Kabinet Gemuk Presiden Prabowo: Begini Pendapat Ilmiah Direktur PUSKOHIS Fakultas Syariah UIN Surakarta

Oleh:
Ahmad Muhamad Mustain Nasoha
(Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta)

Pada tanggal 21 Oktober 2024, sebanyak 109 pejabat, yang terdiri dari menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga negara, akan dilantik oleh Presiden Indonesia ke-8, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Datuk Seri H. Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, selaku Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta serta dosen ahli dalam bidang Hukum Tata Negara, mengutip pendapat Jean Bodin, seorang pakar hukum administrasi negara dari Prancis, menyatakan bahwa pemerintahan yang efektif adalah pemerintahan yang berhasil mencapai keseimbangan antara ukuran kelembagaan dan efisiensi birokrasi. Dalam konteks kabinet Prabowo Subianto untuk periode 2024–2029, yang mencakup 48 menteri, lima kepala lembaga, dan 56 wakil menteri, jumlah ini tergolong besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan negara, terutama dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik.

Menurut Mustain Nasoha, kabinet yang berukuran besar dapat menghadirkan beragam tantangan terkait efektivitas birokrasi. Montesquieu seorang pemikir filsafat sosial, politik dan hukum, dalam teorinya tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers), menekankan pentingnya struktur pemerintahan yang tidak hanya berorientasi pada jumlah, tetapi juga pada peran strategis dari masing-masing lembaga. Dalam konteks kabinet yang besar, terdapat risiko konflik tugas dan panjangnya jalur koordinasi antar lembaga, yang berpotensi menghambat fungsi-fungsi pemerintahan yang seharusnya beroperasi secara sinergis.

Lebih jauh, Mustain Nasoha menyatakan bahwa teori efisiensi birokrasi yang dikemukakan oleh Max Weber dari Berlin menunjukkan bahwa struktur pemerintahan yang ideal harus memiliki sistem hierarki yang jelas. Dengan adanya kabinet yang gemuk, terdapat potensi untuk menciptakan tumpang tindih kewenangan (overlapping authority), yang pada gilirannya dapat memperlambat respons terhadap isu-isu nasional yang mendesak. Tumpang tindih ini dapat mengarah pada inefisiensi dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan kebijakan yang seharusnya tanggap terhadap kebutuhan masyarakat.

Dari perspektif positif, kabinet yang besar, sebagaimana diuraikan oleh Herbert Simon seorang American political scientist and economist dalam teorinya tentang bounded rationality, memiliki kemampuan untuk menjangkau beragam sektor dan kepentingan. Di Indonesia, ukuran kabinet yang besar dapat dipandang sebagai langkah untuk memberikan representasi yang lebih luas dari berbagai daerah dan golongan politik. Dengan demikian, pembagian tugas yang lebih terperinci diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan publik.

Namun, kelemahan dari kabinet yang gemuk tidak dapat diabaikan. Teori kelembagaan hukum menunjukkan bahwa kabinet yang berukuran terlalu besar sering kali tidak proporsional dengan kebutuhan riil administrasi negara. Akibatnya, negara harus menghadapi inefisiensi birokrasi yang dapat berdampak negatif terhadap kinerja dan efektivitas pelayanan publik. Lebih lanjut, kabinet yang besar dapat memperburuk fenomena klientelisme, di mana posisi menteri digunakan untuk memenuhi kepentingan politik tertentu alih-alih untuk kepentingan publik secara lebih luas.

Mengacu pada pendapat Herbert A. Simon, Mustain Nasoha menekankan bahwa ukuran kabinet seharusnya tidak hanya fokus pada kuantitas, tetapi juga pada fungsi strategis. Pemerintahan yang efektif memerlukan kabinet yang efisien dalam membagi tugas dan fungsinya secara spesifik dan terukur. Dalam konteks ini, kementerian-kementerian inti seperti keuangan, pertahanan, pendidikan, dan kesehatan perlu mendapat prioritas, sementara kementerian yang bersifat teknis dan sektoral sebaiknya diintegrasikan untuk mengurangi fragmentasi kewenangan yang ada.

Sebagai perbandingan, beberapa negara dengan populasi besar namun memiliki kabinet yang lebih ramping dapat dijadikan contoh. Brasil, misalnya, memiliki 37 menteri yang fokus pada pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan publik. Demikian pula, negara-negara tetangga seperti India, yang memiliki 29 menteri, mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan sosial dengan struktur yang disederhanakan untuk merespons kebutuhan masyarakat secara langsung.

Dalam konteks negara-negara lain yang memiliki populasi dan dinamika sosial yang mirip dengan Indonesia, terdapat pendekatan yang lebih ramping tetapi tetap efektif. Amerika Serikat, dengan hanya 15 menteri yang bekerja di bawah presiden, memfokuskan departemen mereka pada sektor-sektor strategis seperti pertahanan, keuangan, dan keamanan dalam negeri. Sementara itu, Jerman, yang menerapkan sistem parlementer, memiliki 16 menteri yang berfokus pada sektor utama seperti pendidikan, ekonomi, dan lingkungan.

Terdapat juga contoh negara lain yang memiliki kabinet besar dan berhasil menjalankan pemerintahan secara efektif, seperti India. Dengan sekitar 40 menteri, India mampu menghadapi tantangan administratif dan politik yang kompleks. Beberapa poin yang menunjukkan keberhasilan India dalam mengelola kabinet yang besar adalah: 1) Kementerian di India dikelompokkan ke dalam dua kategori: Menteri Kabinet dan Menteri Negara, dengan pembagian tugas yang jelas; 2) Setiap kementerian memiliki fungsi dan tanggung jawab yang diatur dalam kerangka hukum yang jelas, mencegah tumpang tindih kewenangan; 3) Prinsip desentralisasi kekuasaan memberikan otonomi kepada pemerintah daerah untuk menangani isu-isu lokal; 4) Reformasi kebijakan dan penggunaan teknologi informasi meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengambilan keputusan.

Ada harapan yang besar dari seluruh rakyat Indonesia bahwa Kabinet Merah Putih yang dibentuk oleh Presiden Prabowo dapat menjawab tantangan masa depan Indonesia menuju negara yang semakin maju dan makmur. Dalam konteks ini, Friedrich Hayek, melalui teori responsibilitas kelembagaan, menekankan bahwa ukuran kabinet harus ditentukan berdasarkan fungsi pelayanan publik yang jelas, bukan pada kuantitas posisi atau jumlah lembaga yang ada. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, meskipun memiliki populasi besar dan ekonomi yang kuat, memilih untuk memiliki struktur kabinet yang relatif kecil dan efisien, namun tetap fokus pada peningkatan kualitas layanan publik dan stabilitas ekonomi.

Menurut Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, dalam perspektif hukum tata negara, keberadaan kabinet yang gemuk di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto mencerminkan upaya untuk membangun pemerintahan yang inklusif dan representatif. Namun, dari sudut pandang teori efisiensi kelembagaan, keberadaan birokrasi yang besar berisiko menimbulkan lambannya pengambilan keputusan serta membebani anggaran negara. Oleh karena itu, untuk memastikan pemerintahan yang efektif dan responsif, Indonesia perlu menyeimbangkan antara representasi politik dan efisiensi kelembagaan. Pembelajaran dari negara-negara lain yang mampu menciptakan kabinet yang ramping namun tetap fungsional merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dan pelayanan publik di tanah air.

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV