Santri, Budaya dan Moderasi Beragama

Oleh: Oscar Maulana

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah

FASYA- Hikayat santri tercecer di antara rerimbun kata dan peristiwa bergelimang makna. Narasi kesantrian pun terus bergema diantara bentangan sejarah dan peradaban bangsa.  Peradaban (ke)santri(an) terus mengiringi dinamika negara-bangsa Indonesia. Seperti perkara sosial, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan. Keterlibatan santri dalam proses terbentuknya bangsa Indonesia ini tidak bisa dipandang sebelah mata begitu saja. Dan kontribusi para santri pun bukan isapan jempol belaka.

Perjalanan bangsa Indonesia terus dihadapkan pada problemtika dilematis. Keran modernitas terus mengucurkan intrik politiknya. Dasar negara Indonesia berupa Pancasila menjadi salah satu objek sasaran yang acap kali dibenturkan dengan paham (ideologi) lainnya.

Sengkarutnya bangsa Indonesia atas problem semacam itu harus menjadi penanda, gairah santri untuk mengentaskan masalah dalam bidang relegiusitas, kultural-budaya, bahkan pendidikan pedagogis.

Dalam hal ini pada dasarnya, pendidikan santri yang diajarkan setiap pondok pesantren mempunyai konsep pendidikan (kurikulum) yang khas dan unik. Kita pun patut menduga, konsep kurikulum pesantren barangkali tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lainnya. Periwayatan ketredidikan santri pun tidak bisa lepas dari kurikulum konvensional yang unik dan langka itu.

Proses pembelajaran, yang kontinuitas, dan berkala pada akhirnya memiliki suatu subkultur budaya yang kuat dan luhur. Akar Kebudayaan, yang diajarkan pondok pesantren antara lain perkara etika, moral, dan proses pembentuk paradigma berfikir. Dorongan menjadi santri yang luhur pun tidak bisa lepas dari pada hal ketiganya.

Akar kebudayaan pondok pesantren di Indonesia, bisa kita tengok lewat buku garapan Aguk Irawan M.N., Akar Sejarah Etika Pesantran di Nusantara: Dari era Sriwijaya Sampai Pesantran Tebu Ireng dan Ploso (2018). Dalam buku ini, Aguk menjawab akar sejarah etika yang ada dipesantren-pesantren tradisional Nusantara. Seperti mencium tangan kiai, menata sandal guru, maupun tradisi tirakatan, riyadho, ngrowot dan mutihan dalam rangka meningkatkan kualitas spiritualitas.

Menurut Aguk, proses tradisi tersebut tidak bisa lepas dari fakta sejarah masyarakat pada zaman Hindu-Buddha, karena spirit kebudayaan dan peradaban yang hampir mirip, dan beranggapan memegang teguh konsep berkah dan barokah.

Etika tradisional pesantren semacam itu bisa kita tengok pula lewat buku sastra gubahan Djamil Soeherman, buku itu bertitel Pejuang-Pejuang Kali Pepe (1984). Djamil Soeherman memberikan kata pengantarnya dalam buku tersebut, dengan tema Pesantren: Subkultur yang hampir punah, Djamil begitu terkesan dan gembira manakala khiyainya mengunjungi rumah kakek dan neneknya. Ia mencium tangan khiyai dengan ta’zim. Dan bergumam kiyahi menjadi orang luar biasa bagiku.

Ilustrasi semacam itu, mencerminkan begitu luhur dan berbudayaanya pendidikan pondok pesantren. Dan masih dalam kata pengantarnya, Djamil Soeherman juga memiliki ambisi dan optimisme besar pada santri. Kalau boleh diartikan secara bebas, pada diri santri dan pondok pesantrean tersembunyi kekuatan yang mampu mengubah peradaban Islam.

Hal itu pantas, dan tak berlebihan harapan Djamil Soeherman. Menjadikan pondok pesantren sebagai basis keilmuan agama yang beradab dan lantas pantas mempunyai tradisi keilmuan yang unik dan luhur. Konsepsi pendidikan yang mengaktualisasikan adat-kebudayaan, social culture, dan sebagainya. Dewasa ini, tantangan yang dihadapi pondok pesantran begitu gamblang dan nyata. Bergerak pada konsep pendidikan konvensional pada akhirnya kurikulum pendidikan itu di benturkan dengan pendidikan berbasis modernitas dan gaungan dalih globaliasasi.

Pada akhirnya, problem zaman, menuntut santri terus bergerak dan musti di gembleng pada ranah intelektualitas, dan persoalan mutaakhir. Ideologi kesantrian harus menjadi jawaban atas sengkarutnya bangsa Indonesia. Yang kemudian salah satu cara, yang musti digalakan demi mencari jalan keluar adalah literasi dan memperkuat nilai-nilai budaya yang mulai tercerabut dari akarnya.

Tuntutan melek akan literasi dan paradigma berfikir, musti digenjot setiap lembaga pesantren. Ketajaman paradigma berfikir, akan membekali santri dikemudian hari dalam menjawab peradaban zaman yang terus menawarkan keeksotisannya. Santri, harus mampu menjawab pelbagai problem sosial masyarakat bahkan negara dengan perkara carut marutnya.

Cara pandang semacam itu harus didasarkan pada perjuangan para intelektual keagamaan (ulama) sebelumnya. Mengembalikan proses perjuangan lewat jalur akar rumput (grass root). Melakukan perjuangan politik literasi, dan kembali dalam khittah nya, demi menjaga kemaslahatan masyarakat.

Mencanangkan terobosan baru demi terjalinnya keharmonisan dan kelesarasan iklim demokrasi. Sengkarutnya iklim demokrasi di bumi pertiwi akhir-akhir ini misalnya, harusnya menjadi pelecut santri untuk menawarkan cara pandangnya dengan bijak dan arif. Baik mengenai satu kesatuan dan persatuan, menjunjung nilai-nilai keberagaman (toleransi) yang sering menjadi polemik.

Harmonisasi Keberagaman

Melihat geliat kondisi keberagamaan dewasa ini, harus memberikan motivasi dan cara pandang yang lebih modern. Dalam buku antologi esai, Beragama: Bertoleransi (2019) garapan Muhammad Milkhan, misalnya.  Mendeskripsikan sudut pandang manusia dalam menilik manusia lainya (humanisme) di zaman modren. Zamir hassan yaitu sosok pendiri Muslims against hunger—komunitas sosial—yang ada di New York. Pejuang sosial di dataran Amreika itu, memberikan sumbangsih (bantuan) kepada orang-orang marginal di kota metropolis sekelas New York. Berdrinya komunitas ini dilatar belakangi atas rasa kepedulian dan bertendensi pada persoalan kemanusiaan. Bantuan yang di salurkan pun tanpa melihat latar belakang ras, suku, dan agama.

Lelaku semacam itu harus menjadi pelecut kegairahan santri dalam mengimplementasikannya dalam kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai relegiusitas bukan hanya dipahami sebagai kegiatan spiritual semata, di dalam rahim Islam terdapat nilai dan sumber akar kemanusiaan. Dan menjadi ajaran fundamental keagamaan. Dalam lelakunya, santri harus menjujung nilai-nilai moderasi dan bersarang pada rasa humanisme atau kemanusiaan itu sendiri yang sudadh di singgung diatas.

Dan pada akhirnya dorongan dan tantangan santri harus menemukan jawaban yang bertendensi Kembali pada rasa kemanusiaan, kemaslahatan, dan keluhuran demi terciptanya romansa kedamaian berdemokrasi.

Persoalan kemoderasian dan kesesuaian ideologi maupun cara pandang keIslaman di Indonesia pernah di singgung oleh A. Helmy Faishal Zaini Dalam bukunya bertajuk “Nasionalisme Kaum Sasrungan” (2018). Islam di Indonesia, merupakan islam yang sesuai dan pas dalam kacamata konteks zaman sekarang. Islam yang musti mengedepankan nilai moderasi dalam beragama.

Maka miris ketika masih kita jumpai pendiskriminasian terhadap sesama manusia apalagi sesama seiman. Sikap santri, terhadap semakin maraknya rasa intoleransi semacam ini, menjadi tanggung jawab bersama untuk membenahi permasalahan yang kian hari semakin kompleks dan mengkhawatirkan.

*Tulisan telah dimuat di Forum Mahasiswa Tribun Jateng, Edisi 16 Oktober 2020 (dw)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV