Masjid Sebagai Mahar Perkawinan

Oleh:
Muhammad Fahri Muthahhari (HKI/242121031)

Beberapa waktu yang lalu salah seorang artis menikah dengan mahar berupa masjid. Hal ini menimbulkan pro kontra di masyarakat dan viral di media sosial. Menurut ketentuan hukum Islam mahar lazimnya berupa benda yang bernilai dan memiliki manfaat personal bagi istri. Lantas bagaimana kedudukan mahar perkawinan artis tersebut.

Kasus mahar yang viral dan menyita perhatian publik sebenarnya sudah sering terjadi di Tengah masyarakat. Sebagaimana dilansir di dalam website Kementerian Agama Kalimantan Selatan (kalsel.kemenag.go.id), beberapa tahun terakhir misalnya terdapat sejumlah pernikahan yang maharnya menjadi buah bibir. Ada mahar yang berupa ular sanca, sepasang sendal, bersumpah untuk tidak minum minuman keras, minum segelas air putih, sampai mahar berupa uang sejumlah Rp. 500,- (lima ratus rupiah)

Lalu bagaimana sebenarnya ketentuan mahar dalam Islam? Apa saja bentuk mahar yang diperbolehkan? Lantas bolehkah mahar berupa masjid? Bagaimana agar praktik mahar tidak menimbulkan pr kontra di Masyarakat?

Mahar Menurut Hukum Islam
Menurut para ahli fikih, mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri, pemberian itu sebagai tanda ketulusan hati calon suami sehingga menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya. Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia (pasal 1 huruf d) “mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”

Adapun bentuk-bentuk mahar menurut fikih harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya harta berharga, barang suci dan bisa diambil manfaat. Selain itu, mahar bukan berupa barang curian dan bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Para ahli fikih juga berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Menurut fuqaha’, segala sesuatu yang memiliki harga dapat dijadikan mahar.

Lalu apa batasan mahar yang berharga itu? Dalam Islam nilai berharga tidaknya mahar, tidak terletak pada besar kecilnya nilai mahar. Namun berharga atau tidaknya mahar tergantung pada kemampuan dan ketulusan dari pemberi mahar (calon suami).

Di dalam Islam bahkan diperbolehkan mahar berupa hafalan Al-Qur’an. Dalam suatu riwayat dikisahkan, ada seorang sahabat yang dinikahkan oleh Nabi Saw dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an. Bahkan ada juga riwayat yang menegaskan bahwa sahabat Nabi memberi mahar berupa sepasang sandal.

Hal ini menandakan bahwa besar kecilnya mahar bukan hal yang substansial, namun kesanggupan dan ketulusan pemberi yang diutamakan. Selain itu selagi mempelai wanita menerimanya dan bentuk mahar adalah suatu barang, jasa, uang atau sesuatu yang dapat menjadi hak milik wanita dan tidak dapat dibagi maka hal itu sah-sah saja.

Pada dasarnya mahar yang diberikan dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita akan menjadi sepenuhnya hak milik calon mempelai wanita. Dia bebas menggunakannya untuk apa pun. Bahkan ia boleh memberikan kembali kepada calon mempelai pria ketika sudah sah menjadi suami istri. Dengan catatan tidak ada unsur paksaan dalam pengembalian itu.

Lantas bagaimana hukumnya soal masjid yang dijadikan sebagai mahar? Mengutip pendapat Abdul Qadir Jaelani, akademisi UIN Raden Intan Lampung, dalam laman youtube tribunnews, bahwa jika hal tersebut telah disepakati oleh kedua pihak mempelai maka ia diperbolehkan. Namun begitu perlu dilihat juga apakah mahar tersebut memberatkan mempelai pria atau tidak. Mengingat membangun sebuah masjid tentu tidak murah. Jika mempelai pria memang mampu dan tidak merasa keberatan untuk membangun sebuah masjid sebagai mahar, maka hal ini diperbolehkan.

Jika merujuk pada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, mahar harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Jikalau salah satu pihak tidak menyepakati mahar tersebut maka harus diganti. Selain itu mahar tidak boleh memberatkan mempelai pria karena dikhawatirkan pernikahannya dibatalkan karena ia merasa terbebani dengan mahar yang diminta.

Namun berbeda dari pendapat di atas, Muhammad Zainul Millah sebagaimana dikutip dari website jakarta.nu.or.id berpendapat bahwa masjid sebagai mahar tidak boleh karena dua alasan. Alasan pertama, bahwa masjid bersifat sebagai wakaf sehingga status kepemilikannya milik Allah dan bukan milik siapa pun, termasuk pewakaf. Karena itu setiap orang hanya berhak memanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf. Alasan yang kedua, benda-benda yang bisa menjadi mahar pada dasarnya sah untuk dijadikan alat tukar jual beli. Karena itu jika tetap ingin menjadikan masjid sebagai mahar, maka ia dikategorikan sebagai mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan ketika akad.

Lalu bagaimana agar pelaksanaan mahar tidak menjadi pro kontra di masyarakat? Apa yang harus dilakukan? Menurut penulis, semua pihak baik pemerintah dalam hal ini KUA, lembaga pendidikan, dan tokoh agama perlu melakukan edukasi tentang mahar pada masyarakat. Edukasi tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai media yang mudah diakses dan mudah dipahami oleh masyarakat.

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV