Oleh: Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, M.H.
Seiring dengan berjalannya waktu, pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) semakin mendapatkan perhatian yang lebih besar. Revisi terhadap UU PPMI ini menjadi sangat penting mengingat Indonesia merupakan salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di dunia, dengan sekitar 9 juta pekerja migran yang tersebar di berbagai negara. Pekerja migran Indonesia sering kali menghadapi berbagai masalah, mulai dari eksploitasi tenaga kerja, penyalahgunaan hak asasi manusia, hingga perdagangan orang. Dengan mengacu pada teori-teori hukum yang relevan, revisi ini seharusnya menjadi langkah maju untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan pekerja migran.
Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, Ahli Hukum UIN Raden Mas Said Surakarta yang menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Fakultas Syariah berpendapat bahwa dalam perspektif teori keadilan distributif yang dikemukakan oleh John Rawls, setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi, harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan keadilan. Rawls menekankan pentingnya prinsip perbedaan yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya dapat dibenarkan jika ketidaksetaraan tersebut menguntungkan mereka yang paling miskin atau paling terpinggirkan. Dalam hal ini, pekerja migran Indonesia yang sering kali berada dalam kondisi yang rentan dan marginal harus menjadi prioritas dalam sistem perlindungan hukum. Oleh karena itu, revisi terhadap UU PPMI harus benar-benar memperhatikan prinsip responsif gender yang dapat mengatasi ketidaksetaraan antara pekerja laki-laki dan perempuan dalam proses migrasi.
Secara historis, UU 18/2017 memang lebih baik dibandingkan dengan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN). Namun, masalah implementasi tetap menjadi tantangan utama. Dalam hal ini, Hans Kelsen mengajukan pandangan bahwa hukum harus jelas, tidak ambigu, dan memiliki mekanisme yang efektif untuk menegakkan norma-norma yang ada. Oleh karena itu, revisi UU PPMI tidak hanya harus memperbaiki aspek substansi, tetapi juga harus memastikan bahwa implementasinya berjalan dengan baik, terutama dalam pengawasan dan penyelesaian sengketa yang melibatkan pekerja migran.
Meskipun RUU PPMI memiliki banyak potensi untuk memperbaiki kondisi pekerja migran Indonesia, Mustain Nasoha memberi beberapa kritikan terkait dengan pelaksanaan hukum ini. Berikut adalah tiga kritik utama Mustain Nasoha yang perlu menjadi perhatian dalam proses revisi RUU PPMI, beserta solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasinya.
1. Keterbatasan dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Pekerja Migran
Penegakan hukum yang lemah. Meskipun UU ini mengatur berbagai aspek perlindungan bagi pekerja migran, banyak dari mereka yang menghadapi eksploitasi dan pelanggaran hak-hak mereka tanpa adanya mekanisme hukum yang memadai untuk menanggulangi masalah tersebut. Pekerja migran sering kali tidak tahu ke mana harus mengadu ketika mereka mengalami kekerasan fisik, seksual, atau penipuan. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka yang menjadi korban malah terjerat dalam masalah hukum karena ketidaktahuan tentang hak-hak mereka.
Solusi yang ditawarkan Mustain Nasoha adalah pemerintah harus membentuk sistem peradilan yang cepat dan terjangkau bagi pekerja migran, terutama bagi mereka yang menghadapi pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membangun pusat penyelesaian sengketa migran yang melibatkan berbagai pihak seperti lembaga perlindungan pekerja migran, pengacara, dan organisasi masyarakat sipil. Dengan demikian, pekerja migran dapat mendapatkan bantuan hukum secara langsung dan cepat tanpa harus melalui prosedur yang panjang dan rumit. Selain itu, penguatan kapasitas lembaga penegak hukum dengan pelatihan khusus mengenai hak-hak pekerja migran juga dapat meningkatkan efektivitas hukum yang ada. Pemerintah juga perlu mengembangkan sistem pelaporan digital yang dapat diakses oleh pekerja migran dan keluarga mereka untuk melaporkan kondisi pekerja migran yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
2. Kesenjangan Antara Kebijakan Pusat dan Daerah
Meskipun revisi UU PPMI bertujuan untuk memperkuat koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, masalah ego sektoral dan kurangnya integrasi antara kebijakan pusat dan kebijakan lokal masih menjadi hambatan besar. Salah satu masalah utama adalah bahwa banyak kebijakan dan program yang dibuat di tingkat pusat tidak diterjemahkan secara efektif di tingkat daerah. Hal ini sering kali menyebabkan kebingungan dalam implementasi, karena kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kondisi lokal atau tidak memperhitungkan kebutuhan spesifik dari daerah-daerah tertentu yang menjadi pengirim pekerja migran.
Untuk mengatasi masalah ini, Mustain Nasoha memberi solusi bahwa perlu ada sistem koordinasi yang lebih terstruktur dan jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Pembentukan forum komunikasi reguler antara kementerian terkait, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan perlindungan pekerja migran dapat diterapkan secara merata dan efektif di seluruh Indonesia. Selain itu, pemerintah daerah perlu diberikan insentif atau dukungan finansial untuk membentuk struktur yang fokus pada perlindungan pekerja migran. Dengan memberikan insentif kepada pemerintah daerah yang berhasil mengimplementasikan kebijakan perlindungan pekerja migran, akan tercipta semangat kolaborasi yang lebih baik. Selanjutnya, pemerintah juga perlu meningkatkan penyuluhan dan pelatihan kepada aparatur pemerintahan daerah mengenai pentingnya perlindungan pekerja migran, sehingga mereka dapat merancang kebijakan yang lebih relevan dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
3. Keterbatasan Data dan Sistem Pengawasan
Salah satu tantangan besar dalam perlindungan pekerja migran adalah keterbatasan data dan kurangnya sistem pengawasan yang efektif. Data yang terpisah-pisah antara kementerian, lembaga, dan organisasi non-pemerintah membuat pengawasan terhadap pekerja migran Indonesia menjadi sulit dilakukan secara menyeluruh. Tanpa data yang terintegrasi, kebijakan yang diterapkan sering kali tidak tepat sasaran, dan penanganan kasus-kasus pelanggaran hak pekerja migran menjadi lebih rumit.
Solusi yang diberikan Mustain Nasoha adalah bahwa pemerintah harus segera membangun sistem basis data terpadu yang dapat mencatat seluruh pekerja migran secara akurat, baik yang bekerja di luar negeri maupun di dalam negeri. Sistem ini harus melibatkan semua pihak terkait, termasuk Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Luar Negeri, dan lembaga non-pemerintah yang bekerja di bidang migrasi. Sistem data ini harus diperbarui secara berkala agar informasi yang digunakan dalam pengambilan keputusan selalu relevan dan dapat dipercaya. Selain itu, teknologi seperti aplikasi mobile atau platform online yang memungkinkan pekerja migran dan keluarga mereka untuk melaporkan kondisi mereka secara langsung dapat meningkatkan efektivitas pengawasan dan respons cepat terhadap masalah yang muncul. Penggunaan teknologi informasi akan mempercepat aliran informasi dan memungkinkan pengawasan yang lebih ketat, bahkan di wilayah yang lebih terpencil.
Revisi UU PPMI adalah langkah yang sangat penting dalam memperkuat perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Namun, untuk memastikan bahwa revisi ini tidak hanya menjadi regulasi di atas kertas, tetapi juga efektif dalam praktiknya, perlu ada peningkatan dalam penegakan hukum, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta pengelolaan data dan sistem pengawasan yang lebih baik. Hukum harus berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan keadilan sosial dan memastikan bahwa pekerja migran, yang sering kali berada dalam posisi rentan, dapat mendapatkan perlindungan yang layak. Dengan demikian, revisi UU PPMI harus dilaksanakan dengan pendekatan yang komprehensif dan melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan pekerja migran itu sendiri.