FASYA-Senin (31/05/2021) Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta mengawali Diskusi Dosen Bulanan usai perayaan Lebaran 1442 H dengan topik yang jarang dibicarakan khalayak ramai, yaitu dunia tenaga kerja wanita (TKW). Narasumber Betty Eliya Rokhmah, S.E., M.Sc., dosen Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf, mengambil fokus kehidupan TKW di bidang enterpreneurship (wirausaha) sekembalinya dari perantauan di luar negeri.
Jamak diketahui bahwa bekerja sebagai perantauan, lebih-lebih di luar negeri, selalu berimplikasi serius pada kehidupan keluarga (bisa positif dan negatif). Ada kisah pilu tentang anak-anak yang kehilangan kasih sayang salah satu atau kedua orang tua yang merantau. Ada juga kisah pengkhianatan cinta salah seorang pasangan karena merasa kesepian dan memilih jalan pintas dengan berselingkuh. Ada juga kisah bahagia keluarga yang mendadak menjadi kaya raya karena suplai dana melimpah salah satu anggota keluarga yang merantau. Lalu, ada juga kisah bahagia diikuti pilu, di mana terjadi transformasi besar-besaran dalam keluarga dari kehidupan kaya raya (saat ada yang merantau) menjadi miskin dan kekurangan (saat tak ada lagi yang merantau).
Penelitian bu Betty fokus pada aspek motivasi para mantan TKW untuk berwirausaha usai menjalani perantauan di luar negeri. Mengambil kabupaten Grobogan (tepatnya di dusun Wedoro, desa Wedoro, kecamatan Penawangan) sebagai objek kajiannya, penelitian ini boleh jadi merefleksikan secara umum keadaan mantan TKW yang menjalani wirausaha usai perantauan.
Ada beberapa temuan yang dapat disampaikan meski penelitian ini belum final. Pertama, semangat/moitivasi berwirausaha para mantan TKW tidak muncul dari dalam diri mereka. Temuan di lapangan menyatakan bahwa alasan mereka berwirausaha karena dorongan komunitas mantan TKW yang diinisiasi organisasi non-pemerintah bernama Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (disingkat LRC-KJHAM).
Menurut bu Betty, organisasi LRC-KJHAM memiliki visi agar para perempuan yang terlibat dalam jejaring perantauan di luar negeri mendapatkan pendampingan berbasis hukum (termasuk edukasi hukum) dan kewirausahaan yang memadai. Selain sebagai edukasi alternatif mengingat rendahnya pendidikan formal yang ditempuh para TKW, apa yang diinisiasi organisasi non-pemerintah jelas membantu mengurangi cerita-cerita pilu para ‘pahlawan devisa’ kita selama di luar negeri dan pasca kepulangan mereka ke Indonesia.
Kedua, rendahnya pendidikan menjadi sebab tidak sinkronnya jalur investasi personal yang ditempuh para mantan TKW. Menurut bu Betty, banyak di antara TKW yang lebih memilih membeli aset mati (tanah dan rumah) alih-alih memanfaatkan dana tabungannya untuk modal usaha. Sekalipun dihantui kegagalan, membuka usaha merupakan salah satu cara terbaik untuk menggandakan pendapatan atau setidaknya untuk bertahan hidup.
Yang menyedihkan, menurut bu Betty, adalah kecenderungan lebih dipilihnya opsi ‘menikmati dana hingga benar-benar habis’ dibanding ‘menyiapkan bisnis selagi punya dana’. Fakta ini jelas mengejutkan. Meski begitu, penyimpulan bahwa hal semacam ini terjadi dikarenakan rendahnya pendidikan (meski terlalu tendensius) juga tak kalah mengejutkan.
Namun, justru di sinilah bagian paling krusial dari analisis penelitian ini. Keterbukaan terhadap informasi dan keberterimaan terhadap pendidikan (yang tidak direduksi hanya dalam ‘pendidikan di sekolah formal’) nyatanya sanggup menggerakkan para mantan TKW untuk berwirausaha dan barangkali bisa survive lebih lama.
Yang patut ditunggu dari penelitian bu Betty ini adalah, “Sejauh mana peran dan keterlibatan organisasi non-pemerintah dalam jejaring mantan dan calon TKW? Mampukah mereka menggantikan peran negara merealisakan sila kelima Pancasila yang berbunyi ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’?” Kita tunggu hasil akhirnya. Wallaahu a’lam. (afd)