Urgensi Moral dan Sengkarut Nasib Desa

Oleh: Oscar Maulana

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES)

 

Judul               : Aib dan Nasib

Penulis             : Minanto

Penerbit           : Marjin Kiri

Cetakan           : Pertama, Juli 2020

Tebal               : 263 halaman

ISBN               : 978-602-0788-00-5

Desa pasti memiliki hikayat dan cerita. Hal ihwal cerita desa terekam gamblang dalam literatur sejarah dan susastra Indonesia. Pun riwayat Lorong hikayat perihal desa bisa kita telusuri, baik terisirat maupun tersurat. Keluhuran membahas desa pun bertaut dengan persoalan sosial kultural, politik dan sketsa keasrian desa.

Cerita perihal pedesaan bias kita simak lewat novel Aib dan Nasib (2020) gubahan Minanto. Naskah novel ini memenangi kontestasi prestisius kesusastraan di Indonesia; pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2019. Novel ini berlatar Desa Tegalurung; daerah kelahiran Minanto, Indramayu, di Pesisir Utara Jawa Barat.

Minanto menarasikan kehidupan warga desa, dengan lanskap dan perspektif berbeda. Alih-alih desa yang adem ayem, temtram ataupun harmonis, minanto mengubah dan meracik dengan cerita pelbagai kesemrawutan, kemuraman, dan kebobrokan moral warga desa. Terlebih, ketika orang-orang desa menapaki jejak kehidupan, bertahan dari belenggu dan jeratan nasib yang berkelindan aib.

Manusia tentu memperhatikan norma dan moral dalam kehidupan social bermasyarakat. Norma kesusilaan, perilaku, dan adat pun terbentuk atas sejarah dan budaya manusia. Perilaku yang mencerminkan wajah muram desa, Minanto gambarkan begitu pelik dan penuh ironi.

Minanto memperlihatkan ladat desa yang tergerus keran modernitas. Walaupun Desa Tegalurung tak bias dianggap sebagai desa yang dikatakan terbelakang dan tak bias dibilang maju. “Tegalurung belumlah bias dianggap desa maju tapi juga tidak bias dibilang terbelakang” (halaman 7).

Nasib orang-orang desa, yang kalah oleh gelombang pasang kemodernan, dan tak memiliki bekal sama sekali untuk menghadapi. Sentuhan Pendidikan yang kurang menjadi salah satu factor yang menjembatani masyarakat terjerumus ke hal-hal dan perilaku yang jauh dari sifat keluhuran manusia. Misalnya, pengisahan tokoh Boled Boleng, salah satu dari korban kemodernan.

Dalam nocel ini, Boled Boleng digambarkan lewat polah tingkah yang absurd dan amoral. Dia, misalnya, memasukan alat kelaminnya ke dalam pelepah pisang. Dia juga bersenggama dengan seekor angsa.

Kawan-kawannya acap memanfaatkan tingkah laku menyimpang dari norma social, bahkan tata aturan agama, itu. Bagong Badrudin dan Susanto, misalnya, sebagai ajang eksisteni diri merekam tingkah laku Boled Boleng yang ganjil dan menyiarkannya di media social Facebook untuk mendadpatkan like dan perhatian dari warganet.

Reaksi warga desa sama sekali tidak menampakan sisi keprihatinan atau iba. Manakala mendengar hal senonoh semacam itu, warga bahkan tifak menegur atau memperirngatkan. Mereka justru menjadikan hal itu sebagai bahan pergunjingan dengan warga lain.

Hal serupa menimpa perjalanan hidup Uripah. Perempuan yang dianggap kurang waras di desanya itu tertimpa nasib sial. Lagi-lagi dua pemuda yang mempermainkan Boled Boleng itu juga memanfaatkan sosok Uripah yang agak gila. Mereka acap menjadikan Uripah sebagai bahan menuntaskan berahi, hingga Uripah Hamil. Itu terekam ketika Santoso berbisik lirik saat menahan memar dimuka akibat perkelahiannya dengan Mang Sota “Tunggu sampai ada seorang perempuan Tegalurung hamil tanpa suami” (halaman 92).

Nasib Uripah membuka tabir garis-garis kemanusiaan dan moralitas dalam diri manusia. Pelbagai persoalan yang menimpa warga DesaTegalurung berkelanjutan tanpa jeda dan padat konflik. Minanto tak hanya menarasikan orang-orang yang menimpa warga desa Tegalurung.

Aib dan Penyesalan

Aib merupakan stigma yang melekat dari masyarakat dan setiap manusia tidak menginginkan. Keengganan ketiban nasib harus diatasi dengan ikhtiar. Pelbagai polah tingkah pun bias berujung dan terjerumus ke dalam lingkaran aib. Manusia menarasikan aib sebagai barang kotor dan patut dihindari

Sosok Baridin dan mang Sota menjadi penanda aib dalam novel ini. Baridin beranggapan, memperoleh aib ketika mendidik Boled Boleng, sang anak, dengan perilaku kekerasan, antara lain menceburkan kedalam sumur, menendang, dan mengusir. Pada saat itu pula Baridin menggumam penuh penyesalan manakala Boled Boleng mengidap gangguan mental “orang bilang aib sama saja dengan nasib” (halaman 106).

Hal serupa dialami Mang Sota, sosok lelaki paruh baya penghuni Desa Tegalurung. Dia tertimpa aib ketika memperoleh keturunan seorang anak yang kurang waras bernama Uripah. Cobaan dan kemalangan tak kunjung sirna bagi Mang Sota tatkala mengetahui Uripah hamil tanpa suami. Dia menghadapi stigma yang begitu menyesakkan ketika masyarakat menggunjing dan berujar, Uripah hamil karena Mang Sota “… saat bilang kepadaku kaulah (mang Sota) bapak dari jabang diperut Uripah” (halaman 112).

Itulah sepenggal fragmen novel garapan Minanto yang ternarasikan begitu absurd. Banyak perilaku menyimpang dari tata ajaran agama dan moralitas. Saying, Minanto kurang mengekspolari suasana di desa itu. Hal itu tertera dalam beberapa fragmen dengan diksi yang terasa kehilangan roh ketika menarasikan latar Desa Tegalurung.

Membaca novel yang beralur maju mundur ini memang memerlukan kepekaan dan ketelatenan. Novel yang terkemas dengan beberapa episode atau latar ini sarat ibrah (pelajaran) hidup. Urgensi moralitas perlu menjadi acuan tersendiri dalam diri manusia demi mencapai keselarasan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

*Resensi buku ini telah dimuat di koran Suara Merdeka edisi Ahad, 13 September 2020

Bagikan

Berita Terbaru

Informasi Terkait

FasyaTV