Kasus Obstruction of Justice (OOJ) Mencuat, Begini Penjelasan Mustain Nasoha Dosen Ilmu Hukum UIN Surakarta

Oleh:
Ahmad Muhamad Mustain Nasoha
(Dosen Ilmu Hukum dan Direktur PUSKOHIS)

Dalam beberapa waktu terakhir, berbagai kasus Obstruction of Justice (OOJ) telah mencuat, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Beberapa di antaranya adalah kasus Ferdy Sambo (Indonesia, 2022), kasus korupsi e-KTP (Indonesia, 2018), skandal Watergate (Amerika Serikat, 1972-1974), serta kasus Roger Stone (Amerika Serikat, 2019-2020). Kasus-kasus ini menunjukkan betapa seriusnya upaya merintangi proses hukum dalam berbagai sistem peradilan di dunia. Bahkan salah satu petinggi partai politik juga terjerat tindak pidana perintangan penyidikan atau obstruction of justice yang tertuang pada Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Obstruction of Justice?
Dalam sebuah pertemuan ilmiah di Solo, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, seorang Dosen Ilmu Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, memberikan penjelasan mendalam mengenai konsep ini. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bahwa Obstruction of justice merupakan tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk menghalangi, menghambat, atau mengintervensi proses penegakan hukum, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Dalam konteks hukum pidana, tindakan ini dikategorikan sebagai tindak pidana yang bertujuan untuk mengaburkan fakta, melemahkan alat bukti, serta mengganggu administrasi peradilan guna menguntungkan pihak tertentu. Obstruction of justice juga sering kali dikaitkan dengan tindakan manipulatif yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil suatu proses hukum agar menguntungkan pihak tertentu atau melindungi individu tertentu dari konsekuensi hukum yang seharusnya diterima.

Kata Mustain Nasoha, Menurut Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji dalam karya mereka Peradilan Bebas Negara Hukum dan Contempt of Court, obstruction of justice didefinisikan sebagai segala bentuk perbuatan yang bertujuan untuk menyimpangkan jalannya proses hukum sehingga mengganggu fungsi utama peradilan dalam menegakkan keadilan. Dengan demikian, perbuatan ini dapat mencakup berbagai bentuk tindakan seperti menyembunyikan bukti, memberikan informasi yang menyesatkan, atau mengancam saksi dan aparat penegak hukum. Tidak hanya dilakukan oleh individu, obstruction of justice juga dapat melibatkan institusi atau pihak yang memiliki kepentingan dalam sebuah perkara hukum tertentu.

Dasar Hukum di Indonesia
Ahmad Muhammad Mustain Nasoha menjelaskan bahwa Secara yuridis, obstruction of justice telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya dalam:
1. Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Mengatur tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja untuk menghalang-halangi jalannya proses hukum.
2. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – Menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara korupsi, dapat dikenakan pidana penjara minimal tiga tahun dan maksimal dua belas tahun, serta denda antara Rp150 juta hingga Rp600 juta.

Di beberapa kasus, obstruction of justice juga dapat dikaitkan dengan ketentuan lain dalam hukum pidana yang mengatur perbuatan yang bertujuan menghalangi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini menunjukkan bahwa obstruction of justice memiliki cakupan yang luas dan tidak terbatas pada kasus tertentu saja, melainkan mencakup berbagai aspek peradilan pidana yang dapat terganggu akibat tindakan ini.

Unsur-Unsur Obstruction of Justice
Terdapat beberapa unsur utama yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dijerat dengan tindak pidana obstruction of justice:
1. Pending Judicial Proceedings – Perbuatan tersebut menyebabkan tertundanya atau terganggunya suatu proses hukum yang sedang berlangsung.
2. Knowledge of Pending Proceedings – Pelaku mengetahui dan menyadari bahwa tindakan yang dilakukan memiliki dampak terhadap jalannya suatu proses hukum.
3. Acting Corruptly with Intent – Pelaku melakukan atau berusaha melakukan tindakan yang menyimpang dengan maksud untuk mempengaruhi, mengintervensi, atau menggagalkan jalannya administrasi peradilan.

Dalam praktik hukum di beberapa negara seperti Amerika Serikat, ditambahkan satu unsur tambahan, yaitu motif. Artinya, agar seseorang dapat dijatuhi hukuman atas obstruction of justice, harus dibuktikan bahwa pelaku memiliki niat tertentu, seperti ingin menghindari tuntutan pidana atau mengurangi ancaman hukuman yang dihadapi. Selain itu, obstruction of justice juga dapat berwujud dalam berbagai modus operandi, seperti memberikan keterangan palsu, memusnahkan barang bukti, menyuap saksi atau hakim, serta melakukan tindakan lain yang dapat menghambat atau mendistorsi jalannya peradilan.

Implikasi Hukum dan Penerapan di Indonesia
Sebagai delik yang bersifat serius, obstruction of justice memerlukan pembuktian yang kuat di pengadilan. Jika terbukti bersalah, pelaku dapat dijatuhi sanksi pidana berat sebagaimana diatur dalam KUHP maupun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, tanpa adanya unsur kesengajaan dan niat untuk menghalangi proses hukum, seseorang tidak dapat serta-merta dijatuhi hukuman. Contohnya, jika seseorang secara tidak sadar membantu orang lain melarikan diri tanpa mengetahui bahwa orang tersebut adalah tersangka tindak pidana, maka ia tidak dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 221 KUHP.

Selain itu, obstruction of justice sering kali menjadi bagian dari kejahatan yang lebih besar, seperti tindak pidana korupsi, perdagangan narkotika, atau pencucian uang. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana di Indonesia perlu terus memperkuat regulasi dan meningkatkan mekanisme pengawasan agar tindakan obstruction of justice dapat diminimalisasi. Salah satu langkah penting dalam hal ini adalah meningkatkan independensi dan profesionalisme aparat penegak hukum, serta memperkuat sistem pelaporan bagi masyarakat untuk mengungkap dugaan tindakan obstruction of justice.

Dengan perkembangan sistem hukum di Indonesia, diperlukan peningkatan penegakan hukum terhadap tindakan obstruction of justice guna menjamin keadilan dan integritas peradilan. Penguatan regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum juga menjadi langkah penting dalam mencegah terjadinya praktik yang dapat menghambat tegaknya supremasi hukum di Indonesia. Kesadaran hukum masyarakat pun perlu ditingkatkan agar mereka memahami bahwa tindakan menghalangi jalannya peradilan bukan hanya berdampak pada individu tertentu, tetapi juga terhadap sistem hukum secara keseluruhan.

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV