Awali KISAH 2024, Fakultas Syariah Kaji Zakat Korporasi di Indonesia

FASYA-Rabu, (21/02/2024) Konsorsium Ilmu Syariah (KISAH) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta mengadakan Bedah Buku “Islamic Law and Society in Indonesia: Corporate Zakat Norms and Practices in Islamic Banks” karya Prof. Alfitri, M.Ag., LL.M., Ph.D.

Bedah buku menghadirkan 2 narasumber. Pertama, Prof. Alfitri, M.Ag., LL.M., Ph.D. sebagai narasumber utama yang hadir via Zoom dari Samarinda. Kedua, Prof. Dr. Mudofir, S.Ag., M.Pd. sebagai narasumber pembanding yang hadir di Ruang Aula Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta.

Sambutan Dekan Fakultas Syariah sekaligus launching Diskusi Dosen 2024

Acara bedah buku diawali dengan sambutan Dekan Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta Dr. Muh. Nashirudin, S.Ag., M.Ag., M.A., dan sekaligus membuka official launching Diskusi Dosen Tahun 2024. Sambutan dari Konsorsium Ilmu Syariah (KISAH) diwakili oleh Bapak Nurul Huda, S.Ag., M.Ag. dan mengajak para dosen untuk terlibat dalam serangkaian acara diskusi dosen yang akan rutin dilakukan setiap bulan selama tahun 2024.

Menimang dan Meminang Zakat Korporasi
Moderator Lutfi Rahmatullah, S.Th.I., M.Hum., membuka acara dengan sebuah pertanyaan subtantif, “Mengapa seseorang lebih suka berhaji dibandingkan berzakat? Sementara berhaji lebih dari 1 kali itu hukumnya sunnah, berzakat selamanya tetap berposisi wajib.” Tentu saja, zakat yang dimaksud moderator pada acara bedah buku ini tidak lain adalah zakat bagi korporasi.

Zakat korporasi barangkali mencerminkan 2 fakta sosial, yakni masyarakat yang dominan Muslim dan tingginya tingkat religiusitas suatu masyarakat Muslim. Namun demikian, keberadaan zakat ‘baru’ ini tidak lantas dapat diterima secara mufakat.

Paparan via Zoom dari Prof. Alfitri, M.Ag., LL.M., Ph.D.

Riset zakat korporasi yang dilakukan oleh Prof. Alfitri barangkali menjadi yang pertama di Indonesia. Oleh karenanya saat riset (untuk disertasi, S3 pada University of Washington Law School) ini dilakukan, selain segala sesuatunya masih dalam keadaan ‘tunas muda’ (baik di tingkat pemahaman, tinjauan hukum Islam dan hukum positif yang dapat mengakomodir, hingga tingkat kepatuhan terhadap zakat korporasi), Prof. Alfitri justru menemukan banyak fakta unik yang muncul di lapangan.

Salah satu fakta unik adalah adanya suatu bank yang terafiliasi atau dimiliki taipan Tionghoa namun memiliki kemauan untuk melakukan zakat korporasi, di saat kemufakatan soal perlu atau tidaknya zakat korporasi di kalangan Muslim masih menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut ditengarai akibat adanya ketidaksamaan persepsi tentang apakah ‘keharusan’ berzakat secara kolektif ini wajib memenuhi unsur homogenitas seluruh karyawan dalam suatu korporasi.

Fakta perdebatan ini menarik sekaligus menggelitik, serta mengingatkan kita pada perdebatan di kalangan ahli Fiqh di Indonesia tentang penggunaan dana infak di masjid. Di satu sisi ada kecenderungan semua dana diperuntukkan untuk segala hal yang berurusan langsung dengan masjid, di satu sisi ada dorongan membelanjakan dana indak masjid secara lebih fleksibel untuk kegiatan-turunan dari program-program sosial masjid seperti beasiswa sekolah bagi anak yatim atau donasi investasi bisnis bagikeluarga tidak mampu yang bermukim di sekitar masjid.

Kembali pada zakat korporasi, lalu perdebatan mengenai perlu dan tidaknya menerapkan zakat korporasi bisa gugur melalui CSR (Corporate Social Responsibility) sebagaimana diatur undang-undang? Ataukah keduanya bisa berjalan beriringan dan menjadi ‘beban ganda’ bagi korporasi? Hal ini menarik untuk didiskusikan secara lebih lanjut di masa mendatang.

Paparan Prof. Dr. Mudofir, S.Ag., M.Pd. sebagai narasumber pembanding

Prof. Mudofir selaku narasumber pembanding memberi penekanan dan kritik yang membangun untuk buku ini. Pertama, buku berjudul “Islamic Law and Society in Indonesia: Corporate Zakat Norms and Practices in Islamic Banks” ini, “…menggabungkan tiga elemen penting dalam studi hukum Islam di masyarakat: konteks, hukum dalam konsep (teori), dan hukum dalam praktik.” Dengan demikian, buku ini berhasil mengulas dan memberi pemahaman mendalam tentang dinamika hukum Islam dan realitas masyarakat Muslim di Indonesia.

Kedua, selain kurang adanya komparasi atas zakat korporasi yang berkembang di negara lain, satu hal yang dirasa kurang tersaji dalam riset Prof. Alfitri, yang juga barangkali dapat dijadikan pijakan untuk penilitian lanjutan oleh peneliti lain, adalah “…dimensi politik yang memengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berpihak pada (kelompok) ‘Islam’.” Menurut Prof. Mudofir, relasi Islam dan negara dalam sejarah Indonesia itu niscaya. Sejauh ini relasi tersebut mengalami tiga kondisi, yakni: antagonis, akomodatif, dan kooptasi.

Wa akhiiran, riset Prof. Alfitri tentang zakat korporasi merupakan sumbangsih nyata bagi masa depan studi zakat di Indonesia. Buku ini jelas sangat layak dibaca dan sangat layak dijadikan sebagai pijakan penting bagi riset lanjutan tentang zakat di Indonesia.
Wallaahu a’lam.
(afd)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV