Oleh: Siti Kholifaturrahmah (HKI/242121015)
Pada zaman sekarang pelecehan seksual merupakan permasalahan yang sangat darurat dan sering kali menjadi topik pembicaraan masyarakat Indonesia. Masalah ini terjadi karena perkembangan zaman dan teknologi yang sangat luas, salah satunya ada Smartphone, Komputer, Laptop, Personal Digital Asisstent (PDA). Pelecehan seksual diawali dengan memanfaatkan platform digital, internet, game dan media sosial. Pelecehan seksual ini sangat mempengaruhi semua orang dari segala usia dan menimbulkan tantangan bagi Gen Z di Indonesia (Hasibuan et al., 2023).
Gen Z merupakan generasi yang lahirnya di tahun 1990 sampai 2010, bisa dibilang pertumbuhan Gen Z menggunakan gawai, internet dan media sosial yang masih sangat baru. Karakteristik Gen Z yaitu sangat sering menggunakan platform digital dan sosial media, membuat keputusan berdasarkan pemikiran yang mendalam dan kebenaran informasi yang didapatkan, sangat peduli terhadap isu-isu sosial, Gen Z juga memiliki cita-cita untuk memulai usaha sendiri dan lebih memilih fleksibel dalam karier mereka daripada mengikuti karier tradisional, kesehatan mental Gen Z sangat rendah memiliki kecemasan yang tinggi daripada generasi sebelumnya.
Faktor penyebab pelecehan seksual, di antaranya faktor internal yaitu peningkatan dorongan dan peminat seksual seseorang yang berada pada tahap perkembangan anak. Dan faktor eksternalnya yaitu pengaruh lingkungan seperti penjelasan materi pornografi, pengaruh teman, kurangnya pengawasan dan tidak ada pendidikan seksual dari orang tuanya (Ardianto, 2023). Menurut catatan akhir tahun Komnas Perempuan 2023, lembaga ini menerima 2.363 atau 34,80% aduan kekerasan seksual, yang mayoritas berstatus pelajar dan mahasiswa. Banyaknya angka korban disebabkan minimnya kesadaran kritis Gen Z terhadap literasi Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Bentuk kekerasan seksual digital yaitu pengiriman pesan dan gambar berisi konten seksual tanpa persetujuan korban (Sexting), penghinaan atau mengintimidasi korban secara seksual (Cyberbullying), memanipulasi anak atau remaja melalui internet untuk eksploitasi seksual (Groooming), penyebaran pornografi tanpa izin sebagai bentuk balas dendam (Revenge Porn).
Menurut sumber yang saya dapat dari penulis Fadhilah (Jakarta 2024) ini dari akun twitter (X) @olafaa_ mengunggah sebuah foto-foto tangkap layar (screenshoot) yang berisi pesan pelecehan seksual terhadap seorang anak perempuan berusia 12 tahun berinisial NKS berstatus pelajar siswi sekolah dasar di Tasikmalaya. Dalam prosesnya ditulis bahwa screenshot itu adalah pesan milik adik temannya bersama seorang remaja laki-laki berusia 20 tahun yang dikenalnya dari permainan online yaitu Mobile Legend. Pada bulan Februari 2024, aksi tersebut diawali dengan bermain dan berkenalan di room chat aplikasi mobile lagend. Si pelaku selalu menggoda dan mendekati si korban, komunikasi terus berlanjut sampailah berbalas pesan melalui aplikasi WhatsApp pribadi si korban. Isi percakapan pelaku dan korban, terlihat jelas bahwa korban tidak bisa menolak karena telah tertipu daya oleh pelaku, menganggap pelaku adalah orang yang dapat dipercaya, memberikan kenyamanan dan kasih sayang.
Sehingga, mulailah mengarah ke percakapan yang sensitif pada April 2024. Dari hasil pemeriksaan sementara, pelaku mengatakan aksinya ini baru dilakukannya pertama kali. Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Jules Abraham Abast mengatakan akan terus menindak lanjuti pemeriksaan ini. Sementara ini, YPS kemungkinan terancam hukuman 5 tahun penjara dan dijerat pasal berlapis, di antaranya pasal 45 ayat (1), pasal 27 ayat (1) dan/atau pasal 52 ayat (1) Undang-undang nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Kemudian pasal 4, dan pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual. Terakhir, kasus kekerasan ini juga berkaitan dengan pasal 82 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Dari kejadian ini, keadaan korban mengalami rasa trauma dan terpukul. Karena sudah melakukan hal yang membuat dirinya malu sampai tidak ingin bertemu dengan orang lain. Padahal kejadian ini bukan salah si korban saja tapi yang harus disalahkan itu orang tua dan keluarganya tidak memberikan perhatian lebih kepada si korban. Deputi bidang perlindungan khusus anak, Nahar mengatakan, “Sangat baik bagi orang tua untuk selalu mengawasi pergaulan anaknya di media sosial. Mengganti akun anak menjadi private juga upaya yang dapat dilakukan agar akun anak hanya bisa diakses dan dipantau oleh orang terdekat. Ajari dan latih anak agar dapat bersikap asertif baik ketika berinteraksi dengan orang lain ataupun ketika menerima informasi.”
Ancaman pelecehan seksual terhadap anak yang sangat tinggi melahirkan inovasi pemerintah yang bersinergi dengan Kemen PPPA membangun dan merumuskan peta jalan perlindungan anak di ranah dalam jaringan (Daring). Nahar mengatakan “Saat ini rancangan peraturan Presiden tentang peta jalan perlindungan anak di ranah dalam jaringan (daring) dalam tahap penyelesaian. Perpres tersebut mencakup tiga strategi, salah satunya pencegahan terjadinya penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi terhadap anak di ranah daring. Fokus strategi yang digunakan antara lain melalui pengendalian risiko dengan intervensi kunci mengidentifikasi, menapis dan memutus akses berdasarkan risiko dan bahaya, termasuk mempersiapkan kebijakan terkait tata kelola Penyelenggaraan Sistim Elektronik (PSE) untuk menerapkan mekanisme perancangan teknologi informasi ramah anak.” Nahar juga menyampaikan masyarakat yang melihat, mendengar, mengetahui, serta mengalami segala bentuk kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dapat segera melaporkannya kepada SAPA dan Kemen PPPA melalui saluran siaga 129.
Peningkatan kasus dan dampak dari pelecehan seksual kita harus melakukan tindakan untuk melawan pelecehan seksual dengan cara melalui pendidikan, kesadaran sosial dan dukungan satu sama lain termasuk gen z, pemerintah juga harus berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman untuk semua orang. Kita juga harus memberikan langkah pembelajaran literasi digital bagi masyarakat seperti Digital Ethics (Etika Digital) adalah kemampuan seseorang menyadari, dan mengembangkan aturan perilaku interaksi manusia lainnya dalam dunia Digital. Seperti menjaga kesopanan dan menghormati orang lain, berpikir sebelum mengirim pesan atau konten, menghormati privasi orang lain, dan menghindari penyebaran informasi palsu atau hoaks. Digital Safety (Keamanan Digital), yaitu kemampuan individu mengenali, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital. Literasi digital dapat menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif termasuk Gen Z dalam memproduksi, mengonsumsi dan mendistribusikan informasi untuk menghindari provokasi, pelecehan seksual, penipuan, dan termasuk kekerasan digital, sehingga jika terjadi hal-hal yang melanggar, korban dapat melaporkan dan menjelaskannya kepada pihak berwajib. Tidak lupa kita harus memperhatikan dampak psikologis dan menyediakan dukungan korban yang terkena dampaknya. pendekatan kolaboratif antara masyarakat, pendidikan, dan teknologi kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi generasi muda termasuk Gen Z. Ayo membangun terciptanya kehidupan yang baru tanpa adanya pelecehan seksual, kita sebagai perempuan harus berani speak up dan berontak terhadap laki- laki jangan lemah!!