Mengenal Diskursus Penulisan Matan-Syarah-Hasyiyah

FASYA – Kamis, 15/08/2019 Fakultas Syariah IAIN Surakarta kembali mengadakan kegiatan diskusi dosen bulanan. Pada edisi keenam ini, bertindak sebagai pembicara adalah Dr. Ismail Yahya, M.A. Dosen yang kini menjabat Kepala LPPM IAIN Surakarta menyajikan hasil riset terdahulunya yang berjudul “Tradisi Tulis dalam Islam : Pola Penulisan Matan-Syarah-Hasyiyah dalam Ilmu Fiqh”.

Dunia keilmuan Islam adalah peradaban teks, hadarah al-nashsh. Sedemikian lekatnya julukan ini sehingga ‘lari darinya’ untuk mengembangkan sesuatu yang sifatnya beyond text, oleh beberapa kalangan, dianggap sebagai kesulitan yang luar biasa.

Dr. Ismail Yahya, M.A. sedang mempersentasikan hasil risetnya

Kekayaan ini di masa lalu menjadi kebanggaan sebelum akhirnya di masa modern Eropa dunia Islam mundur pelan-pelan tanpa kemajuan berarti, jumuud. Kini, di saat modernitas begitu digandrungi siapapun (termasuk dunia Islam), ada kesan umat Muslim melupakan masa lalunya yang kaya dengan warisan teks.

Diskusi yang dibawakan Ismail Yahya ingin mengajak kita menelusuri jejak-jejak kekayaan warisan Islam, meneliti, melestarikan, serta memanfaatkannya untuk produksi pengetahuan yang relevan dengan masa kini. Karena teks merepresentasikan zamannya, maka kembalinya kita meneliti teks masa lalu untuk memproduksi pengetahuan masa kini sejatinya merupakan respon kita yang relevan untuk zaman sekarang.

Ismail Yahya menjelaskan mengapa Fiqh diangkat sebagai topik pembahasan. Menurutnya, Fiqh relevan dengan kehidupan sehari-hari umat Muslim sehingga akan selalu menimbulkan tafsiran dan fatwa-fatwa khusus terhadapnya, baik untuk waktu maupun lokasi geografis yang berbeda.

Sebut saja fatwa-fatwa ulama Syafi’iyyah yang bermukim di kawasan Arab akan berbeda dengan fatwa-fatwa ulama Syafi’iyyah yang bermukim di Indonesia, karena perbedaan ‘illah (sebab) dan maqaashid (tujuan dasar) pemunculan fatwa dimaksud.

Mengingat strategisnya posisi Fiqh, pola penulisan karya Fiqh bisa menjelma dalam format yang tidak umum. Maksudnya, suatu naskah utama (matn) yang umumnya tidak mudah dipahami karena terlalu ringkas akan muncul versi syarh (penjelasan) yang agak meluas dan mendalam.

Jika masih belum dipahami, ada opsi lanjutannya yaitu haasyiyah di mana hal ini merupakan usaha menjelaskan apa yang dirasa masih sulit dipahami dari suatu syarh.

Yang menjadi soal adalah bagaimana dengan orisinalitas syarh dan haasyiyah. Menurut Ismail, tradisi kepenulisan keduanya yang cenderung lebih banyak menghasilkan halaman berkali lipat dari matn justru bukti orisinalitasnya. Ada unsur lokalitas yang diusung oleh keduanya sehingga menghadirkan narasi yang, entah sama sekali lain atau benar-benar selaras/sama, memperkaya khazanah keilmuan kita (tidak tekecuali dalam bidang Fiqh).

Antusiasme peserta diskusi dosen

Seperti umumnya diskusi dosen yang telah berlalu, sesi diskusi ramai oleh antusiasme peserta yang mengajukan pertanyaan atau sekadar menyampaikan komentar. Salah satu komentar paling menarik disampaikan Lutfi Rahmatullah, M.Hum tentang versi ‘kebalikan’ format matn-syarh-haasyiyah.

Begini gambarannya. Suatu teks (teks 1) karangan si A yang tebal diringkas oleh si B menjadi teks agak ringkas (teks 2). Pada saat lain karena tanpa kepuasan si C meringkas teks ringkasan si B menjadi teks baru yang lebih ringkas (teks 3). Tanpa diduga, orang lain yang melihat perlunya memahami teks 3 yang terlalu ringkas itu kemudian men-syarh-nya menjadi teks yang sedikit lebih panjang dan mendalam (teks 4).

Foto bersama di akhir acara

Pola yang berkelindan dalam tradisi teks umat Muslim membuktikan teks-teks yang beredar adalah anak zamannya. Dalam penjelasannya Ismail Yahya menyampaikan bahwa apa yang bisa dipelajari dari teks masa lalu bukan pada ‘teks-mati’ nya saja, namun juga dari apa yang bisa kita maknai darinya, termasuk format kebalikan dari matn-syarh-haasyiyah. (afd)

(Materi presentasi bisa diunduh di sini.)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV