Dialektika Nahwu Klasik dan Nahwu Modern

FASYA- Selasa (20/10/2020), Konsorsium Keilmuan Fakultas Syariah IAIN Surakarta kembali mengadakan Diskusi Dosen bulanan dengan format bedah buku. Diskusi bertajuk ‘Bedah Buku: Epistemologi Nahwu (Pedagogis) Modern’ ini menghadirkan narasumber utama Dr. Khabibi Muhammad Luthfi, S.S., M.Hum. selaku penulis buku. Hadir sebagai narasumber pembanding adalah Dr. Muh. Nashirudin, S.Ag., M.Ag., M.A. Mengingat pandemi Covid-19, diskusi dosen edisi Oktober 2020 kali ini tetap dilaksanakan dengan konsep daring dan luring (dalam dan luar jaringan).

Perdebatan tentang nahwu klasik apakah perlu bermadzhab Bashrah dan Kufah di kalangan nuhaat seperti tidak ada ujungnya. Perdebatan serupa juga terjadi antara epistemologi nahwu klasik dan nahwu modern yang, menurut Dr. Khabibi, memang perlu untuk dipertegas jurang pembedanya. Jikapun tidak dalam konteks membedakan secara tegas, setidaknya aspek-aspek pembeda yang telah ada, misalnya, ‘sumber penyusun materi nahwu’ dan ‘visi kebahasaan’ dalam ruang dan waktu yang berbeda, perlu diakui secara lugas.

Namun, untuk sekedar menyatakan keberadaan nahwu modern saja, nuhaat masa kini masih ada yang meragukan kemungkinannya. Salah satu alasan utamanya adalah karena nahwu klasik itu relevan langsung dengan aspek-aspek teologis agama Islam. Mengingat posisi nahwu klasik yang sentral sekaligus krusial, sekedar menyatakan keberadaan nahwu modern dikhawatirkan membuat runyam tatanan sosial komunitas Muslim, bahkan diprediksi sanggup menggoyahkan otoritas dan bangunan keilmuan Islam dan nahwu klasik di masa kini dan mendatang.

Saat dihadapkan pada pertanyaan apakah keberadaan epistemologi nahwu modern akan mengubah pemahaman Muslim atas teks suci dan berimplikasi serius, Dr. Khabibi menjawab justru di sinilah distingsi epistemologis nahwu klasik dan nahwu modern tampak jelas. Terhadap teks suci yang berstatus klasik, proses pemahaman hanya mungkin dilakukan dengan memanfaatkan nahwu klasik. Ditanya mengapa mustahil menggunakan nahwu modern untuk analisis teks suci, Dr. Khabibi menjelaskan bahwa kekhasan nahwu modern terletak pada aspek komunikatifnya (termasuk di dalamnya deskriptif-preskriptif untuk tujuan pembelajaran), sementara nahwu klasik pada aspek filosofisnya. Kita semua tahu, al-Qur’an dan Hadis Nabi merupakan sekumpulan teks yang lebih banyak menyuguhkan aspek filosofisnya dari pada aspek preskriptif-deskriptifnya.

Buku yang semula merupakan disertasi Dr. Khabibi dan diselesaikan selama 3 tahun di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga (2015-2018) bermaksud menelusuri kemungkinan dan keberadaan nahwu modern dalam tinjauan epistemologis. Hasilnya, nahwu modern memang faktual adanya dan layak dikemukakan sebagai keniscayaan akademik dalam tradisi keilmuan linguistik Arab.

Argumen utama buku ini terfokus pada aspek pedagogis nahwu modern untuk kepentingan pendidikan. Diakui Dr. Khabibi, target yang dicapai buku ini sebatas menyusun rambu-rambu perihal nahwu untuk tujuan pedagogis. Meski tawaran riilnya (terkhusus bagi pendidikan Indonesia) belum terwujud, usaha membuka ‘jalur baru’ di bidang nahwu dan pendidikan yang merespon dinamika zaman tentu perlu diapresiasi setinggi-tingginya oleh komunitas akademik di Indonesia, khususnya di bidang pendidikan.  (afd)

Tayangan diskusi dosen selengkapnya, bisa dilihat di link berikut ini.

https://www.youtube.com/watch?v=D-rGi0NzyL0

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV