunan tanah.

Begitu pula dengan puasa di bulan Ramadan: bibit kebaikan itu telah tersedia (فطرة الله التى فطر الناس عليها). Namun bibit ini perlu di-tumbuh-kembangkan, dengan “pacul”. Pacul, dalam tahap proses menanam adalah: “ngipatake barang kang muncul,” alias berbagai sifat negatif yang mau bersifat dominan.

Dalam konteks ini, puasa “membersihkan” diri dari sifat-sifat negatif, dengan cara menahan-diri dari nafsu (sering diteriakkan: imsaaaaak).

Selanjutnya, setelah dibersihkan “lahan diri” dari sifat-sifat negatif, “bibit-fitrah” yg telah tersedia dimasukkan ke lahan-penanaman, atau “ditanam”. Ketika ditanam itu, jangan lupa bibitnya “dikubur”, agar bibitnya tidak “dithothol pitik” (dimakan ayam). Proses “mengubur” ini penting, sebagaimana ungkapan yang sudah sering kita dengar dalam kitab al-Hikam:

“Timbunlah dirimu di tanah tak-dikenal, karena apa sahaja yang tumbuh dari yang tidak ditimbun, tidak sempurna hasilnya” (ادفن وجودك فى ارض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه). Proses “penguburan” diri ini sangat tampak dalam puasa, karena tidak ada yang mengetahui puasanya, kecuali Tuhan, sehingga “Aku sendiri yg akan memberi balas padanya” (و انا اجزي به).

Jika bibit telah ditanam dan “ditimbun”, maka kita bisa mulai berharap, akan munculnya bibit yang tumbuh. Tapi, untuk tumbuhnya bibit itu membutuhkan “hujan”. Untuk itulah, bulan Ramadan “menghujani” kita dengan “rahmah, barakah, dan ‘itq minan-nnar”, seumpama tanah yang awalnya kering, kemudian tumbuh bibit menyembul ke permukaan (و ترى الأرض هامدة، فاذا انزلنا عليها الماء اهتزت و ربت).

Dan jangan lupa, terkadang bibit itu bisa rusak oleh hama dll, maka kita perlu “membersihkannya dan menyuburkannya”. Di sinilah peran zakat fitrah, yang ditengarai Kanjeng Nabi sebagai “pembersih bagi yang puasa dan pemberian makan bagi si miskin” (طهرة للصائمين، وطعمة للمساكين).

Jika bibit telah tersedia, juga telah ditanam dan ditimbun di tanah, sudah disirami dengan “hujan”, maka “semburat warna hijau” dari “wiji thukul” itu pantas kita rayakan. Mudah-mudahan, wiji thukul itu bisa menjadi pohon yang rindang (ngregayang), dan menghasilkan buah-buahan saat panen tiba (كشجرة طيبة، اصلها ثابت، وفرعها فى السماء).

Kapan saat panen tiba? Saat bertemu dengan hadirat-Nya (و فرحة عند لقاء ربه). Semoga, kita semua bisa memanen wiji thukul yang telah ngregayang ini, pada saatnya nanti. Amin… Itulah kemenangan, dan keberuntungan (al-falah), bagi para petani (al-fallah), yang menanam bibitnya.

#Selamat Idul Fitri kawan semua, minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf zahir bathin.

Aris Widodo, Dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta. Artkel ini disarikan dari Khutbah Idul Fitri yang disampaikan di Masjid Umar bin Khatab, Munggung, Baturetno pada 1 Syawal 1440 H/5 Juni 2019.

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV