Euforia Hijrah dan Legitimasi Kesalehan

Oleh: Oscar Maulana*

Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES)

 

Judul Buku                  : Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh Jangan.

Penulis                         : Abd. Halim, dkk.

Penerbit                       : Sulur Pustaka, Yogyakarta

Cetakan Pertama         : Mei, 2020

Tebal                           : 234 halaman

ISBN                           : 978-602-5803-87-1

 

Mafhum di dunia serba online kian merebak nan mengejawantah perilaku manusia. Lelaku manusia acap kali bersebrangan dari realitas yang ada, termasuk dalam unsur-unsur private media sosial (medsos). Media sosial memberikan kita kemudahan dan hingar bingar dunia yang dengan cepat terserap. Kehidupan manusia pun dicecar berbagai berita-berita yang berseliweran di jendela gawai. Namun, berita-berita itupun tak sedikit ada yang berkonten kebohongan (hoax), bahkan ujaran kebencian (hate speech).

Kehadiran dunia baru ini disebut cyberspace atau digitaslisasi. Ruang maya menyuguhkan dunia tanpa batas, kita dipersilahkan melakukan eksperimentasi dan ekspresi diri di bidang apapun. Baik berupa seni, kebudayaan, literasi, bahkan kampanye menyebarkan agama—dakwah lewat media sosial. Namun bagaimana jika dakwah dimedia sosial dibikin ajang untuk mengklaim kesalehan personal, bahkan golongan?

Hal inilah yang menjadi pokok sajian buku berjudul Ingin Saleh Boleh, Merasa Saleh jangan (2020). Buku yang digarap Abd. Halim, dkk. ini menarasikan dengan gaya bahasa yang mudah dipahami. Kita serasa dikasih wejangan-wejangan khas pondok pesantren. Konon, sebagian penulis buku ini pernah menempuh jalur pondok pesantren.

Abd. Halim, dkk. mencoba memberikan sumbangsihnya melalui beberapa esai-esai reflektif. Mengenai lanskap ataupun fenomena keberislaman Indonesia masa kini. Meneropong gegap gempita umat Islam dewasa ini yang semakin kompleks.

Nampaknya, pemahaman atas agama khususnya Islam, mengalami polarisasi yang terang benderang. Setiap paham membawa dan memiliki ciri khas masing-masing dalam berdakwah. Kita acap kali menjumpai orang-orang berdakwah yang melegitimasi atas kereligiusitas seseorang. Tak jarang bertendensi pada hal-hal perbedaan pendapat. Seakan, kita lupa bahwa manusia musti dilahirkan atas perbedaan dan plural. Baik berupa suku, ras, agama dan bahkan keintelektualitasan.

Dalam esai Abdul Halim berjudul “Jalan damai Dakwah Nabi Muhammad”, memberikan gambaran jalan dakwah yang dilakukan nabi. Nabi Muhammad menyatakan secara tegas penduduk madinah berdiri atas berbagai macam suku, kabilah, dan berbangsa yang satu (Innahum Ummatun Wahidah).

Memperdebatkan keragaman pendapat dan mempertentangnya, kita seolah tidak mengindahkan perilaku nabi. Memasang sekat-sekat yang membelenggu diri manusia dan menafikan apa yang dicontohkan nabi.

Fenomena yang mepermasalahkan keragaman semacam ini memberi ibrah (pelajaran). Menyadarkan manusia tak bisa lepas dari fitrahnya yakni perbedaan. Kemudian, fenomena yang kian menjamur di tanah yang subur adalah euforia pemuda hijrah. Merebaknya fenomena ini bahkan merangsang publik figure (artis) turut serta, tak ketinggalan mendeklarasikan diri kekhalayak publik bahwa mereka telah berhijrah.

Bagi Halim, niatan semacam ini harus kita sambut dengan resnpon positif, namun perilaku hijrah yang nampak hanya dimaknai sebagai perubahan fisik saja. Memamerkan diri dengan pose-pose yang memanifestasikan bahwa pemuda itu lampau berhijrah. Akun-akun berlabelkan kata hijrah pun acapkali kita temui, semisal Pemuda Hijrah, Hijrah Squad, Muslimah Hijrah, Hijrah Cinta dan lain sebagainya (hlm 26).

Harusnya, hijrah musti kita pahami tidak hanya sebatas pada perubahan fisik dan keinginan menjadi manusia saleh saja. lelaku masyarakat Islam harus tercermin melalui tindak tanduknya yang berlandaskan cinta kasih, rasa aman, dan kedamaian bagi sesama.

Hal ini pernah disinggung oleh Kh. Ahmad Mustofa bisri (Gus Mus) dalam buku Saleh Ritual Saleh Sosial: Kualitas Iman, Kualitas Ibadah, dan Kualitas Akhlak Sosial (2016). Gus mus, berpandangan bahwa gerak laku ketika menjalankan ritus-ritus keagamaan kadangkala dangkal. Gerak laku yang kosong makna. Dzikir-dzikir terlantun oleh mulut nan berlainan dengan perilakunya.

Kebohongan demi Kesalehan

Internet menjadi wadah aspirasi manusia, dan tak sedikit dimanfaatkan sebagai adu domba. Fenomena itu tercermin makin maraknya kabar bohong dan ujaran kebencian. Kemudian, masyarakat semakin terpecah belah. Kehawatiran ini pernah disampaikan presiden, dengan semakin maraknya isu-isu semacam ini. Keprihatinannya atas apa yang terjadi dimedia sosial. Kecenderungan menjadi medan saling ejek, saling maki dan bahkan saling fitnah. Dan hasilnya adalah masyarakat yang terpolarisasi. (Tempo, 8 januari 2017).

Terkotak-kotaknya masyarakat kian menjadi masyarakat yang sentimen dan kehilangan rasa kepercayaan terhadap sesesama manusia, karena hanya didasarkan pada berita bohong. Dalam hal ini apa yang musti kita perbuat ditengah carut marutnya berita berbasis kenistaan?.

Dalam esai Nur Tanfidiyah berjudul “Bermedia dengan Akal Sehat”, memaparkan lelaku bermedia sosial menjadi keharusan mengedepankan akal sehat. Bagi Nur kondisi seperti ini musti kita pahami bersama. Ujaran kebencian dan merebaknya berita hoax sama berlainan dengan perilaku nabi. Dan bisa menyebabkan kerusakan alam dan bahkan akal sehat. (Hlm 199)

Melihat fenomena diatas patut kita sadar bahwa dunia media sosial memberikan dampak abu-abu. Bisa berdampak positif dan malah sebaliknya. Maka, lewat buku ini kita diajarkan untuk mencerna pelbagai hal dari sengkarutnya labirin “agamaisasi digital”.

Harapan manusia terus menggema diatas hamparan bumi, demi terwujudnya cita-cita bersama yaitu harmonisasi manusia dan keselarasan ragawi. Alhasil, buku ini dapat memperkaya perbendaharaan atas tema-tema serupa yang dikemas secara menarik dan luwes.

https://kabarmadura.id/euforia-hijrah-dan-legitimasi-kesalehan/

*Resensi ini telah tayang di KabarMadura.ID edisi 31 Agustus 2020 (dw)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV