Puasa dan Refleksi Membangun Kesalingan Suami Istri

Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah IAIN Surakarta mengadakan dua sesi Diskusi Dosen Bulanan edisi Khusus Ramadhan 1442 dengan topik-topik bernuansa puasa (Selasa 20 April 2021 dan Rabu 28 April 2021). Sesi pertama yang dilaksanakan pada Selasa 20 April 2021, pukul 15.30-17.30 WIB, menghadirkan ibu Dr. Hafidah, S.Ag., M.Ag. sebagai narasumber dan mendiskusikan tentang ‘Puasa dan Refleksi Membangun Relasi Kesalingan Suami Istri’.

Tema ini menarik diangkat sebagai pengingat akan pentingnya mengedepankan keseimbangan antara peran suami dan istri selama menjalani kesibukan di bulan Ramadhan yang menguras energi. Selain itu, tema ini juga relevan untuk menumbuhkan kepekaan satu sama lain akan beban kerja non-struktural di antara suami selama pandemi berlangsung.

Oleh karena melibatkan kedua belah pihak (suami-istri), maka teori Mubaadalah (relasi kesalingan) antara laki-laki dan perempuan mutlak dipahami dan dipegangi. Menurut bu Hafidah, teori yang dirumuskan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir (akademisi sekaligus aktivis dari IAIN Syekh Nurjati) tersebut didasarkan pada sikap saling menghormati satu sama lain dan dikembangkan dari pemahaman tentang diskursus gender yang ada.

Teori Mubaadalah lahir untuk merespon ketimpangan dunia laki-laki dan perempuan yang selama ini meresahkan. Teori ‘made in Indonesia’ ini dirumuskan melalui telaah mendalam atas teks-teks suci Islam (ayat-ayat al-Qur’an, statemen Hadis, dan informasi Sunnah yang terpercaya). Teori Mubaadalah merumuskan prinsip 5T, yaitu: Ta’aaruf (saling mengenal), Tahaaduts/Tasyaawur (saling berdiskusi/musyawarah), Tafaahum (saling memahami), Tasaamuh (saling toleransi), dan Ta’aawun (saling menolong).
Meski begitu, dalam berumah tangga perlu dibangun kesadaran bahwa amanah adalah hal paling utama dan wajib dipegangi. Slogan mainstream ‘sakinah mawaddah wa rahmah’ mestinya dilihat dari sudut pandang proses sebagai hilir atau ujung-akhir sebuah tindakan. Ibarat relasi kausalitas, slogan ‘sakinah mawaddah wa rahmah’ berposisi sebagai ‘akibat’, sementara (a) kesadaran kesalingan dan (b) kesadaran amanah berposisi sebagai ‘sebab’.
Lalu, bagaimana tema kesalingan ini dikaitkan dengan bulan Ramadhan? Jawabannya terletak pada unsur ‘al-Imsaak’ (menahan diri) selama berpuasa. Hubungan rumah tangga yang harmonis dapat diibaratkan dengan orang yang berhasil menjalani puasanya. Selama menjalani puasa dan rumah tangga, diperlukan sikap yang tulus untuk menahan diri agar tidak terjadi prahara karena ego atau keinginan sesaat yang fatamorgana. Menahan diri selama berpuasa bertujuan untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Sementara menahan diri selama berumah tangga bertujuan untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat memutus tali pernikahan.

 

Pasa sesi diskusi, Dr. Farkhan mengutarakan apa yang bisa ditingkatkan (upgrade) terkait aspek kesalingan pada teori Mubaadalah. Selain berisi 5T (Ta’aaruf, Tahaaduts/Tasyaawur, Tafaahum, Tasaamuh, dan Ta’aawun), pasangan menikah perlu Tanaazul, yaitu saling mengalah. Mengapa? Menikah itu bukan soal pemenuhan hak satu sama lain, namun juga menuntut kepekaan yang lebih baik dari kedua pihak. Seringkali, saat terjadi adu argumentasi, yang dikedepankan adalah ‘siapa yang benar’ atau ‘siapa yang berhak’. Sementara yang jarang dilakukan dan tabu untuk dikemukakan adalah soal ‘siapa yang mau mengalah’.
Moderator Ahmadi FD juga turut berpendapat dengan menyatakan bahwa jalinan rumah tangga perlu mencoba melihat sebuah hubungan senetral mungkin. Jika selama ini (dan selamanya) suami terasosiasi sebagai laki-laki dan istri sebagai perempuan, Ahmadi mengusulkan perlunya menganggalkan simbol ‘jenis jenis kelamin’ atau ‘simbol peran’ dalam memandang pasangan suami dan istri. Alih-alih, kita hanya perlu melihat keduanya semata-mata sebagai manusia (human beings).

Di luar efek positif teori Mubaadalah, tentu tidak terhindarkan efek lain yang ditimbulkan, misalnya dugaan meningkatnya angka perceraian (gugatan istri atas suami) yang disebabkan oleh para perempuan yang kini bersuara lantang. Meski kedua hal tersebut tidak berkorelasi secara langsung, disrupsi ini perlu dilihat sebagai first wave (hantaman awal) atau antitesis atas status quo dominasi laki-laki yang selama ini terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Pertanyaannya, “Setelah disrupsi karena kemajuan bidang tekonologi, siapkah kita dengan disrupsi sosial karena disamakannya kedudukan perempuan dengan laki-laki?” (afd)

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV