Public Lecture di NUS (Catatan pinggir penyaji)

Public Lecture di NUS
(Catatan pinggir penyaji)

img-20170814-wa0000

Oleh: Aris Widodo (Penyaji, Dosen Syariah IAIN Surakarta)

Alhamdulillah, akhirnya tunai sudah kemarin saya menyampaikan kuliah umum atau public lecture yang di-arrange oleh Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS). Meminjam ungkapan Didi Kempot, “plong rasane njero dadaku”, mengingat saat sarapan bareng Dr. Azhar Ibrahim, aku sempat dibayangi keraguan tentang kemampuanku menyampaikan kuliah umum itu.

Keraguanku itu bersumber dari jadwal narasumber yang memberi public lecture di tempat tersebut. Aku mengira, Prof Syafi’i Ma’arif itu jadwalnya di bulan sesudahku, ternyata justru sebelumnya, bahkan untuk tahun ini, intelektual prolific yang akrab dipanggil Buya Syafi’i itu justru yang pertama, disusul profesor dari Malaysia, dan profesor Singapura, kemudian aku.

Kehadiran Prof. Syafi’i sebagai narasumber pertama tahun ini, tentu saja menambah beban mental untukku, karena khawatir akan “njomplang”: dari narasumber level internasional ke aku yang baru level inter-lokal. Beban itu semakin berat, ketika sebelum acara dimulai, aku ngobrol ringan dengan penyair “cik gu” Latif, yang ternyata kawan seangkatan WS Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri, yang sering “main” di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Blaik, lha nanti yang akan aku sampaikan materi apa, kalau audiens-nya sudah senior seperti itu. Mau nyampaikan tasawuf Hamzah Fansuri atau Nuruddin ar-Raniri, tentu saja mereka sudah “kenyang”, padahal slide sejumlah 83 halaman itu aku tujukan untuk level mahasiswa…

Memang mungkin salahku, tidak bertanya dulu ke Dr. Azhar tentang audiens yang akan menghadiri lecture-ku. Aku kira mahasiswa, ternyata mereka yang sudah senior, beberapa di antaranya professor, misalnya Prof Khadijah dan Prof Aishah, yang sempat ngobrol sebentar sebelum acara dimulai. Maka, menyampaikan materi tasawuf level dasar jelas tidak mungkin. Sebagai alternatif, slides power point yang aku siapkan itu aku sampaikan secara ringkas saja, dan langsung ke disertasi yang pernah aku teliti. Benar saja kata ungkapan, “engkau paling tahu dalam hal penelitianmu”.

Setelah aku menyampaikan lecture, dibuka sesi tanya jawab, yang ditanggapi oleh 9 penanya. Memang tradisinya tidak seperti di negara kita, yang hadir ke lecture itu yang memang betul-betul berminat, sehingga misalnya meskipun yang hadir “cuma” segelintir, tapi yang bertanya banyak.

img-20170814-wa0004

Dari sekian pertanyaan itu, yang paling aku sukai di antaranya pertanyaan Prof Khadijah, “Apakah Singapura juga berkontribusi dalam pengembangan tasawuf?” Yes, gumamku dalam hati, ini pertanyaan yang aku tunggu-tunggu. Aku pun menjawab, bahwa meskipun sempat beberapa kali transit di Singapor, tapi ini adalah kali pertama aku “berhasil” keluar dari bandara. Oleh karenanya, secara empiris, saya belum tahu jawabannya, tapi secara teoretis, saya baca di beberapa literatur, bahwa ada cabang Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Geylang Road Singapura, yang dipimpin Ustadz Ali.

Setelah selesai sesi tanya jawab, ternyata ada di antara audiens yang merupakan anggota tarekat tersebut di sini. Oleh karenanya, dia kemudian memberi arah di mana tempat tersebut. Namun, aku tidsk perlu pergi ke sana sendiri, karena ada yang bahkan bermurah hati mengantarku ke sana, yaitu Pak Idris, suami Prof Aishah. Walhasil, ada yg menangkap keinginanku untuk pergi ke tempat tarekat tersebut. Inilah yang aku maksud “pertanyaan yg aku tunggu-tunggu”…

img-20170814-wa0001

Setelah mengunjungi masjid tarekat tersebut, suami Prof Aishah tersebut mengajakku pergi “keliling-keliling kota…” (kayak lagu anak aja ya) sampai menjelang maghrib. Sebetulnya saya masih ditawari untuk keliling lagi, tapi saya sudsh “nyerah.” Akhirnya baru hari ini aku diantar lanjut keliling, termasuk ke dalam “belantara” kampus NUS. Setelah dirasa cukup, aku pun dianter ke bandara, untuk pulang ke pangkuan ibu pertiwi. Meski “cuma” tiga hari aku berada di negeri singa, aku tdk akan meratap seperti ungkapan dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyah, “wal’ainu bakiyah, lam tasyba’ an-nadhra…” (air mata berlinang, belum puas memandang…).

#Sayonara Singapura, moga kita masih bisa kembali bersua…[]

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV