Otonomi Hukum Peradilan Islam: Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Hukum Pernikahan dan Perceraian

FASYA-Rabu (11/08/2021) Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta kembali mengadakan Diskusi Dosen Bulanan edisi Agustus 2021 dengan topik “The Autonomy of Islamic Court: Indonesian Marriage and Divorce Law for Muslims”. Hadir sebagai pembicara adalah Al Farabi, S.H.I., M.H., dosen Fakultas Syariah dan calon kandidat doktor pada Universitas Leiden, Belanda.

Secara umum topik otonomi hukum peradilan Islam ini membincang bagaimana hakim di Pengadilan Agama menimbang dan memutuskan perkara, utamanya terkait topik pernikahan dan perceraian di kalangan Muslim. Meski begitu, pentingnya semangat autonomy of law juga dapat diterapkan di bidang lain, misalnya kewarisan Islam, ekonomi Islam, Jinayah Islam, dan lain sebagainya, selama nilai-nilai prinsipil hukum yang substansial dapat tercapai.

Miskonsepsi Paradigmatik Bidang Hukum

Sebagai pengantar diskusi, Farabi memaparkan beberapa miskonsepsi yang penting untuk diulas. Pertama, miskonsepsi tentang kubu positifistik versus progresif. Menurut Farabi, kedua kubu sama-sama dalam posisi yang masih menganggap penting aturan-aturan tertulis, yang mana merupakan ciri positivistik. Namun, dalam kancah dunia hukum global, yang justru dilihat penting pertautannya adalah kubu formalis dan instrumentalis. Sementara kubu formalis identik dengan tekstual (dzahiry) dan kurang melihat realitas empiris sebagai panduannya, logika kubu instrumentalis bekerja sebaliknya.

Kedua, miskonsepsi terkait dikotomi dan benturan antara reformasi hukum (law reform) yang bersifat aturan dengan pembaruan hukum (judicial reform) yang bersifat putusan. Pembedaan ini terjadi sebagai efek dianutnya aturan Civil Law di Indonesia, yang mana lebih mengedepankan aturan tertulis dari pada putusan (jurisprudence), berkebalikan dengan tradisi Common Law.

Dikotomi dimaksud kiranya dapat dikesampingkan dahulu. Salah satunya alasannya karena ada salah satu negara yang menganut Civil Law namun mulai meninggalkan dikotomi ‘peraturan’ dan ‘keputusan’ dan menganggap jurisprudence sebagai aturan hukumnya (misalnya negara Belanda).

Selain itu, dalam tradisi hukum keluarga di Indonesia juga telah berlaku bahwa permulaan ubahan aturan dimulai bukan dari aturan yang diubah oleh badan legislatif melainkan dari putusan-putusan hakim. Farabi tegas menyatakan, “Setiap ada undang-undang baru yang mereformasi atau memperbaharui hukum keluarga, itu selalu didahului oleh tradisi putusan yang sudah menyuarakannya.”

Ketiga, miskonsepsi kajian klinis dengan kajian empiris. Kajian klinis sifatnya ‘menilai’ realita sesuai hukum yang dipedomani, sementara kajian empiris berlaku sebaliknya (berusaha melihat fakta lapangan dan mendialogkannya dengan keilmuan klinis yang dipelajari).

Membayangkan hukum menjadi sangat kaku sama kelamnya dengan bayangan ‘tertutupnya pintu ijtihad’ di masa lalu.

Ketiga miskonsepsi di atas sangat krusial untuk memahami prinsip-prinsip autonomy of law yang tidak saja membebaskan hukum dari belenggu kekakuannya, namun juga memberi ruang bagi tercapainya visi keadilan yang dicita-citakannya.

Autonomy of Law: Puncak dari Segala Jawaban?

Definisi autonomy of law barangkali mirip pernyataan, “Hukum merupakan independent tools yang bisa dipakai untuk menegakkan keadilan sekaligus menciderainya”. Otonomi hukum yang independen dapat diibaratkan dengan tingkat ‘kematangan berpikir’ dalam diri seseorang dengan istilah rushd dan bukan baaligh dalam arti ‘dewasa’ secara fisik saja.

Farabi megambil contoh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai gambaran riil autonomy of law di lapangan. Menurutnya, tradisi dan sistem yang baik dalam tubuh institusi KPK yang sanggup mengontrol jalannya KPK adalah bukti nyata kedigdayaan autonomy of law di hadapan figur-figur yang bermaksud menciderai kredibilitas institusi anti-rasuah tersebut.

Dalam kaitannya dengan hukum keluarga Islam, misalnya terkait dual validity pencatatan pernikahan, yang mana harus sah secara ‘agama dan negara’, seorang hakim yang memahami autonomy of law tidak akan melihat sah atau tidaknya pernikahan hanya dari pencatatan nikah secara tertulis saja. Melalui semangat autonomy of law, seorang hakim akan menggali kearifan lokal dan budaya setempat terkait pencatatan nikah yang selama ini berlaku di tengah masyarakat dan memutuskan perkara sebagaimana seharusnya.

Dalam rangka menjembatani gap (jurang pemisah) antara ‘tercatat sah secara negara’ dengan budaya masyarakat yang ‘hanya mencacatkan nikah secara agama’, Farabi menyebut perlu adanya ‘the extended form of itsbat nikah’ lantaran beragamnya varian model pernikahan dan pencatatannya yang berlaku di masyarakat. Selain itu, ‘the extended form of itsbat nikah’ boleh jadi menghindarkan seseorang dari tidak-dipenuhinya hak-hak kenegaraan jika pernikahan belum tercatatat sah secara negara, misalnya hak kesehatan, hak pendidikan, hak kependudukan, dan lain sebagainya.

Adapun mengenai perceraian atau rusaknya pernikahan (broken marriage), melalui semangat autonomy of law hakim-hakim yang dulu disibukkan dengan alasan-alasan perceraian, sebagaimana diatur pada pasal 39 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kini bisa mengalihkan ke prinsip yang lebih penting untuk dipegangi: “perceraian disahkan saat tidak ada lagi visi perkawinan yang dikehendaki oleh pasangan”. Menurut Farabi, hakim tidak boleh lagi disibukkan mencari ‘siapa yang salah’ menurut aturan yang berlaku. Hakim cukup menentukan rusaknya pernikahan dengan melihat ciri-ciri yang dapat dikenali dan divalidasi secara rasional.

Dalam penutupnya, Farabi menyampaikan bahwa ada potensi penyalahgunaan dan ‘semangat kebablasan’ di balik autonomy of law oleh hakim-hakim baik dalam melakukan itsbat nikah tanpa aturan maupun dalam putusan cerai atau rusaknya pernikahan. Namun, hal itu tidak mengurangi pentingnya autonomy of law untuk diadopsi. Melalui semangat autonomy of law pula, hukum tetap bisa menjadi lebih dinamis dan boleh jadi mengalami revisi-revisi yang dirasa penting dan berarti. (afd)

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV