FASYA-Kamis (08/04/2021) Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah IAIN Surakarta mengawali Diskusi Dosen Bulanan edisi perdana tahun 2021 dengan topik kekinian, yakni ‘Fikih Bencana dalam Fatwa Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’ dengan menghadirkan Dr. Farkhan, M.Ag. sebagai narasumber. Tema diskusi ini diangkat dari naskah disertasi pak Farkhan dan bermaksud mengkomparasi ‘logika Fikih’ kebencanaan yang dirumuskan dua organisasi massa (ormas) Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Tema kebencanaan memang selalu penting didiskusikan. Menurut pak Farkhan, tema ini relevan diangkat mengingat Indonesia secara geografis merupakan kawasan yang rawan bencana. Sebut saja bencana ‘alami’ seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, kekeringan, dan bencana ‘tak alami’ seperti longsor dan banjir akibat illegal logging (penebangan liar) dan buruknya drainase di perkotaan dan pedesaan.
Menurut pak Farkhan, Muhammadiyah yang bergaya reformis sejatinya sangat rasional dalam memandang hubungan antara realita kebencanaan dalam relasinya dengan teks-teks keagamaan. Artinya, kebencanaan tidak bisa disimpulkan secara klise, misalnya, dengan anggapan bahwa ‘Tuhan sedang murka kepada umat manusia’ atau ‘bencana ini terjadi karena kurang relijiusnya sebuah komunitas manusia’.
Sementara dari sisi Nahdlatul Ulama, pak Farkhan menilai jika hal-hal empiris dan rasional juga dijadikan patokan organisasi yang dikenal sebagai ‘tradisionalis’ ini. Namun, sejauh pengamatan pak Farkhan, hal ini tidak konsisten dilakukan Nahdliyyin (simpatisan dan anggota resmi Nahdlatul Ulama). Buktinya, masih ada narasi di sebagian kalangan Nadliyyin yang menghubungkan terjadinya bencana sebagai ulah manusia. Begitu pentingnya narasi kausalitas kebencanaan ini sampai-sampai para khatib di kalangan Nadliyyin diminta untuk tidak menghubungkan terjadinya bencana sebagai ulah manusia setempat yang bermaksiat. Di titik ini, NU dianggap tidak sekonsisten Muhammadiyah.
Sebagaimana dikutip dari kesimpulan disertasi pak Farkhan (hlm. 79), perbedaan Fikih kebencanaan Muhammadiyah dan NU yang dikomparasi dari sisi epistemologi Islam (Bayani, Burhani, dan Irfani) menghasilkan kesimpulan berikut ini:
(1) Pada Bayani, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama relatif setingkat dan seukuran; (2) Pada Burhani, Muhammadiyah lebih dalam dibanding Nahdlatul Ulama, dan (3) Pada Irfani, baik muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama tidak tampak menggunakannya.
Kesimpulan dan uraian pak Farkhan tentu tak rentan kritik. Para peserta dosen yang berlatar belakang aktivis kedua ormas Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama turut memberi masukan sekaligus kritik yang membangun, utamanya jika naskah disertasi ini hendak dilanjutkan ke jenjang penebitan.
Salah satu kritik tajam disampaikan M. Latif Fauzi, kandidat doktor Universitas Leiden, yang secara khusus ‘meminta’ pak Farkhan membenturkan teks-teks fatwa Nahdlatul Ulama dengan logika kefatwaan yang selama ini dipegangi Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Nadhlatul Ulama. Latif menilai, mustahil tidak terjadi evolusi atau disrupsi di kalangan internal LBM Nadhlatul Ulama dan di Nadhlatul Ulama secara umum, begitu juga di internal Majlis Tarjih Muhammadiyah dan di Muhammadiyah secara umum. Latif menilai perlunya mengedepankan self assesment bergaya antropolog dan fenomenolog saat meneliti, sehingga yang terjadi adalah bukan ‘kita yang menilai’ melainkan ‘fakta yang berbicara mewakili dirinya’.
Sebagaimana potongan lirik lagu, ¬‘tak ada yang manusia, yang terlahir sempurna’, demikian pula sebuah riset. Maka, tak ada riset yang tak rentan kritik. Itulah mengapa proses diseminasi riset dan ilmu pengetahuan selalu urgen dan krusial dilakukan. Melalui diseminasi, the unthinkable selalu hadir dan kelak memperkaya sebuah riset.
Semoga Diskusi Dosen Bulanan di Fakultas Syariah IAIN Surakarta konsisten menghadirkan diskusi berbobot untuk kita semua. Semoga ikhtiar akademik ini sanggup berevolusi dari waktu ke waktu secara sempurna, sesempurna mekarnya ‘bunga Anggrek yang ku sayang’, lagu yang dipopulerkan Emilia Contessa dan Broery Marantika. (afd)