Oleh: Oscar Maulana*
Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES)
FASYA- Cerita perihal mahasiswa, seakan tidak pernah bosan dalam pembahasan dan perdebatan. Mahasiswa disimbolkan sebagai pemegang tongkat estafet bagi bangsa dan negara. Tonggak masa depan negara-bangsa berada di tangan mahasiswa kiranya. Hal itu terekam pada cap dan embel-embel yang melekat dan dilekatkan.
Institusi pendidikan, kini mendapat tugas dan tanggung jawab ekstra. Manakala dunia sedang dilanda pagebluk seperti sekarang ini. Kebijakan-kebijakan terlontarkan guna menyelesaikan persoalan didalam bidangnya masing-masing. Salah satu jalan yang ditempuh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, guna mengentaskan penyebaran virus yaitu diadakannya proses belajar lewat daring (dalam jaringan).
Terkhusus mahasiswa, kini sudah memasuki tahun ajaran baru. Narasi tentang mahasiswa baru ini, bisa kita pahami lewat esai Euginus Tintus Reinaldi, berjudul Selamat Datang Mahasiswa Baru, di rubrik opini (Tribun Jateng 21 Agustus 2020). Euginus menarasikan perihal mahasiswa baru yang akan menapaki dunia perkampusan, yang berbeda dari kakak tingkantnya. Seperti, tanpa adanya masa orientasi kampus, perkenalan antar teman baru dan persoalan jajan-jajan di depan kampus.
Sayangnya, euginus tidak menarasikan dan menapaki pelbagai persoalan lebih konkret, yang melekat pada diri mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa yang mustinya dekat pada ranah intelektualitas, perkembangan paradigma berfikir, maupun mendiskusikan problematika mutakhir yang akan dihadapinya kelak di masa depan. Pun dalam tulisan ini, Euginus kurang mengeksplorasi pengenalan mahasiswa terhadap dunia pendidikan yang bakal berubah yang mengacu pada persoalan pokok yaitu literasi.
Pelbagai persoalan menggelayuti mahasiswa dewasa ini. Jamak kita temui, kritik atas peranan mahasiswa yang tampaknya benar-benar alfa pada persoalan mutakhir. Kritik yang menerpa mahasiswa bukan barang baru, pun sudah mendapat sorotan semenjak masa orde baru mendirikan kekuasaannya.
Kritikan atas gairah mahasiswa yang mengalami perubahan sikap maupun ideologi, bisa kita simak dalam film GIE (2005). Film besutan Riri Riza ini, menokohkan Soe Hok Gie di tengah pergolakan mahasiswa berlatar pada masa orde lama dan orde baru. Kala itu, kebijakan-kebijakan Soekarno menjadi sorotan, dan mendapat kritik tajam oleh para mahasiswa. Salah satu pelontar kritik itu adalah Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie menggeluti literasi sejak masih duduk di sekolah menengah. Ketekunan itu berbuah nampak pada tulisan-tulisannya, waktu mengkritik keras atas kebijakan-kebijakan dari pemerintah Soekarno. Dan pada akhirnya, Soekarno yang digadang-gadang sebagai presiden seumur hidup pun jatuh dari tampuk kekuasaannya.
Pada suatu masa, Gie sudah menjadi dosen di Universitas Indonesia, yang tidak lain tidak bukan adalah almamaternya sendiri. Kita diperlihatkan sebuah adegan. Manakala Gie menulis sebuah opini, berisikan kritikan tajam atas perubahan lelaku mahasiswa. Yang dianggap mengalami kemrosotan gairah berilmu.
Makna dan tujuan mahasiswa pun berubah arah bahteranya. Mahasiswa, pada mulanya dimaknai sebagai pengganggu kestabilan politik bagi pemerintah, kini berganti arah dan menjadi pemasok industrial yang moncer. Keriuhan mahasiswa pada persoalan-persoalan pragmatis semacam ini, menjadi sorotan dan lahan kritik yang sering terucap kearah mahasiswa. ketajaman cara berfikir mahasiswa yang patut di persoalkan.
Pendidikan dan Pergolakan
Pengenalan dunia perkuliahan, tidak hanya pada hal remeh-temeh seperti jajan di kampus dan perayaan seremonial semata. Alangkah eloknya, mana kala mahasiswa dipertanyakan kesigapan apa yang akan dilakukan ketika mengahadapi perubahan iklim di ranah pendidikan?
Kini, mahasiswa dituntut melaksanakan proses kegiatan belajar dengan menggunakan virtual. Transformasi proses belajar semacam ini pun mengalami kesemrawutan. Tuntuan di pertanyakan kembali pada wajah-wajah mahasiswa, hal apa yang bisa diperbuat mahasiswa di tengah pandemi semacam ini.
Rentetan pertanyaan pun begitu saja muncul dalam pikiran saya. Hal-hal yang melakat pada diri mahasiswa, yang sudah saya singgung diatas. Seperti agent of change, acap kali didengung-dengungkan. Terobosan semacam apa yang digalakan dan bermuarah pada perubahan didalam sosial masyarakat dewasa ini.
Perubahan-perubahan yang dipelopori oleh mahasiswa terekam secara epik dalam riwayat kemahasiswaan. Pengklaiman yang terus disematkan pada mahasiswa pun kita ketahui lewat angkatan-angkatan, yang berhasil menggulingkan pemerintahan seperti, angkatan ’66 sampai pada angkatan ’98.
Kedigdayaan mahasiswa sebagai penggerak perubahan sosial memang terasa dan terbukti. Dan mahasiswa pun secara tidak langsung mendapatkan klaim sebagai bintang lapangan. Hal ihwal pengklaiman mengenai mahasiswa sebagai bintang lapangan, ada pada tulisan Arief Budiman dalam kata pengantarnya pada buku garapan Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik (1999). Arief Budiman, dengan rasa bangga karena berhasil melengserkan Soeharto berujar kalau ada yang bertanya siapa yang menjadi bintang lapangan tahun 1998, saya tidak ragu untuk menjawab: Mahasiswa.
Pada akhirnya, mahasiswa kini dibebankan tugas dan problematika, yang bertaut pada sosial-kultural, ekonomi maupun politik. Harus dijawab dengan revolusi sikap, mental dan paradigma berfikir. Bagaikan air hujan yang tak kunjung reda, pandemi pada dasarnya mengubah secara radikal tatanan konsep pendidikan (kurikulum) karena ditempa pelbagai persoalan.
Kecakapan pemerintah, dalam menjawab persoalan yang nampaknya tak pernah dibayangkan sebelumnya, berakhir pada situasi dan kondisi memprihatinkan. Mahasiswa diharapkan sebagai estafet kepemimpinan mampu mengubah iklim demokrasi. Melek akan literasi jadi kunci awal nan pembuka, bahkan modal pertama yang sangat penting, bagi mahasiswa untuk bisa berpikir kritis transformatif. Upaya ini, tentu pantas mendorong mahasiswa berfikiran luas dan terbuka.
*Artikel ini telah dimuat di Rubrik Forum Mahasiswa Tribun Jateng (edisi Kamis, 27 Agustus 2020). (dw)