Cerpen Oleh Indarka Putra Pratama*
Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI)
FASYA- Harus kukatakan, tabah menghadapi cibiran tetangga sangatlah berat. Ujian macam apa yang sedang kutanggung ketika tinggal di desa ini? Desa yang masyarakatnya masih berpikiran usang, di tengah laju kemajuan zaman. Pantaskah janda satu anak sepertiku merasakannya?
Hatiku tetap kutegarkan, meski sesekali harus mencairkannya dengan tangis. Beruntung aku memiliki anak semata wayang yang selalu ada dan menegarkan jiwaku yang kian rapuh ini. Ketegarannya menular ketika aku mulai padam dan menua. Meskipun usiaku kini masih 47 tahun. Menurutku masih tergolong muda untuk seorang janda.
Cangik anak kebanggan kami. Cangik tak lain nama tokoh wayang kulit yang biasa dipentaskan di atas debok[1] dan kelir[2] bercahayakan blencong[3]. Bagi penggemar wayang kulit tentu tak asing lagi dengan tokoh ini. Perawakannya kecil dan kurus. Banyak dalang berseloroh menyebutnya seperti sodo.[4] Dan semua itu hampir melekat pada diri anak kami. Sebab itulah suamiku menamainya Cangik.
“Mau kau beri nama siapa, Mas?” Aku ingat pertanyaan itu kusampaikan saat aku memangkunya.
“Seperti kataku dulu, aku ingin memakai nama wayang,” jawab suamiku.
“Ya siapa?”
“Cangik,” begitu katanya. Ah, mengingat momen itu terlalu lama, hanya akan membuat hati kian sedih. Andai kamu masih hidup, Mas. Batinku berujar.
Kini, tepat di ambang kedewasaannya, Cangik harus menghadapi kondisi runyam juga ruwet. Persis ikalan benang yang tak pernah ketemu ujung satu dan ujung lainnya. Banyak orang menggunjingkannya dari mulut ke mulut. Mulai dari tubuh yang tak berdaging, tak kunjung menikah, hingga pendidikan tinggi yang sedang dijalaninya.
“Cangik..Cangik. Jika terkena angin, badanmu pasti melayang.”
“Sudah berumur kok tidak segera menikah. Nanti keburu tua.”
“Pakai nggaya kuliah. Perempuan ujung-ujungnya bakal jadi ibu rumah tangga.”
Begitulah celotehan orang-orang yang menusuk telingaku sampai ke ulu hati.
Jika menyacat tubuh, tak terlalu mengapa bagiku. Sebab indra pengelihatan normal pasti menangkap pandangan yang sama. Adalah rasa kesalku ketika Cangik dianggap aneh lantaran tak kunjung menikah di usia 22 tahun. Mereka berkilah perempuan seumuran Cangik seharusnya sudah menggendong anak. Dan perempuan seumuranku, sepantasnya sudah menggendong cucu. Banyak perempuan muda di desa ini yang sudah dinikahkan orangtua mereka, dan karena aku tak memperlakukan itu kepada Cangik, akibatnya sindiran dan hinaan untuk aku dan Cangik tersiar hebat.
Aku memang tidak bertindak seperti orang kebanyakan. Cukuplah nasib kakak perempuanku menjadi pengingat segala hal tentang suramnya nikah muda. Keputusan yang menjadikannya terkatung-katung merawat lima anak dengan hanya bekerja sebagai buruh. Suaminya minggat dari rumah, meski secara hukum, perkawinan mereka belum berakhir. Getir sekali jika mendengar kabar darinya.
Kisah semacam itu yang kutakutkan menimpa Cangik. Hal demikian, bahkan sudah kupikir sejak Cangik lahir ke dunia ini. Aku masih teringat sebuah perjanjian dengan suamiku saat Cangik masih bayi.
“Aku ingin anak kita punya masa depan, Mas,” kataku waktu itu.
“Aku pun juga. Dia harus disekolahkan yang tinggi, agar kelak jadi orang berguna.” Senyuman kami menelisik di antara jerit tangisnya.
Kini Tuhan telah memanggil ayah Cangik saat dia masih balita. Kepergian ayah Cangik tak menjadikanku kendur dan surut. Justru karena janji itu telah dibawa mati pengujarnya, bagiku, menepatinya suatu keharusan. Seperti yang kini kuupayakan. Sayangnya janji-janji semacam itu tak laku di sini, desa ini. Sebab yang laris adalah budaya mengawinkan anak perempuan sesegera mungkin, sehingga mengubur mimpi pendidikan mereka dalam-dalam.
***
Usiaku telah genap 65 tahun, sementara Cangik telah berkepala empat, alias 40 tahun. Aku semakin dekat dengan ajal, meski tak selalu tepat kalau yang tua bakal lebih dulu mati. Sementara Cangik semakin mantap dan nampak telah matang. Ia kini menjadi guru di sebuah sekolah negeri. Kekayaan ilmu tentu dibutuhkan untuk pengajar seperti dirinya agar terlahir siswa yang cerdas. Posisinya bahkan semakin dipertimbangkan, terlebih dengan gelar magister yang baru saja diraihnya.
“Selamat ya, Nduk,” ucapku kepada Cangik.
“Gelar ini Cangik persembahkan buat Ibu, dan Ayah tentunya,” balas Cangik dengan menyandarkan kepala di pundakku. Tubuh kami bersanding di atas sofa.
“Iya, Nduk. Pasti ayahmu sangat bangga melihat pencapaianmu selama ini,” aku membalas kemesraan Cangik dengan mengelus pipinya yang mulai keriput.
Banyak perubahan sejurus berjalannya hidup belasan tahun lamanya. Akan tetapi ada satu hal yang tak berubah: Cangik belum menikah. Ia tetap menjadi seorang perawan. Tak ada lelaki meminangnya, barang seorang saja. Ketekunannya mencari ilmu seolah kebahagiaan paripurna. Berilmu mumpuni dan menularkannya kepada anak-anak muda, anak didiknya.
Meski begitu, suara tak mengenakkan tetap saja terdengar dari para tentangga. Cangik disebut perawan tua. Bahkan mereka berkata bahwa tak akan ada laki-laki yang berani menikahi perempuan lulusan sarjana bahkan magister. Kira-kira begitu cemoohan mereka meluap-luap.
Suatu waktu aku mengajak Cangik membincangkan nasib masa depannya itu. Bukan karena aku turut mengutuk kelajangannya. Akan tetapi aku sadar, bahwa tak mungkin menemani Cangik selamanya. Sebab usiaku menunjukkan bahwa aku sudah pantas disebut bau tanah. Malam terasa sangat hangat, sekalipun gerimis turun menghujam bumi. Suasana seperti ini mendukung obrolan yang lebih intim antara kami berdua.
“Nduk. Ibu ingin bicara sesuatu,” aku memulainya.
“Mengapa Ibu bilang begitu? Seperti sedang bicara sama orang lain saja,” Cangik sambil menyunggingkan mukanya. Memang selama ini aku tidak pernah mengawali perbincangan seperti ini.
“Begini, Nduk. Kamu tidak pengin menikah?” Meski telah ancang-ancang, yang berhasil keluar dari mulutku hanya pertanyaan itu. Sebenarnya ingin sekali aku menasihatinya tentang pentingnya pasangan hidup. Pasangan yang akan menemani sampai nanti tiba kepulangan kita. Yang anak memberikan anak untuk mewariskan segalanya: kebahagiaan, kelembutan, kecerdasan. Tetapi aku tak berhasil mengatakannya. Berkata demikian, hanya akan memperlihatkan kebodohanku di depan Cangik.
“Ibu pasti tahu, setiap membuka hati bagi laki-laki, hanya berujung kesia-siaan. Susah mencari orang yang mau menerima Cangik.”
“Kamu menyerah, Nduk?”
“Entahlah, Bu.”
Aku mencukupkannya. Dua pertanyaan saja membuatku paham, kalau sebenarnya kesalahan bukan terletak pada Cangik. Malam pun kami akhiri dengan keheningan hujan.
Hingga keesokan harinya, sebuah kabar membuatku terperangah. Datang seorang laki-laki berseragam dengan pistol di sebelah saku celananya. Ia mengabarkan kalau Cangik mengalami kecelakaan saat menuju sekolah. Nyawanya pun tak bisa diselamatkan, Cangik dinyatakan meninggal dunia. Seketika tubuhku bergetar. Termangu cukup lama, sebelum teriakan keluar dari mulutku yang memecah segalanya: suasana, tangis, dan hati ini.
Cangik berjodoh dengan ajal. Tak ada pernikahan baginya. Rahim Cangik masih suci karena tidak terlahir seorang bayi. Meski begitu aku sangat yakin, di luar sana banyak anak muda hebat yang lahir dari ilmu warisan Cangik. Ilmu akan abadi daripada sang empunya.
*Cerpen ini telah dimuat di Rubrik Bahasa, Satra, dan Budaya (Harian Rakyat Sultra) pada Senin, 21 September 2020. (dw)
[1] Debok: batang pohon pisang untuk meletakkan wayang.
[2] Kelir: kain putih sebagai latar pementasan wayang.
[3] Blencong: lampu penyorot kelir.
[4] Sodo: batang sapu lidi.