Pendapat Direktur PUSKOHIS Fakultas Syariah Tentang Polemik Revisi RUU PILKADA 2024

FASYA-Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan pengesahan RUU Pilkada akan dibatalkan dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada akan diterapkan. Beliau menegaskan, pendaftaran calon kepala daerah pada Pilkada 27 Agustus 2024 akan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya hari ini amandemen UU Pilkada tidak dilaksanakan, kata Sufmi Dasco dalam jumpa pers, Kamis malam (22/8).
Walaupun DPR RI telah membatalkan Revisi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) 2024, bagaimanapun juga RUU Pilkada ini adalah momen penting dalam penguatan demokrasi di tingkat lokal di Indonesia. Pendekatan dalam revisi ini tidak hanya harus mempertimbangkan konteks lokal, tetapi juga dapat diuntungkan dengan mengacu pada perspektif global dan perbandingan hukum dari berbagai negara yang memiliki tradisi demokrasi yang kuat.
Berikut ini Pendapat Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H., M.A. (Gus Mustain) selaku Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.
Menurutnya, kedepan jika akan melakukan Revisi RUU Pilkada sebaiknya Pemerintah dalam hal ini DPR perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Revisi RUU Pilkada harus Mengutamakan prinsip Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam konteks Pilkada, transparansi dan akuntabilitas adalah cerminan dari keadilan prosedural, di mana semua pihak yang terlibat dalam proses pemilihan diperlakukan secara adil dan setara. Penulis buku A Theory of Justice sekaligus pakar filsuf dari Amerika Serikat yaitu John Rawls, mengemukakan pentingnya prinsip keadilan sebagai dasar dari sistem hukum yang efektif. Mengacu pada prinsip Rawls ini, maka revisi RUU Pilkada harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu pun pihak yang merasa dirugikan oleh ketidaktransparanan atau kekurangan dalam akuntabilitas sistem.
Menurut Pakar Hukum dari Amerika Serikat Mr. Lon Fuller, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang diterapkan secara konsisten dan dapat diprediksi. Untuk itu, pemerintah harus memastikan bahwa seluruh aturan dalam RUU Pilkada dirancang untuk diterapkan secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia, tanpa adanya diskriminasi atau pengecualian yang tidak adil. Melibatkan semua unsur masyarakat penting untuk menghasilkan UU Pilkada yang baik.

2. Revisi RUU Pilkada harus memperhatikan Perbandingan Hukum Internasional
Dalam banyak sistem hukum dunia, seperti di Kanada dan Selandia Baru, kebijakan afirmatif diterapkan untuk memastikan keterwakilan yang setara bagi kelompok-kelompok minoritas dan masyarakat adat dalam proses politik. RUU Pilkada dapat mengadopsi prinsip-prinsip ini dengan memperkuat pengaturan yang mendorong partisipasi perempuan, masyarakat adat, dan kelompok marginal lainnya.
Sebagai contoh lain adalah Negara Selandia Baru telah lama mengakui pentingnya representasi suku Maori dalam parlemen mereka, sebuah pendekatan yang dapat menjadi inspirasi untuk meningkatkan representasi kelompok minoritas dalam Pilkada di Indonesia. Demikian pula, Negara Kanada telah menerapkan berbagai kebijakan untuk memastikan bahwa masyarakat adat memiliki suara dalam pemerintahan lokal, sebuah prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan dalam revisi RUU Pilkada di Indonesia sehingga asas kesejahteraan dan pemerataan seluruh Indonesia bisa tercapai.

3. Revisi RUU Pilkada perlu menyelaraskan dengan Dinamika Politik Nasional
Menurut Hans Kelsen, seorang ahli hukum Austria, hukum konstitusional adalah fondasi dari sistem hukum yang efektif. Dalam konteks revisi RUU Pilkada, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa perubahan ini sejalan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip dasar negara. Revisi RUU Pilkada harus dirancang agar tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta mempertahankan kesatuan hukum nasional.
Di Jerman, konsep Rechtsstaat (negara hukum) menekankan pentingnya supremasi hukum dan hak-hak dasar dalam setiap peraturan perundang-undangan. Prinsip ini dapat diadopsi dalam RUU Pilkada untuk memastikan bahwa hak-hak dasar warga negara, termasuk hak memilih dan dipilih, dijamin sepenuhnya dan tidak dibatasi oleh ketentuan yang diskriminatif atau tidak proporsional.

4. Revisi RUU Pilkada perlu meniru Model Demokrasi Deliberatif
Seorang filsuf Jerman Jürgen Habermas mengatakan bahwa demokrasi deliberatif adalah model di mana keputusan politik dibuat melalui diskusi publik yang rasional dan inklusif. Pemerintah Indonesia dapat menerapkan prinsip ini dalam proses revisi RUU Pilkada dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam diskusi dan penyusunan kebijakan. Partisipasi publik yang luas akan memastikan bahwa RUU Pilkada mencerminkan aspirasi dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elit politik saja.
Melihat situasi negara ini bahwa revisi RUU Pilkada mendapatkan perhatian luas dari berbagai kalangan, penolakan terjadi dimana-mana, mereka menginginkan putusan MK tetap dijalankan. Demonstrasi yang telah memiliki kepastian hukum dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum terjadi dimana-mana.

Dalam menghadapi polemik terkait Revisi RUU PILKADA 2024, dari paparan argumentasi di atas menurut saya ada beberapa langkah penting yang sebaiknya diambil oleh pemerintah, khususnya DPR RI, demi menjaga stabilitas demokrasi dan kepercayaan publik. Pertama, sudah tepat DPR RI membatalkan untuk sementara revisi RUU Pilkada, penting bagi DPR RI untuk terlebih dahulu memperluas ruang dialog dan partisipasi dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat, termasuk akademisi, aktivis, dan tokoh masyarakat. Langkah ini akan memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, bukan sekadar keputusan segelintir pihak. Kedua, dalam setiap revisi yang dilakukan, DPR RI harus menegakkan prinsip keadilan dan transparansi. Perubahan yang dilakukan harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan, dengan memastikan bahwa mekanisme yang diatur dalam RUU tersebut adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa adanya transparansi, revisi ini berisiko menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik. Terakhir, DPR RI harus selalu mengutamakan kepentingan jangka panjang bangsa di atas kepentingan politik sesaat. Revisi RUU PILKADA sebaiknya dirancang untuk mendukung stabilitas dan kualitas demokrasi dalam jangka panjang, memastikan bahwa proses pemilihan kepala daerah berjalan lancar dan mencerminkan kehendak rakyat. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan polemik terkait RUU PILKADA dapat diselesaikan dengan cara yang konstruktif dan mendukung kemajuan demokrasi di Indonesia. (Gus Mustain)

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV