Oleh : Ahmad Muhamad Mustain Nasoha
(Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam)
Pembentukan Danantara sebagai Badan Pengelola Investasi (BPI) Indonesia menandai era baru dalam tata kelola investasi strategis nasional. Berlandaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025, entitas ini diharapkan mampu mengoptimalkan aset negara melalui skema investasi yang lebih terarah dan berbasis hukum yang kuat. Menurut Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, pembentukan Danantara merupakan implementasi nyata dari prinsip Pasal 33 UUD NRI 1945, yang menempatkan negara sebagai aktor utama dalam perekonomian guna menyejahterakan rakyat.
Dalam ekosistem holding BUMN keuangan, Danantara memiliki peran strategis sebagai instrumen hukum yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi alokasi modal serta mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi pada sektor-sektor prioritas. Sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pengelolaan investasi negara, Danantara diharapkan dapat memperkuat sinergi antar-BUMN dan menarik investasi asing guna meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Dengan model investasi berbasis hukum administrasi negara, mekanisme pengelolaan Danantara lebih fleksibel dibandingkan skema pembiayaan yang hanya bertumpu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dampak positif dari pembentukan Danantara sebagai Badan Pengelola Investasi (BPI) tidak dapat disangkal mencakup berbagai aspek fundamental dalam perekonomian dan hukum keuangan negara. Dari perspektif efisiensi pengelolaan aset negara, Danantara diharapkan mampu melakukan konsolidasi strategis terhadap berbagai aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) guna meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi. Dengan struktur kelembagaan yang lebih terpadu dan berbasis pada prinsip good corporate governance (GCG), holding ini juga berpotensi mengurangi redundansi birokrasi, yang selama ini menjadi salah satu kendala utama dalam optimalisasi pengelolaan keuangan negara. Redundansi birokrasi sering kali mengakibatkan moral hazard, di mana terjadi benturan kepentingan dalam pengambilan keputusan investasi.
Menurut Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, yang juga pengurus Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Tengah ini bahwa dalam konteks hukum investasi, Danantara harus beroperasi dengan mengacu pada asas legalitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang menjadi dasar yuridis atas pembentukannya. Prinsip legalitas ini mengacu pada perlunya kepastian hukum dalam setiap kebijakan investasi yang diambil, sehingga setiap keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan aset negara tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam praktiknya, legalitas ini juga berkaitan erat dengan prinsip fiduciary duty, di mana pengelola investasi negara memiliki tanggung jawab penuh untuk bertindak demi kepentingan publik dan bukan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Selain itu, model pengelolaan investasi yang lebih profesional diharapkan dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi bagi negara serta mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan konvensional, seperti utang luar negeri dan instrumen fiskal lainnya. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah diversifikasi investasi pada sektor-sektor strategis dan berkelanjutan, sehingga Danantara tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial semata, tetapi juga mempertimbangkan prinsip keberlanjutan (sustainability principle) dalam setiap keputusan investasinya. Dengan demikian, Danantara diharapkan mampu menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang tanpa mengorbankan stabilitas fiskal negara. Berbagai negara telah menerapkan model serupa dengan tingkat keberhasilan yang beragam. Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia menjadi contoh konkret bagaimana lembaga pengelola investasi negara dapat memainkan peran strategis dalam mendorong perekonomian nasional. Kedua entitas tersebut berhasil memperkuat ekonomi negara masing-masing melalui strategi investasi jangka panjang yang berbasis pada prinsip keadilan ekonomi dan kedaulatan ekonomi nasional. Dalam konteks Indonesia, Presiden Prabowo menegaskan bahwa pemerintah ingin meniru kesuksesan tersebut dengan tetap berpegang pada asas akuntabilitas hukum, sehingga setiap bentuk investasi yang dilakukan Danantara dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan tidak menimbulkan konflik kepentingan di kemudian hari.
Dengan mempertimbangkan prinsip due diligence dalam setiap pengambilan keputusan investasi, Danantara dapat menjadi instrumen yang lebih adaptif dalam menghadapi dinamika perekonomian global. Implementasi prinsip ini akan memungkinkan Danantara untuk menjalankan investasi yang berbasis pada manajemen risiko yang ketat, sehingga potensi kerugian akibat ketidakpastian ekonomi dapat diminimalkan. Dengan demikian, Danantara tidak hanya berfungsi sebagai holding keuangan semata, tetapi juga sebagai instrumen hukum dan ekonomi yang memiliki peran strategis dalam menjaga kedaulatan finansial negara.
Namun, di samping potensinya, pembentukan Danantara menghadapi berbagai tantangan hukum dan ekonomi. Salah satu tantangan utama adalah memastikan tata kelola (governance) yang baik agar Danantara tidak menjadi instrumen yang rentan terhadap moral hazard dan penyalahgunaan kewenangan. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara menjadi isu krusial yang harus mendapat perhatian serius. Selain itu, terdapat potensi praktik monopoli dalam sektor keuangan yang dapat menghambat kompetisi dan inovasi. Kritik juga muncul terkait kemungkinan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) antara Danantara dan kementerian teknis yang mengelola BUMN sektoral. Sejumlah ekonom menyoroti bahwa tanpa mekanisme pengawasan berbasis hukum perdata dan administrasi, Danantara bisa menjadi instrumen investasi yang lebih menguntungkan pihak tertentu dibandingkan kepentingan nasional secara luas.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan sejumlah langkah yang dapat memperkuat legitimasi hukum dan efektivitas ekonomi Danantara. Pertama, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar utama dalam pengelolaan investasi negara. Salah satu cara adalah dengan membentuk mekanisme audit independen yang secara berkala menilai kinerja dan kepatuhan badan ini terhadap prinsip tata kelola keuangan negara. Kedua, Danantara harus berorientasi tidak hanya pada keuntungan finansial, tetapi juga memperhitungkan pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekonomi dalam setiap keputusannya. Ketiga, peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi faktor kunci dalam memastikan Danantara dikelola oleh para profesional dengan keahlian di bidang hukum bisnis dan manajemen risiko.
Dengan mempertimbangkan peluang dan tantangan yang ada, pembentukan Danantara sebagai holding BUMN keuangan dapat menjadi langkah progresif dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional berbasis hukum yang kuat. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha dalam pidatonya berpendapat bahwa keberhasilan entitas ini sangat bergantung pada sejauh mana prinsip tata kelola hukum dan ekonomi diterapkan, serta bagaimana pemerintah mampu memastikan bahwa investasi yang dilakukan benar-benar memberikan manfaat bagi perekonomian nasional yang berkeadilan.