Seminar Nasional Hukum Keluarga Islam Bertajuk “Sudut Pandang Sosiologis dan Antropologis dalam Studi Hukum”

FASYA- Selasa (27/10/2020), Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Fakultas Syariah IAIN Surakarta menyelenggarakan Seminar Pengembangan Program Studi bertajuk “Sudut Pandang Sosiologis dan Antropologis dalam Studi Hukum”.

Menghadirkan pembicara Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum., dosen Fakultas Hukum pada Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, seminar ini dipandu oleh Muhammad Latif Fauzi, S.H., M.S.I., M.A., dosen Prodi HKI yang kini menjabat sebagai Sekretaris Lembaga Penjamin Mutu (LPM) IAIN Surakarta.

Dr. Hari membuka diskusi dengan penjelasan istilah-istilah hukum yang melibatkan aspek sosial sebagai ‘campuran’ (mix) di dalamnya. Istilah ‘legal doctrine’ dan ‘jusrisprudence’ yang telah lebih dulu populer di kalangan pengkaji hukum kini disejajarkan dengan istilah-istilah yang datang kemudian, antara lain ‘law and society’, ‘socio legal studies’, ‘legal sociology’, dan lain sebagainya.

Sebagaimana disinggung oleh moderator Muhammad Latif Fauzi dalam pengantar diskusi, hukum tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Hukum, diakui atau tidak, memang akan berbenturan dengan aspek-aspek sosial. Karenanya, hukum mustahil bersifat preskriptif an sich meski ia adalah ‘a set of rules’.

Namun begitu, Dr. Hari mengingatkan, bahwa yang tidak boleh dilupakan dari hukum adalah sifat ‘sui generis’ nya. Ia merupakaan penormaan khusus, unik, dan khas yang agaknya sulit dilibatkan dan dilebur total ke dalam studi-studi ilmu sosial, ilmu humaniora, lebih-lebih ilmu alam.

Meski begitu, Dr. Hari sepakat perlunya pertimbangan konteks dalam memahami dan mengaplikasikan hukum dalam keseharian masyarakat Indonesia (yang aturan kenegaraannya berbasis hukum). Istilah ‘Law in context’ mungkin perlu dipahami seksama agar dapat memaksimalkan keberterimaan hukum di tengah masyarakat.

Untuk mengkaji hukum dalam konteks sosial yang melingkupinya inilah, kemudian diperkenalkan socio-legal approach sebagai sebuah pendekatan metodologi baru yang melihat hukum dari kacamata ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, atau bahkan linguistik. Karena itulah, sosio-legal studies dikatakan sebagai trans disipliner dalam kajian hukum.

Lebih lanjut, Dr. Hari menyampaikan dua pendekatan yang menjadi tema seminar yaitu pendekatan sosiologi dan antropologi dalam studi hukum. Pendekatan sosiologi memfokuskan kajiannya pada dampak hukum terhadap tindakan sosial, pada keyakinan yang dimiliki masyarakat tentang dunia sosial, pada organisasi dan pengembangan lembaga sosial dan hukum, tentang bagaimana hukum diciptakan, dan pada kondisi sosial yang melahirkan hukum. Dalam hal ini, hukum harus dilihat sebagai struktur yang mendefinisikan batas-batas dan pemilihan jenis sistem kemasyarakatan.

Demikian pula dalam kajian hukum menggunakan pendekatan antropologi, Dr. Hari menyampaikan bahwa pendekatan ini melihat hukum dari aspek budaya yang melingkupi masyarakatnya. Ada tiga tugas utama antropologi hukum sebagaimana disampaikan oleh Dr.Hari, yaitu  pertama; menganalisa sistem hukum lokal-etnografi hukum deskriptif, kedua; mengkomparasikan sistem lokal dengan sistem hukum lain, dan yang ketiga; untuk memfasilitasi integrasi sistem hukum ke dalam jaringan global yang lebih luas melalui promosi saling pengertian

Dr. Hari menyinggung ricuh Omnibus Law atau UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu sebagai bentuk tercerabutnya hukum dari konteksnya, yaitu ekonomi. Terlepas dari penolakan keras masyarakat atas ide Omnibus Law, ia sejatinya hadir untuk merespon birokrasi berlapis yang ada di Indonesia sehingga peluang ekonomi dan investasi dari luar negeri tidak terlewatkan.

Hukum, karenanya, harus dilihat dari seberapa ia relevan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakatnya. Hukum lahir dari dan oleh masyarakat. Ibarat tubuh, sakit pada mata namun seluruh tubuh yang diistirahatkan tidak lagi dipertanyakan di kemudian hari. Seperti tidak bisa dilepaskannya hukum dari konteks, sehatnya badan pun tidak bisa dilepaskan dari sehatnya seluruh aspek dalam tubuh (mata, telinga, perut, jari, hidung, dan lain sebaginya).

Nah, yang mungkin perlu diajukan sebagai renungan adalah, “Sejauh mana kita akan melibatkan aspek-aspek sosiologis dan antropologis dalam aturan hukum yang ‘sui generis’ itu?” Atau, “Tidak adakah kekhawatiran hukum yang ‘sui generis’ menjadi ‘bukan lagi hukum’ di kemudian hari?” Pakar hukum masa kini dan mendatang perlu cermat menjawabnya. (afd)

Bagikan

Berita Terbaru

Berita Terkait

FasyaTV