Membincang Nikah Serba Serbi

Oleh: Deviyana Khoirotul Iswiyah

(Santri Pesantren Mahasiswa Munawir Sjadzali, Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Email: [email protected])

 

Berbicara pernikahan, ada banyak definisinya dari beragam sudut pandang, karena pada dasarnya setiap orang berhak memiliki definisinya sendiri. Di sini hanya akan dikemukakan dua definisi sebagai acuan: definisi berdasarkan ajaran Islam dan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Tradisi intelektual Islam dengan beragam madzhabnya masing-masing mempunyai definisi tersendiri tentang pernikahan. Namun, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah ikatan yang memungkinkan pria dan wanita sah melakukan hubungan biologis, bersetubuh, melalui akad inkaah atau tazwiij atau yang semakna dengan keduanya. (Muhammad Amin Summa, 2004, hlm.45).

Pernikahan (atau perkawinan) di hukum positif Indonesia diatur dalam UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada pasal 1 UU no.1 tahun 1974 dinyatakan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sementara pada pasal 2 KHI dinyatakan, “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Keduanya bersepakat dalam satu hal: keselarasan dalam ikatan pernikahan.

Salah satu unsur dalam pernikahan adalah cinta, namun alangkah baiknya jika kedua belak pihak memiliki keselarasan dalam aqidah, akhlak, dan visi misi hidup. Dengan begitu, mencapai keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah bukan suatu kemustahilan (M. Nurul Irfan, 2013, hlm.165). Di luar keselarasan atau versi default suatu konsep selalu ada anomali dan pengecualian, tidak terkecuali dalam pernikahan. Dua di antaranya adalah nikah campuran dan nikah beda agama.

NIKAH CAMPURAN DAN NIKAH BEDA AGAMA

Tidak banyak diketahui perbedaan nikah campuran dan nikah beda agama kecuali bahwa keduanya bukan versi umumnya kegiatan menikah di Indonesia. Nikah campuran adalah nikahnya dua orang beda kewarganegaraan. Sementara nikah beda agamaa adalah nikahnya dua pemeluk agama berbeda (agama resmi yang diakui pemerintah Indonesia).

Nikah campuran sebagaimana diatur pasal 57 UU no.1 tahun 1974 adalah, “..perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Nikah campuran, karenanya, tidak mencakup nikahnya dua orang beda keyakinan.

Mereka pelaku nikah campuran berpotensi memperoleh kewarganegaraan Indonesia dari pihak suami atau istri sekaligus berpotensi kehilangan kewarganegaraannya, sebagaimana diatur UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal ini selaras dengan pasal 58 dan 59 UU no.1 tahun 1974.

Apabila nikah campuran dilangsungkan di Indonesia, diberlakukan aturan nikah menurut pasal 59 dan 60 UU no. 1 tahun 1974, di mana salah satu syarat melangsungkan pernikahan adalah perlu mendapatkan surat keterangan atau keputusan dari pengadilan. Nikah campuran dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat nikah. Apabila tidak dilangsungkan dalam masa enam bulan pasca putusan diberikan, maka surat putusan pengadilan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Perihal nikah beda agama, sejauh ini tidak diperkenankan sebagaimana diatur pasal 40 dan 44 KHI. “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (a) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria  lain; (b) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; (c) seorang wanita yang tidak beragama Islam.” (pasal 40) “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang yang tidak beragama Islam.” (pasal 44)

BERDAMAI DENGAN KEADAAN

Menikah, menurut beberapa kalangan, bukan melulu soal rasa cinta dan itu tampak benar adanya. Ada hal-hal yang perlu dinegosiasikan dalam urusan pernikahan di Indonesia, baik dari sisi perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan agama (keyakinan). Dengan kata lain, pernikahan harus dilangsungkan sesuai aturan hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan dilangsungkan.

Misalnya ada kasus seorang wanita warga negara Indonesia (WNI) akan melangsungkan pernikahan dengan seorang pria warga negara asing (WNA) dan agama mereka berbeda, maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, salah satu pihak harus merelakan mengikuti agama pihak lain. Kedua, menjalani prosedur pernikahan seperti telah ditetapkan.

Terutama pada poin pertama, soal berpindah agama, ini terjadi karena sistem pencatatan perkawinan di Indonesia hanya memungkinkan 2 opsi: (1) dicatat Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat Kecamatan bagi pasangan Muslim dan (2) dicatat Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tingkat kota atau kabupaten bagi pasangan non-Muslim. Tidak ada lembaga pencatat perkawinan bagi pasangan berlainan agama.

Usai menikah dan memiliki keturunan, keluarga baru ini dihadapkan dengan status kewarganegaraan ganda anak-anak hasil dari nikah campuran. Dilema ini hanya berlangsung sementara karena dibatasi hingga usia 18 tahun bagi anak untuk menentukan sendiri status kewarganegaraannya apakah mengikuti kewarganegaraan ibu atau ayah. Hal ini telah diatur pada pasal 6 dan 21 UU no.12 tahun 2006. (A. Mufti Hidayat, Al-Daulah, Vol. 3. No. 2, 2015, hlm. 390).

Di sini tergambar jelas betapa ada banyak sekali hal-hal di nikah campuran (lebih-lebih yang semula beda agama) untuk didamaikan dan dinegosiasikan. Negosiasi untuk menjadi seragam atau negosiasi untuk menjadi warna warni? Tiadakah warna-warni bagi kita? Inilah serba serbi pernikahan di Indonesia. Wallaahu a’lam. (afd)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV