Oleh:
Desta Atikasari (Hukum Keluarga Islam/242121029)
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Dengan jutaan pengguna di seluruh dunia, platform-platform ini menawarkan berbagai keuntungan, mulai dari kemudahan berkomunikasi hingga akses informasi yang cepat. Namun, ada satu sisi gelap yang sering kali luput dari perhatian banyak orang: dampak media sosial terhadap kesehatan mental. Hal ini menjadi perdebatan hangat di kalangan peneliti, psikolog, dan pengguna media sosial itu sendiri.
Salah satu dampak paling nyata dari media sosial adalah munculnya perbandingan sosial yang berlebihan. Ketika kita membuka aplikasi-aplikasi seperti Instagram atau Facebook, kita disuguhkan dengan gambar-gambar hidup yang tampak ideal dari kehidupan orang lain. Tidak jarang, kita terjebak dalam siklus membandingkan diri kita dengan apa yang ditampilkan oleh orang lain. “Mengapa hidupku tidak seindah mereka?” atau “Bagaimana mereka bisa mencapai semua itu?” adalah beberapa pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita. Pertanyaan-pertanyaan ini, meskipun tidak selalu diucapkan, dapat memicu perasaan tidak puas dan rendah diri. Perasaan ini bisa mengarah pada masalah yang lebih serius, seperti depresi dan kecemasan.
Selain itu, media sosial juga dapat menciptakan tekanan untuk selalu tampil sempurna. Banyak pengguna merasa perlu untuk selalu memperbarui status atau membagikan momen-momen terbaik mereka.
Padahal, tidak ada kehidupan yang selalu sempurna. Namun, ketika kita melihat orang lain selalu berbagi kebahagiaan dan keberhasilan, kita mungkin merasa terpaksa untuk menunjukkan sisi terbaik dari diri kita, bahkan ketika kita tidak merasa baik-baik saja. Tekanan ini bisa sangat melelahkan dan berpotensi merusak kesehatan mental kita. Kecanduan media sosial adalah isu lain yang tak kalah penting. Banyak dari kita menghabiskan berjam-jam scrolling di timeline, terjebak dalam dunia maya yang berwarna-warni. Kecanduan ini tidak hanya menguras waktu tetapi juga mengganggu interaksi sosial kita di dunia nyata. Ketika kita lebih banyak berkomunikasi melalui layar daripada bertatap muka, kita kehilangan kualitas hubungan yang sebenarnya. Koneksi yang seharusnya intim dan mendalam menjadi dangkal dan kurang bermakna. Hal ini dapat menyebabkan perasaan kesepian dan isolasi, yang merupakan faktor risiko utama untuk masalah kesehatan mental.
Media sosial dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama bagi kelompok tertentu . Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah remaja yang kerap mengalami gangguan mental atau perasaan kesepian, kecemasan, dan isolasi. Remaja sering mengalami gangguan mental akibat sosial media karena beberapa alasan, yaitu:
1. Kurangnya Interaksi Sosial Nyata, terlalu banyak waktu di media sosial dapat mengurangi kesempatan remaja untuk berinteraksi secara langsung dengan orang lain. Interaksi yang dangkal di media sosial tidak mampu menggantikan dukungan emosional yang bisa didapatkan dari hubungan di dunia nyata, sehingga bisa membuat mereka merasa kesepian atau terasing.
2. Tekanan untuk Tampil Sempurna, remaja merasa perlu menunjukkan citra yang “sempurna” di media sosial, baik dalam hal penampilan fisik, gaya hidup, maupun pencapaian. Tekanan ini bisa menimbulkan stres dan kecemasan karena mereka merasa harus selalu tampil menarik atau “diterima” oleh orang lain.
3. Fear of Missing Out (FOMO), remaja sering merasa takut ketinggalan atau tidak mengikuti tren dan aktivitas yang dilakukan teman-teman mereka. Rasa FOMO ini bisa menimbulkan kecemasan dan perasaan gelisah, terutama jika mereka melihat orang lain memiliki pengalaman yang tidak bisa mereka ikuti.
Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi alat untuk dukungan dan penguatan bagi banyak orang. Komunitas online sering kali memberikan ruang bagi individu yang merasa terasing untuk menemukan orang-orang yang berpikiran sama, berbagi pengalaman, dan mendapatkan dukungan. Misalnya, seseorang yang mengalami gangguan mental dapat menemukan komunitas yang siap mendengarkan dan membantu. Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai platform untuk berbagi informasi dan meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental. Dengan demikian, media sosial memiliki potensi untuk mendukung kesehatan mental jika digunakan dengan bijak. Namun, bagaimana kita bisa memanfaatkan aspek positif dari media sosial tanpa terjebak dalam dampak negatifnya? Kuncinya adalah kesadaran dan pengaturan penggunaan.
Pertama, penting untuk menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial hanyalah sebagian kecil dari kehidupan orang lain. Itu bisa menjadi sebuah ilusi. Mengingat hal ini dapat membantu kita mengurangi perbandingan sosial yang merugikan.
Kedua, kita perlu menetapkan batasan tentang berapa lama kita menghabiskan waktu di media sosial. Dengan menyisihkan waktu untuk beristirahat dari layar, kita dapat lebih fokus pada interaksi di dunia nyata, aktivitas fisik, dan hobi yang kita nikmati. Selain itu, kita juga bisa memilih untuk mengikuti akun-akun yang memberikan pengaruh positif. Alih-alih mengikuti akun yang membuat kita merasa tidak cukup baik, kita bisa mencari akun-akun yang berbagi pesan inspiratif, motivasi, dan dukungan. Dengan begitu, feed media sosial kita bisa dijadikan tempat yang lebih positif dan mendukung kesehatan mental kita. Juga, penting untuk berbicara tentang perasaan kita.
Jika kita merasa tertekan atau cemas akibat penggunaan media sosial, jangan ragu untuk mendiskusikannya dengan teman dekat atau profesional. Terkadang, berbagi pengalaman kita bisa membantu kita merasa lebih baik. Kita dapat belajar dari satu sama lain dan menemukan solusi untuk mengatasi perasaan negatif yang muncul akibat penggunaan media sosial.
Terakhir, edukasi tentang kesehatan mental harus menjadi prioritas. Sekolah, orang tua, dan masyarakat luas perlu menyediakan informasi yang tepat tentang dampak media sosial terhadap kesehatan mental. Dengan pengetahuan yang cukup, pengguna media sosial bisa lebih bijaksana dalam menggunakannya. Edukasi tentang kesehatan mental sangat penting di era digital ini, terutama terkait dampak media sosial. Sekolah, orang tua, dan masyarakat luas perlu memahami bagaimana media sosial bisa mempengaruhi kesehatan mental individu, khususnya remaja. Dengan menyediakan informasi yang akurat dan tepat, pengguna media sosial akan memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyikapi konten-konten di media sosial dengan lebih bijaksana.
Selain itu, dengan pemahaman yang baik, pengguna media sosial dapat lebih kritis dalam mengonsumsi konten dan menghindari perbandingan sosial yang tidak sehat. Edukasi ini juga bertujuan untuk membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara aktivitas di dunia maya dan dunia nyata. Dengan demikian, diharapkan para pengguna, terutama generasi muda, dapat menjaga kesehatan mental mereka di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi sumber pelarian dan dukungan, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi pemicu stres dan masalah kesehatan mental. Dengan kesadaran, pengaturan penggunaan, dan dukungan dari orang-orang di sekitar kita, kita dapat meminimalisasi dampak negatifnya. Mari kita gunakan media sosial dengan bijak, agar dapat memberikan kontribusi positif bagi kesehatan mental kita dan orang lain.