Undang Ulama Besar dari 3 Negara, PUSKOHIS-HMPS HPI Fakultas Syariah UIN Surakarta Sukses Gelar Seminar Internasional

FASYA-Dalam upaya memperkukuh kajian hukum Islam di era modern, Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) dan HMPS HPI Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta kembali menghadirkan forum akademik bertaraf internasional melalui penyelenggaraan Internasional Seminar on Islamic Laws. Seminar bergengsi ini mengusung tema Fatwa and Ijtihad in the Globalization Era: A Study of Fiqh and Authority of Qiraat in Islamic Law Formation, yang bertujuan untuk menggali lebih dalam peran fatwa dan ijtihad dalam dinamika hukum Islam kontemporer, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perkembangan masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia.

Bertempat di Aula Fakultas Syariah UIN Surakarta, seminar ini berlangsung pada hari Senin, (24/03/2025), dari pukul 08.00 hingga 12.00 WIB, dan dihadiri oleh para akademisi, cendekiawan Muslim, serta ulama terkemuka dari berbagai negara. Dengan semangat keilmuan yang tinggi, acara ini menjadi panggung bagi diskusi intelektual mengenai bagaimana otoritas qiraat dalam hukum Islam dapat menjadi landasan bagi pembentukan fatwa dan ijtihad yang responsif terhadap kebutuhan zaman.

Sebagai forum akademik yang mengusung standar keilmuan tinggi, seminar ini diharapkan dapat menjadi wadah yang mempertemukan perspektif lintas budaya dan mazhab dalam memahami dinamika hukum Islam modern. Dengan menghadirkan pakar-pakar hukum Islam dari berbagai institusi ternama, diskusi yang digelar diharapkan tidak hanya memperkaya wawasan akademik, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam menguatkan peran fatwa sebagai solusi bagi berbagai persoalan keumatan di era globalisasi ini.

Seminar ini diawali dengan sambutan dari Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, S.H., M.H, M.A., selaku Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS), menekankan urgensi diskusi fikih dan otoritas qiraat dalam membangun pemahaman hukum Islam yang adaptif terhadap perubahan zaman.

“Relasi antara fatwa, ijtihad, dan qiraat bukan sekadar fenomena tekstual, tetapi juga konstruksi hermeneutis yang terus berkembang. Dalam konteks globalisasi, hukum Islam menghadapi tantangan epistemik yang menuntut rekonstruksi metodologi ijtihad agar tetap responsif tanpa meninggalkan otoritas tradisi keilmuan Islam. Oleh karena itu, diskusi ini menjadi signifikan dalam implementasi hukum yang lebih kontekstual,” ujarnya.

Beliau juga menegaskan bahwa keberagaman qiraat memiliki implikasi yuridis yang dapat memengaruhi formulasi fatwa dan interpretasi hukum Islam.

“Qiraat bukan hanya aspek linguistik, tetapi juga memiliki relevansi substantif dalam membentuk konstruksi hukum yang lebih fleksibel. Pemahaman ini membuka ruang bagi pengembangan ijtihad yang lebih holistik dan memungkinkan dialektika antara teks dan konteks dalam formulasi hukum Islam,” paparnya.

Beliau berharap seminar ini menjadi wadah bagi akademisi dan praktisi hukum Islam untuk terus mengkaji peran fikih, ijtihad, dan qiraat dalam menghadapi tantangan hukum Islam di era modern.

Dalam penutupan sambutannya, dia menjelaskan bahwa hari ini bertepatan 4 tahun berdirinya PUSKOHIS, PUSKOHIS selama empat tahun berdiri telah mengadakan 4 kali seminar Internasional, 17 seminar Nasional dan ratusan kali menjadi ahli di berbagai Lembaga negara seperti BNPT, Kepolisian, dan lain sebagainya.

Setelah sambutan Direktur PUSKOHIS, Seminar dilanjutkan dengan Keynote Speaker oleh Prof. Dr. Toto Suharto, M.Ag., selaku Rektor UIN  Surakarta. Dalam Keynote Speakernya, beliau menekankan pentingnya peran fatwa dan ijtihad dalam era globalisasi serta bagaimana otoritas qiraat dapat berkontribusi dalam pembentukan hukum Islam kontemporer.

“Saya mengapresiasi setinggi-tingginya atas terselenggaranya acara istimewa ini, terkhusus kepada Dosen Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, menurut saya di era globalisasi ini, tantangan yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks. Berbagai permasalahan baru yang muncul menuntut jawaban yang sesuai dengan prinsip syariah, namun tetap kontekstual dengan zaman. Oleh karena itu, fatwa dan ijtihad harus terus dikembangkan dengan metodologi yang matang, sehingga dapat menjawab persoalan umat tanpa kehilangan esensi dari ajaran Islam itu sendiri. Otoritas qiraat dalam hukum Islam juga menjadi aspek penting dalam memahami variasi pemahaman terhadap teks-teks suci yang dapat menjadi dasar bagi pengambilan keputusan hukum,” ujar beliau.

Selain itu, Prof. Dr. Muh. Nashirudin, S.Ag, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Surakarta, turut memberikan pemaparan mengenai tantangan dan peluang ijtihad di tengah perubahan sosial yang semakin kompleks.
“Ijtihad tidak hanya sebatas upaya intelektual, tetapi juga merupakan tanggung jawab ilmiah dan moral para ulama serta akademisi dalam memastikan hukum Islam tetap relevan. Dengan berkembangnya teknologi informasi, akses terhadap berbagai pemikiran keislaman semakin terbuka lebar. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara pemeliharaan tradisi keilmuan Islam yang otoritatif dengan kebutuhan hukum Islam yang lebih adaptif terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara berbagai pihak, baik akademisi, ulama, maupun praktisi hukum Islam untuk menghasilkan ijtihad yang komprehensif dan kontekstual, Saya mengucapkan terima kasih atas terselenggaranya acara luar biasa ini, khususnya kepada Dosen Ahmad Muhamad Mustain Nasoha. Saya berharap PUSKOHIS lebih banyak berkolaborasi dengan Lembaga-lembaga lain di Fakultas Syariah,” jelasnya.

Seminar ini semakin istimewa dengan hadirnya tiga ulama internasional yang memberikan wawasan mendalam mengenai fikih dan usul fikih dari perspektif global. Kehadiran mereka menambah bobot akademik dan memperkaya diskusi mengenai fatwa dan ijtihad dalam konteks globalisasi. Masing-masing ulama menyampaikan pemaparan yang berbobot dengan mengulas metodologi hukum Islam, otoritas qiraat, serta tantangan epistemologis dalam pengambilan hukum.

Dr. Syekh Adel Abdullah Al Hindi (Mesir) – Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Dalam pemaparannya, beliau menyoroti bahaya ekstremisme dalam berhukum, baik dalam bentuk rigiditas tekstual yang menutup pintu ijtihad maupun liberalisme hukum yang melemahkan otoritas syariat. Beliau menjelaskan bahwa dalam sejarah peradaban Islam, dua kutub ekstrem ini selalu menjadi tantangan dalam menjaga keseimbangan hukum Islam.

Beliau mengkritisi fenomena ta’assub madzhabi (fanatisme mazhab) yang berlebihan, yang menyebabkan sebagian kelompok menolak kebenaran pendapat lain meskipun memiliki dasar yang kuat. Di sisi lain, beliau juga memperingatkan bahaya ijtihad serampangan tanpa metodologi yang jelas, yang sering kali dilakukan oleh individu tanpa kapasitas keilmuan yang memadai. Dalam konteks ini, otoritas qiraat menjadi faktor penting dalam memahami teks syariat dengan lebih mendalam, karena perbedaan bacaan Al-Qur’an dapat memberikan variasi pemahaman terhadap dalil-dalil hukum.

Syekh Adel menegaskan pentingnya pemahaman maqashid al-shari’ah (tujuan syariat) dalam proses istinbat hukum agar tidak terjebak dalam pemahaman kaku yang mengabaikan maslahat. Beliau mencontohkan bagaimana metode qiraat tertentu memberikan alternatif dalam penyusunan fatwa yang lebih kontekstual dan sesuai dengan kondisi sosial-keagamaan yang terus berkembang. Dengan pendekatan hermeneutika fiqhiyah, beliau menguraikan bagaimana perbedaan qiraat dapat memperkaya spektrum ijtihad dan menghindarkan umat Islam dari pendekatan monolitik dalam berhukum.

Syekh Ali Bal Aidi (Yaman) – Pakar Fiqh dan Ushul Fiqh dari Yaman. Pakar Fiqih Yaman lulusan Universitas Imam Syafii, Hadramaut, Yaman dalam materinya berfokus pada . Dalam sesi diskusinya, beliau menyoroti konsep ijtihad, fatwa, dan fleksibilitas hukum Islam. Mengacu pada pendapat Al-Baihaqi, ia menjelaskan bahwa jumlah ayat hukum dalam Al-Qur’an hanya sekitar 500, sementara hadis hukum berjumlah sekitar 11.000, sehingga tidak semua permasalahan baru memiliki dalil langsung. Oleh karena itu, ijtihad menjadi sebuah keharusan dengan menggunakan metode seperti qiyas (analogi hukum), ijma’ (konsensus ulama), dan istihsan (diskresi hukum berbasis maslahat).

Beliau juga menjelaskan bahwa ijtihad bukan sekadar menukil dari kitab-kitab fikih klasik, melainkan sebuah usaha maksimal dalam menggali hukum syariat berdasarkan pemahaman yang komprehensif terhadap dalil-dalil hukum. Namun, ijtihad tidak dapat diterapkan pada hukum qath’i (pasti) seperti kewajiban salat dan keharaman zina. Ilmu ijtihad mencakup berbagai aspek, mulai dari sumber hukum (Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dll.), metode pemahaman hukum (kaidah ushul fikih), hingga syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid.

Dalam konteks fatwa, ia menegaskan perbedaan antara fatwa dan qadha’ (putusan hukum). Fatwa bersifat memberi panduan hukum tanpa paksaan, sedangkan qadha’ bersifat mengikat. Islam, menurutnya, bukanlah sistem hukum yang kaku seperti hukum sekuler, tetapi sebuah sistem yang berbasis pada kaidah universal yang fleksibel dalam penerapan. Hal ini terlihat dalam penerapan lima hukum taklifi: wajib, haram, makruh, mubah, dan mustahab, yang dapat mengalami perubahan berdasarkan ‘illat dan realitas zaman. Ia menekankan bahwa para ulama harus sangat berhati-hati dalam berfatwa karena setiap keputusan hukum akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana diingatkan oleh Umar bin Khattab dan Imam Ahmad.

Dr. Syekh Adil Ahmad Al Bahri (San’a) – Doktor Hukum Islam dan Syariah dari Universitas Sudan. Dalam pemaparannya, beliau mengulas dinamika fatwa kontemporer dan tantangan otoritas mufti dalam era modern. Dengan pendekatan fikih siyasah, beliau menjelaskan bagaimana fatwa dapat berfungsi sebagai instrumen hukum yang tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial dan politik yang dinamis.

Beliau memberikan contoh mengenai fatwa dalam ekonomi Islam, yang menuntut keseimbangan antara prinsip syariah dan tuntutan sistem ekonomi global. Salah satu tantangan utama yang beliau angkat adalah bagaimana fatwa harus mempertahankan prinsip-prinsip dasar syariah tanpa menghambat inovasi dan perkembangan ekonomi. Dalam hal ini, fatwa terkait kriptocurrency, artificial intelligence dalam transaksi muamalah, serta keuangan digital berbasis blockchain menjadi isu yang semakin relevan dalam perdebatan hukum Islam kontemporer.

Selain itu, beliau menyoroti peran lembaga fatwa internasional seperti Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam membentuk konsensus hukum Islam global yang dapat diterapkan dalam berbagai yurisdiksi hukum Islam di dunia. Menurutnya, kolaborasi antara ulama lintas negara menjadi kunci utama dalam menciptakan hukum Islam yang responsif terhadap perkembangan zaman, tanpa kehilangan nilai-nilai otentik dalam syariat Islam.

Ketiga ulama ini menegaskan bahwa fatwa dan ijtihad harus mampu menghadirkan solusi hukum yang kontekstual dan relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi, dengan tetap mempertahankan prinsip dasar syariat Islam. Mereka juga sepakat bahwa pengembangan hukum Islam tidak boleh terjebak dalam pendekatan tekstualis yang rigid, tetapi harus tetap terbuka terhadap konteks sosial, politik, dan budaya dalam rangka mewujudkan keadilan hukum Islam yang maslahat bagi umat. Diskusi yang mereka hadirkan memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana hukum Islam dapat terus berkembang secara dinamis, tanpa kehilangan akar tradisi keilmuannya.

Untuk menambah kekhidmatan acara, seminar ini juga diiringi dengan lantunan hadroh yang dibawakan oleh JQH UIN Surakarta, menciptakan suasana ilmiah yang tetap religius dan penuh makna.

Seminar ini menjadi wadah penting bagi para akademisi, mahasiswa, dan praktisi hukum Islam untuk mendalami peran ijtihad dan fatwa dalam pembentukan hukum Islam di era globalisasi. Diharapkan diskusi yang dihasilkan dapat memperkuat kajian fikih dan memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan hukum Islam yang lebih relevan dengan dinamika zaman.

Dengan antusiasme peserta yang tinggi, acara ini diharapkan menjadi langkah awal dalam memperkuat pemahaman fikih yang berbasis otoritas qiraat serta meningkatkan kualitas ijtihad dalam dunia Islam kontemporer. (Gus Mustain/Ed.AFz)

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV